Episode - 25: Percepatan Waktu

131 29 107
                                    

A/N:
Itu lagu di mulmed dengerin aja haha.

•••

Dua Minggu kemudian di Rumah teman Dhani, OKTOBER 1981

Rumah yang terlihat seperti rumah pada umumnya. Tiap ruangan berlantai marmer, dua pilar ukuran besar di serambi, perabotan berkayu jati tanpa pelitur, serta empat kamar tidur dengan tiga kamar mandi. Rumah ini bukan rumah Dhani, melainkan rumah sahabat Pak Hendrawan yang terakhir beliau temui sebelum ditangkap Om Badri dan komplotannya.

Dua kamar di rumah ini ditujukan untuk pemilik rumah dan keluarganya, sedangkan dua kamar sisanya (yang terletak di belakang rumah utama) ditujukan untuk tamu. Kamar tersebut berukuran 3x4 meter, satu kamar dihuni Dhani dan Lastri, kamar sebelahnya dihuni Obi dan Bu Tini (Obi tidur di bawah dengan kasur lapuk dan Bu Tini tidur di tempat tidur).

Mereka mengungkapkan alasan tinggal disini sementara waktu karena sedang dikejar orang tak dikenal. Dua minggu tinggal disitu, mereka bukan saja menumpang, tapi memberikan kontribusi. Bu Tini yang membantu acara memasak si pembantu, Lastri dan Dhani yang selalu membersihkan makanan mereka sendiri, dan Obi yang memberi arahan untuk memindahkan koleksi barang antik pemilik rumah atau pun membersihkan kamar secara bergantian dengan Bu Tini.

Di suatu siang yang cerah ...

Dhani menutup telepon dengan gerakan kasar, membuat Obi mengalihkan pandangan dari buku yang dibaca, "Kenapa lagi sih, Dhan?" tanya Obi sambil menutup buku tersebut.

Dhani duduk menghadap Obi, masih dengan muka kesalnya sambil bersedekap. "Toko jam beberapa hari didatangi orang tak dikenal sama surat kaleng yang isinya aku sama Lastri suruh menyerahkan diri. Aku suruh saja si Abi buat bakar di lapangan terdekat."

Obi berpikir ide apa buat menghibur Om rempong satu ini. Sebuah ide terlintas dibenaknya. Lelaki yang mengenakan baju santai model garis-garis meletakkan buku di meja kopi dan memanggil Dhani.

"Coba deh pikir, Dhan," Obi mengusap dagu dan melirik matanya ke atas beberapa detik, "Kita ini kan mukanya sama banget gitu, kecuali gaya berpakaian sama rambut. Nah, kira-kira kita punya perbedaan apa lagi ya?"

Dhani berpikir, lalu menggeleng.

"Yakin nih, Dhan?" Obi bertanya lagi, menyelidik.

"Apa itu? Yang item-item di badan lu kayak titik, mungkin ukurannya lebih gede," jawab Dhani ngasal, membuat Obi seketika tertawa.

"Itu namanya tahi lalat, Dhan," jawab Obi santai.

Tak lama kemudian, Lastri datang dengan tiga minuman hangat dan menaruhnya di meja kopi. Bau kopi hitam menyeruak penciuman Obi, sungguh harum. Obi mengangkat cangkir tersebut dan meneguknya perlahan. Sedangkan Lastri sendiri duduk disamping suaminya yang ikut meneguk minuman kafein itu sambil memuji betapa enak rasanya lalu mencium bibir Dhani sedetik.

Obi kontan mendengkus, "Kalian kalau mau bercinta di kamar aja deh mending." Lelaki itu meneguk kembali minumannya yang kontan pahitnya terasa sampai tenggorokan.

Dhani tertawa, "Sensi amat sih, Lu, Bi." Kemudian sang Istri ikut tertawa dengan nada pelan, kembali menatap suaminya dengan tatapan cinta. Dari bibir mereka mengalirlah cerita-cerita masa pacaran mereka yang penuh cinta dan kesederhanaan. Obi refleks membuka mulutnya sedikit, antara geli dan terkejut.

"Eh, eh, sayang," Dhani merangkul pinggang Lastri, membuat Lastri menyandarkan tubuhnya ke lelaki itu. "Aku kadang berandai-andai bagaimana kita tua nanti." Dhani menghela napas sedih.

Lastri memainkan jemari Dhani, bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Walau dalam hati dia ikut bersedih, "Sayang, jangan ngomong gitu ah. Kita pasti bakal bisa punya anak."

Sentralisasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang