Episode - 19: MALARI dan Hari Terindah

169 30 115
                                    


Jakarta, 15 Januari 1974

Kosong.

Lastri menghela napas, ternyata memang jadi melakukan aksi. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu melihat ke sekeliling, teriakan dan banner mulai menggema walau belum jalan.

"Lastri, ayo." Salah satu teman kuliahnya berceletuk, namanya Kardi.

"Ayo apanya?"

"Kita melanjutkan aksi yang tertunda. Pemerintah semakin kelewatan, kita harus mengingatkannya," jawab Kardi dengan nada persuasif.

Lastri menggeleng, entah mengapa lebih baik dia pulang saja. "Aku lebih pulang aja, Kar. Sampai jumpa besok." Gadis bertopi itu berjalan meninggalkan pelataran kampus.

Perjalanan dari Kampus Salemba ke rumahnya memang  jauh, tetapi akan terasa semakin jauh bila sudah macet begini. Kendaraan saling membunyikan klakson. Lastri menghela napas, dia membuka kaca mobilnya untuk melihat apa yang terjadi. Rupanya teman-teman kampusnya yang sedang berjalan kaki sambil meneriakkan 'Ganyang Korupsi' 'Tolak Modal Asing' dan sebagainya.

Mahasiswa menganggap bahwa ini adalah sambutan untuk Perdana Menteri Jepang yang baru saja tiba di Bandara Halim Perdana Kusumah.

Lastri memberhentikan mobilnya di pinggir jalan untuk berjalan ke telepon umum terdekat. Pada dering tunggu ketiga, suara pembantu rumahnya terdengar.

"Mbok, tolong bilang ke Mama saya pulangnya agak terlambat. Saya terjebak macet," ucap Lastri langsung.

"Baik, Non." Sambungan telepon umum langsung diputus Lastri.

Tidak hanya Lastri saja yang turun, orang-orang ikut turun dan menonton aksi tersebut seakan itu adalah tontonan menarik melebihi film bioskop Megaria. Gadis itu berjalan melewati kerumunan agar bisa melihat lebih jelas.  Ternyata tidak hanya mahasiswa saja yang berdemonstrasi, ada pelajar SMA juga serta warga sekitar.

Lastri juga memperhatikan barisan keamanan yang sedang bersantai di pinggir jalan. Polisi dan Tentara tersebut tidak peduli akan ocehan orator yang isinya mengolok-olok mereka.

Jalanan lengang, Lastri bisa tenang membawa kendaraannya. Sayang, itu cuma sesaat, karena sudah banyak jalan yang ditutup akibat demonstran yang semakin ramai di dekat Monas. Terpaksa Lastri menonton lagi, memperhatikan teman-teman sesama mahasiswa yang tidak hanya dari kampusnya saja melainkan kampus Trisakti.

Demonstran berbalik arah, yang tadinya mau ke Bandara sekarang berjalan  ke  kantor Duta Besar Jepang. Langkah demonstran terhenti ketika ada mobil jip besar menghalangi jalan mereka di Sarinah. Terdapat seorang tentara sambil berbicara menggunakan pengeras suara dari mobil Jip.

"Saya mengerti akan semua aspirasi kalian, percayalah pada Pemerintah saat ini," seru tentara tersebut. Lastri tau orang tersebut tapi lupa namanya. Sedangkan seruan demonstran semakin menggelegar.

"INI BENTUK PENJAJAHAN BARU LAGI!"

"HANCURKAN BARANG-BARANG DARI JEPANG! HANCURKAN!"

"HANCURKAN!"

"TOLAK PEMBENTUKAN ASISTEN PRIBADI PRESIDEN DAN TOLAK MODAL ASING!"

Tentara itu terkejut, tetapi akhirnya dia tidak bisa menghalangi laju demonstran. Mereka yang gagal menduduki pusat malah berjalan balik arah. Lastri menatap semangat demonstran tersebut dengan kagum dari kerumunan penonton. Lastri memberanikan diri mengikuti demonstran diam-diam, dan langkah mereka berhenti di kantor strategi ekonomi internasional yang terletak di Jalan Tanah Abang.

Sentralisasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang