Misunderstood pt.2 (Jimin)

916 143 26
                                    

"Selamat pagi, Jimin-ah !" seru ku gembira mengaitkan lengan ku pada Jimin yang tengah berkutat dengan ponselnya. 2 bulan sudah berlalu sejak hari dimana kami memutuskan untuk saling mengenal. Cinta yang kurasakan diwarnai gejolak harapan manis menghiasi hubungan kami. Yah, walaupun belakangan ini Jimin sering keluar dengan teman-teman barunya.

"Oh? Hm, selamat pagi juga (Y/N)."

Aku tersenyum lebar tak mempermasalahkan bahwa ia tak menyisihkan pandangan ku dari benda persegi panjang itu. Mungkin itu juga temannya. Laki-laki ini punya banyak teman sehingga otak payahku ini tak dapat mengingat semuanya. Entah dengan Jimin yang sepertinya bertalenta dalam menjalin hubungan sosial.

"Kau sibuk akhir pekan ini?" tanya ku karena mulutnya sedari tadi tak mengujarkan kata-kata.

Kepalanya menggeleng tanpa kata menandakan kelonggaran kegiatannya. Beberapa hari ini ia tidak punya waktu untuk bisa diluangkan bersamaku. Tapi, aku tetap berusaha menunggu.

"Bagus! Kita bisa pergi ke bioskop? Ada film yang ingin aku lihat! Kau bisa kan menemaniku?"

"Hm, iya. Tentukan waktu dan tempatnya."

"Ah terimakasih!" aku tersenyum di dekapan lengan milik Jimin.

"Jimin-ah!"

Penglihatan kami berdua mengedar pada seruan yang memanggil nama Jimin. Wanita itu berlari menghampiri keberadaan kami yang terhenti dari berjalan kaki. Senyuman yang lebar menggantung di wajahnya.

"Jihyo? Kau berangkat pagi? Tidak seperti biasanya?" Mata laki-laki itu menyipit karena tawa kecilnya. Sementara Jihyo memukul pelan bahu Jimin karena ejekan yang baru saja dilontarkan.

"Dasar! Jimin-ah, kau bisa temani aku untuk makan pagi di kantin, kan? Aku tidak punya teman" Bibir Jihyo melengkung kecil namun, sambutan yang Jimin berikan adalah senyuman dengan sentuhan acak di rambut pendek Jihyo.

"Baiklah. Ayo!" seru Jimin balik.

Aku tak bisa berbohong jika perlakuan yang sederhana itu sedikit menghantam hati kecil ku.
Jimin melepaskan tautan tangannya padaku untuk memasukkan ponsel itu ke dalam sakunya. Iris laki-laki itu bertahan pada Jihyo begitu pula sepucuk senyumnya.

"Tunggu! Jimin-ah, bukannya kau belum menyelesaikan pekerjaan rumah mu?" Aku menyela sesaat ketika Jimin melangkahkan kakinya.

"Ah, kau bisa membantuku untuk itu, kan? Kau ke kelas duluan. Aku akan menemani Jihyo sebentar." ujarnya dan berlalu begitu saja bersama Jihyo yang berjalan di sampingnya sembari menarik kecil lengan baju Jimin.

Lalu, bagaimana dengan aku?


Apa yang terjadi? Apa yang terjadi pada kami? Dimana Jimin yang selalu melihatku saat itu? Dimana Jimin yang sering tersenyum denganku? Dia bahkan sibuk dengan ponselnya namun saat Jihyo menghampiri, ia langsung menyibak urusannya.

Tapi, ia masih memelukku dengan lengan itu. Ia masih menggengam tanganku dengan tangan itu. Seakan semuanya masih sama tapi perasaan ganjil tak mau hilang dari hatiku. Apa temannya lebih penting dariku? Apakah aku masih berarti seperti dulu kala?

"Selamat pagi, (Y/N)." Suara tanpa antusias milik Yunhee menyapa gendang telingaku. Entah mengapa sejak aku menjalin hubungan dengan Jimin, persahabatan kami kurang bergairah lagi.

"Selamat pagi, Yunhee." balasku. Mataku kembali tersambung pada pekerjaan rumah Jimin yang sudah separuh selesai. Tapi, sudah hampir lebih dari 20 menit pria itu tak menampakkan dirinya di kelas.

"Aku tidak percaya. Kau mengerjakan PR Jimin? lagi?" Kini tampak emosi di nada suara Yunhee yang mendudukkan dirinya di kursi.

Aku hanya mengangguk dan menerima helaan napas berat dari teman sebangku ku. Ia mungkin masih belum bisa menyetujui hubunganku dengan Jimin.

IMAGINE WITH BTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang