Hyunsuk memandang takut kearahku yang tengah melipat tangan sambil mentapnya penuh intimidasi. Sudah beberapa menit aku hanya memandangnya seperti itu tanpa mengatakan sepatah katapun.
Entahlah, aku sampai tidak bisa bicara lagi sangking kesalnya. Rasanya jika aku buka mulut maka semua kalimat-kalimat jahannam akan termuntahkan.
"Ap-apa?" Tanya Hyunsuk pada akhirnya. Ia membetulkan duduknya agar lebih tegap menghadapku.
"Kau masih bisa bertanya kenapa aku seperti ini, hyung?" Aku memutar bola mataku. "Kenapa kau berhenti minum obat? Kau tau orang tuamu begitu mengkhawatirkanmu?"
Hyunsuk tampak menunduk. Pria ceria ini terlihat muram untuk pertama kalinya. Bibirnya juga pucat tidak seperti biasa. Mungkin dia lupa mengenakan lipbalm-lipbalm kecintaannya itu.
"Apa aku masih harus mengingatkanmu?" Ujarku sambil mengambil tempat duduk disampingnya.
Hyunsuk menegakkan kepalanya. Ia terkekeh. "Entah kenapa ada yang hilang semenjak kau tidak mengingatkanku untuk minum obat lagi."
Aku menghela nafas, kemudian menyandarkan punggungku pada sandaran kursi. "Mulai sekarang, kau harus terbiasa, hyung."
Ia mengernyit. "Kenapa? Kau sungguh tidak akan mengingatkanku lagi?"
"Hyung, hidupku tidak hanya untuk mengingatkanmu meminum obat, menutup resleting tas Kokoro, menjawab pertanyaan bodoh Jaehyuk atau pun mencemooh tingkah laku Midam hyung." Netraku semakin kutegaskan. Untuk beberapa hal yang tidak kuketahui--aku merasa begitu tertekan setiap berbicara. "Kau harus terbiasa. Kalian semua. Aku tidak bisa melakukan hal tersebut selamanya."
Hyunsuk menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Netranya mengisyaratkan sesuatu yang akupun tidak tau jelas apa maksudnya.
"Kau mau pergi?"
Tunggu. Bagaimana ia tau?
"Apa?"
"Jangan-jangan kau diam-diam ingin pindah ke suatu tempat sampai mengatakan hal tersebut?" Hyunsuk mengulang pertanyaannya dengan lebih jelas.
Aku sedikit bingung harus menjawab apa. Yang jelas, aku tidak akan membiarkannya tau mengenai kematianku.
Jadi, aku menggeleng sambil menampikkan senyum kapitalisme. "Tidak. Aku mengatakannya karena kau akan operasi jantung sebentar lagi dan itu artinya kau akan segera sembuh. Kau tidak memerlukanku untuk mengingatkanmu minum obat lagi, hyung."
Hyunsuk tiba-tiba cemberut. Ia menggulung tubuhnya dengan selimut. Badan kecilnya ia biarkan tenggelam.
"Tidak akan kulakukan."
"Apa?" Tanyaku heran.
"Operasi. Tidak akan kulakukan."
Pupilku melebar. "Kau sudah gila, hyung? Mau mati?"
Ia menyibak selimutnya dan merengut. "Justru karena aku takut mati makanya aku tidak mau."
Sekali lagi, aku mengernyit heran akan opini tak berdasar yang baru saja ia ungkapkan.
"Kemungkinan berhasilnya kurang dari lima puluh persen. Apa kau yakin aku akan masuk dalam angka itu?" Hyunsuk terlihat berusaha untuk tersenyum. "Jika kulakukan operasi itu sekarang dan ternyata gagal, aku akan sangat menyesal karena mati dengan cara seperti itu. Jadi, aku akan membiarkan diriku sendiri mati secara perlahan. Itu jauh lebih baik."
Aku sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Segala jenis kalimat bantahanku tertahan setelah melihat wajah putus asa nya. Sekalipun ada kemungkinan, semua orang pasti takut memgambil keputusan semacam ini. Apalagi nilai negatifnya lebih dominan.
KAMU SEDANG MEMBACA
altero ✓
FanfictionKeita menggantikan Gunho untuk bernapas menggunakan paru-parunya. Dia kemudian menyadari, tubuh itu--penuh dengan penyesalan.