Beberapa waktu setelahnya, mataku memberat. Ayah kandung Gunho--yakni seseorang yang baru saja membunuhku--masih menangis sambil memeluk tubuhku. Dan aku masih bisa merasakannya. Samar, aku masih mampu mendengar ribuan maaf yang terlontar secara brutal dari mulutnya.
Paling tidak beberapa detik sebelum akhirnya aku menutup mataku.
Dan didetik berikutnya, aku kembali membuka mata. Namun, kini aku berdiri disamping tubuh Gunho yang masih di peluk anaknya.
Wujudku kembali menjadi Keita. Dalam artian, aku benar-benar sudah selesai sekarang. Baik aku maupun Gunho...
Kami sama-sama sudah mati.
Kudapati Yoonbin tak jauh dari situ, beserta Gunho yang tengah melambai kearahku sambil tersenyum. Aku segera mendatangi mereka berdua. Setelah itu, kami bertiga berdiri berjejer sambil menonton drama menyedihkan didepan sana.
Gunho menyenggolku. "Hei aku datang untuk menjemputmu."
Aku memandang Yoonbin penuh tanya. Yoonbin menghela nafas lelah. "Dia merengek meminta ikut."
Gunho tersenyum. "Tak kusangka kau menyusulku secepat ini."
Aku hanya tersenyum miris sambil kembali memandang kedepan. "Kau tau dia ayahmu hyung?"
"Ya. Aku menyesal baru mengetahuinya setelah aku mati." Gunho terdiam sebentar kemudian memutar tubuhnya menghadapku. "Keita, aku minta maaf atas nama ayahku. Karena dia sudah membunuhmu."
Aku menghela nafas. Lagipula, tidak ada yang akan berubah jika aku tidak dibunuh olehnya. Aku akan tetap mati meskipun dengan cara lain. Itu sudah merupakan takdir. Jadi aku mencoba tersenyum kearah Gunho sambil menggeleng. Meyakinkan bahwa aku tidak masalah soal itu.
Dan beberapa waktu kemudian, pintu ruangan didobrak. Para aparat kepolisian segera masuk dan mengacungkan pistolnya. Dibelakangnya ada anak-anak panti. Bahkan ayahku juga ada.
Aku bisa melihat Linlin berlari kearah tubuhku setelah polisi mengamankan ayah Gunho yang masih menangis. Aku melihat gadis itu mencoba keras untuk membangunkanku sembari berurai air mata.
"Linlin," tanpa sadar aku berujar lirih.
Tak jauh dari situ, ada Jihoon yang berdiam kaku. Lututnya melemas sesaat kemudian dan jatuh bertumpu diatas semen. Luka lebamnya masih ketara. Aku masih ingat bagaimana dia yang babak belur masih mencoba untuk menahanku agar tidak dibawa pergi oleh pria jahat itu.
Barangkali, ia tak menyangka bahwa Gunho benar-benar menepati janjinya untuk mati. Aku bisa melihat air muka Gunho yang berubah ketika melihat Jihoon.
Ia berjalan mendekat. Menyamakan posisinya dengan Jihoon. "Kau akan baik-baik saja Park Jihoon. Jangan melakukan hal aneh dan hiduplah dengan layak. Lupakan masa lalu jika memang terlalu menyakitkan."
Meski tau Jihoon tidak akan mendengar, ia berujar demikian dengan penuh ketulusan. Jihoon mulai menangis. Tertunduk sembari tersedu-sedu.
"Aku sungguh tidak pernah membencimu." Lirih Gunho sekali lagi. "Aku dan Junkyu akan menunggumu. Tapi kumohon jangan datang terlalu cepat. Gantikan kami untuk bahagia lebih lama, okay?"
Gunho bangun perlahan dan meninggalkan Jihoon. Ia kembali berdiri disampingku sambil memandang pilu orang-orang yang tengah menangisinya.
"Maaf jika aku membuat hidupmu kacau." Aku memandang Gunho.
Gunho menggeleng. "Tidak. Kau melakukannya lebih baik dibanding aku."
"Aku--"
"Kau mengembalikan nama baik Junkyu, kau menemukan ayah kandungmu, kau membangkitkan rasa ingin hidup Yoshi, kau juga menemukan tempat tinggal baru untuk Midam, kau membuat Kokoro menyukai orang lain selain aku, kau menyelamatkan Linlin dari penindasan, kau bahkan membantu kekasih Yoonbin untuk merelekannya." Gunho memandang sekilas kearah Yoonbin. Pria datar itu segera buang muka. "Kau menemukan ayah kandungku, dan kau juga meyakinkan Hyunsuk untuk hidup."
KAMU SEDANG MEMBACA
altero ✓
FanfictionKeita menggantikan Gunho untuk bernapas menggunakan paru-parunya. Dia kemudian menyadari, tubuh itu--penuh dengan penyesalan.