Badri yang masih menguasai tubuh Risjaf memutar tangannya hingga seberkas cahaya hitam keluar. Tangannya terulur ke arah empat batu itu dan mereka bersinar kembali. Badri berjalan melewati musuh-musuhnya yang sudah jatuh terduduk, diikuti titik persatuan (sebutannya pada empat batu) yang melayang di atasnya. Langkahnya berhenti di belakang posisi Obi dan Dhani.
Portal besar resmi dibuka kembali.
Badri menendang ulu hati mereka satu persatu. Tubuh Obi dan Dhani terhuyung ke samping kiri dan kanannya.
"Keparat kau, Om. Keluar dari tubuh Risjaf," umpat Dhani sambil berusaha berdiri dan menghentikan aksi Badri berikutnya.
Badri langsung menghempaskan tubuh Dhani dengan tangannya. Lastri cepat-cepat menangkap tubuh suaminya yang kesakitan di bagian punggung.
Obi sendiri masih bersusah payah untuk berdiri, sayang tubuhnya masih terlalu lemah.
Badri menempelkan tangannya lagi di portal. Belum suaranya menggema mantra pembuka, ada suara yang sangat dibencinya muncul. "Pak, tolong hentikan semua ini."
Badri tersenyum mengejek tanpa melihat lawan bicaranya. "Masih belum menyerah juga kamu, ya, Ko? Harusnya kamu mati dari dulu, urgh." Badri memukul satu tangannya ke dinding portal.
Eko berjalan maju dan berhenti di belakang Bapaknya. "Apa yang membuat Bapak benci sama Eko? Eko capek Pak, Eko capek bertanya-tanya terus selama hidup limapuluh tahun lebih di dunia. Akhiri semua ini, Pak. Kita bisa memulai hidup baru, bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya."
Kemauan emosional lagi-lagi menguasai Badri. Ia mengutuk dirinya sendiri, mengapa sulit sekali melawan rasa ini? Badri seketika menyesal karena mengabulkan keinginan terakhir Istrinya agar jangan membunuh Eko dalam keadaan apa pun.
"Nggak sulit kok, Pak. Semua dimulai dari diri kita dahulu." Eko memecah keheningan sambil mengulurkan tangan ke depan.
Badri membutuhkan waktu beberapa detik sebelum bersuara, "Ibumu ...," napas Badri terengah-engah, "Ibumu selalu saja muncul di benakku. Seakan dia memarahiku telak di depan mukaku. Setiap jemariku berhasil membuat napasmu menipis, dia muncul dan tangannya ... yang seakan sudah berada di leherku," Badri berbalik badan, "Sakit rasanya, Ko ... sakit ... beban ini sudah terlalu berat kupikul sendiri." Suara Badri menjadi serak dan tercekat.
Langkah Eko semakin dekat, dan Ia mengelus pelan kedua bahu Badri.
"Pak jangan Pak," Obi berteriak.
Eko tidak mengindahkan hal tersebut. "Sudahlah, Pak, jangan bersedih. Eko dan Ibu sudah memaafkan Bapak, kok. Tapi, Eko hanya minta satu. Tolong keluar dari tubuh Bang Risjaf."
"Aku ... aku ...," wajah sendu Badri mendadak berubah menjadi senyum sinis, "Kamu pikir, aku menerima maafmu begitu saja, ha?!" desisnya. Tidak ada lagi suara muram nan sendu seperti beberapa menit yang lalu. Badri mencengkram bahu Eko sangat kuat, menimbulkan nyeri di tubuh-tubuhnya yang dulu menjadi sasaran amuk.
Jeritan lolos dari bibir Eko.
Senyum sinis Badri semakin lebar. Cengkramannya semakin kuat. Kuku-kuku jemari Badri menusuk bekas luka di sekitar kulit Eko hingga mengeluarkan setetes cairan merah.
Tawa Badri semakin nyaring, memekakan telinga.
Rasa nyeri Eko makin sakit, membuat tubuhnya melemah. Wajah Eko memucat, bibirnya menimbulkan bercak biru di bagian bawah. Napasnya bahkan tercekat akibat asupan oksigen menipis. Mata Eko refleks menatap langit siang yang terik.
Perlahan, tubuh Eko limbung dan tersungkur di lantai keramik. Tidak ada pergerakan darinya selama beberapa detik.
"BAPAK ...," tangan Obi terentang ke depan dan menyeret tubuhnya pelan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sentralisasi | ✓
Adventure[SERI PANDORA #2] [TAMAT] Obi Ardiansah Wiantono (27) menghilang ketika liburan ke Southamptons bersama sahabat dan kekasihnya, tetapi anehnya Obi tidak meninggalkan jejak apa pun. Rupanya Obi terlempar ke tahun 1979 akibat mencoba mainan lamanya. B...