EPILOG

277 30 66
                                        


New York, Mei 2023.

Terik matahari yang semakin menyengat tidak membuat semangat para wisudawan yang memenuhi lapangan utama kampus biru menjadi surut. Mereka makin bersemangat melempar topi toga biru muda ke langit biru New York. Sesaat langit seperti lautan topi. Selanjutnya, para wisudawan kembali saling berfoto satu sama lain dengan berbagai pose.

Dari sisi sebelah kiri lapangan, Obi berhasil menangkap topi toganya.

"Bagus banget," puji Nira saat melihat hasilnya di kamera mirrorless miliknya.

"Lihat, Nir, lihat," Satya langsung mengambil kamera dari tangan Nira, "Waouuu, keren banget aseli. Lu mah makin jago lama-lama," serunya takjub.

"Topi-topinya nggak ada yang blur," tambah Tio ikut mengintip Satya melihat album-album foto lainnya di kamera Nira.

Nira memang memotret banyak momen selama prosesi wisuda Obi. Tapi foto favorit wanita itu adalah ketika Obi melempar topi toganya. Hasilnya seperti foto levitasi.

Obi langsung memeluk Eko dan Diana ketika mereka datang kepadanya. Nina menyusul di belakang mereka. "Oh gitu, aku nggak dipeluk," gerutu gadis remaja itu. Obi memeluknya karena kalau enggak, Nina pasti bakal ngomel sepanjang jalan kenangan.

"Om ... Tante," Nira, Satya, dan Tio bergantian memberi salam pada Eko dan Diana yang hari ini mengenakan busana formal bernuansa coklat tua.

"Rana mana, ya?" tanya Diana sembari celingak-celinguk, "Tadi kan ikut aku sama Eko ke ...."

"Hadir di sini, Tante." Rana datang tergopoh-gopoh. Hari ini, wanita berjilbab itu menggunakan kemeja warna putih yang dibalut cardigan selutut motif garis-garis kemudian berpadu dengan celana kain warna biru tua dan sepatu flat shoes warna hitam kesayangannya. Ia mengambil posisi di sebelah Obi.

"Kamu habis lari marathon berapa kilo sih, Dek?" goda Satya.

"Limaratus kilo," jawab Rana asal yang disambut tawa semua orang.

"Foto lagi foto lagi dong. Kurang puas aku," keluh Satya ketika melihat salah satu foto di kamera Nira, "Gayaku ada beberapa yang nggak bagus di sini. Gantengku ilang ntar."

"Yeee protes melulu," sahut Obi, "Bilang aja posemu nggak pas semua, Sat."

"Tau nih, udah pake kameraku masih aja nyolot." Nira merebut kembali kamera dari tangan Satya. Dia tidak peduli kalau lelaki flamboyan itu sudah mengerucutkan bibirnya.

Rana menyaksikannya dengan tawa kecil.

Pada akhirnya mereka semua melakukan foto lagi. Di mulai dari Rana yang foto berdua dengan Obi, di tengah lapangan, di depan patung Alma Mater, di depan perpustakaan Butler, sampai di birai atas subway 116th street. Bergantian dengan ketiga sahabatnya di posisi dan tempat sama. Terakhir adalah foto keluarga, senyum Obi makin merekah dari sebelumnya ketika berpose di antara kedua orang tuanya dan juga Nina.

"Selamat ya, Nak," Diana mencium pipi kiri dan pipi kanan putranya, "Semoga gelar barumu membawa manfaat, ya, buat sesama manusia."

Obi memeluk Eko tanpa kata-kata, tetapi Ia tahu Eko menyimpan haru di dalam pelukannya. "Bapak bangga sama kamu, Nak." Eko menepuk pelan pundak anaknya.

"Obi juga, Pak."

Eko melepas pelukannya. "Bapak sama Ibu ke hotel dulu sama Nina. Nanti nyusul, ya."

Obi mengacungkan jempol.

Kini tinggalah geng Pandora bersama Rana yang masih berada di lapangan kampus. "Jadi, kita ngrayainnya di mana?" Satya menaikturunkan alis berkali-kali.

Sentralisasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang