Episode - 27: Kekuatan & Prediksi

147 26 122
                                    


Jakarta, November 1981

Pintu ruang bawah tanah yang menjadi tempat Badri bersemedi dan mempersembahkan tumbal pesugihannya terbuka lebar. Risjaf, sang putra sulung berjalan dengan muka merah dan mata menyalang. Menyadari kehadiran Risjaf, Badri menurunkan tangannya dan membuka matanya. Irisnya yang seluruhnya hitam berangsur normal.

"Pak, apa yang Bapak lakukan selama ini?!" pekik Risjaf, "Belum puas, Bapak memanfaatkan Eko lalu membuangnya begitu saja. Belum puas juga, Bapak melukai Dhani sama Istrinya di Monumen Pancasila Sakti sampai mereka dirawat di rumah sakit?! APA SIH YANG BAPAK CARI?!"

Badri tidak menjawab, tetapi menyuruh Risjaf untuk melihat ke atas. Kekuatan empat batu sedang mengeluarkan kekuatannya. "Kamu ini gangguin Bapak saja. Aku lagi mentransfer kekuatan dahsyat dari batu-batu ini. Sekarang kamu mengganggu ritualku," tukas Badri santai.

"Pak, Risjaf mohon hentikan semua ini. Efeknya mungkin nggak sekarang. Tapi nanti ketika bertahun-tahun kemudian."

Badri berdiri dari kursi semedi dan mendengkus ke arah Putranya. "Tau apa kamu ini, ha?! Kamu itu nggak usah ikut campur urusan Bapak. Sana, kerja yang benar."

Risjaf bergeming.

"Oh, kamu mau lihat bagaimana ini semua bekerja?" Badri memutar jari telunjuknya.

"Siapa tahu aku bisa menghentikan aksi Bapak? Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini." Risjaf menanggapi dengan sindiran yang tidak mempan pada Bapaknya.

Badri menyeringai dan kembali ke kursi semedi. Risjaf mengambil kursi dari posisi agak jauh. Lelaki paruh baya itu berkonsentrasi penuh dalam semedinya. Pendar-pendar cahaya hitam muncul dari tubuhnya, mengundang bias cahaya batu-batu itu mengeluarkan kilau cahaya yang lebih besar. Bersamaan dengan itu, cermin di samping area semedi Badri berubah menjadi riak air.

Risjaf sungguh terpana melihat itu semua.

Badri merapalkan ucapan yang merupakan mantra pemanggil jin pesugihannya. Suara wanita menggema di telinga Badri, "Terima kasih sudah membawanya. Kekuatan mereka memang dibutuhkan untuk kelancaran tumbalku berikutnya. Kamu sudah siap?"

Tanpa suara, Badri menganggukkan kepala.

Masih dengan iris mata yang menghitam seutuhnya, Badrian turun dari kursi semedi dan berjalan ke cermin. Di depannya, dia mengatupkan tangan hingga sejajar dengan wajahnya. Tangan itu membuka perlahan dan menjulur ke arah cermin. Badri menggumam sesuatu.

"Sukseskanlah usahaku agar mendapat perhatian dari Presiden dan seluruh kroni, dan singkirkanlah orang-orang yang menghalangi jalanku ... Satukanlah dunia ini agar tetap tentram walau badai terus datang ...."     

Tiupan Badri membuat tubuhnya tertarik ke dalam cermin. Jin pesugihan Badri mengeluarkan cahaya dari tangannya menuju cermin tersebut. Ruangan itu penuh cahaya sesaat, membuat Risjaf tak kuasa menutup matanya.

Lima belas menit kemudian, Badri kembali dari cermin dan duduk kembali ke kursi semedi. Cahaya hitam dari punggungnya perlahan memudar, begitu juga dengan batu-batunya yang terjatuh. Badri membuka mata dan iris hitamnya kembali ke posisi semula.

"Bagaimana, Sjaf?" tanya Badri. Rasa senang dan gairah optimismenya meningkat tajam.

Risjaf setengah bergidik, walau aura marahnya masih menguasai, "Bapak gila," erang lelaki itu sambil berjalan ke pintu keluar.

Badri tersenyum senang, dia tidak peduli apa-apa lagi. Baginya, yang paling penting adalah mempraktekkan kekuatan ini di depan para penguasa, khususnya Presiden.

*

Minggu ketiga bulan  November 1981.

Sudah dua minggu Dhani dan Lastri kembali dari rumah sakit. Akibat perkelahiannya dengan Badri, Dhani mengalami memar di perut dan bahu, sedangkan Lastri lebih parah, wanita itu mengalami patah tulang di tangan kiri. Sekarang, kondisi mereka berdua lebih baik walau masih dalam masa pemulihan.

Sentralisasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang