Move On!

725 23 8
                                    

Fatih masih berkutat pada hukumannya kali ini. Ia terlambat bangun pagi tadi. Mungkin efek semalaman ia memikirkan tunangannya yang memilih menikah dengan pria lain karena material.

"Sembilan puluh tujuh, sembilan puluh delapan, sembilan puluh sembilan, seratus ..." Ia mengakhiri hukuman push up-nya. Seniornya kini melihat sadis ke arah Fatih.

"Lain kali jangan terlambat lagi. Kau sudah tingkat tiga di sini. Sekarang, langsung masuk ke dalam barisan dan ikuti teman-temanmu untuk apel pagi. Laksanakan!"

Fatih memberi hormat. "Siap laksanakan!"

Setelah senior membalas hormatnya, ia menurunkan tangannya dan langsung masuk ke dalam barisan.

Fatih Ramadhan Putra. Biasa dipanggil Fatih. Pria usia 20 tahun, bertubuh tegap dan jangkung, berkulit sawo matang dengan mata lebar serta wajah yang bisa dibilang tampan dengan bekas jahitan di pelipis kanannya.

***

Apel pagi telah selesai dilaksanakan. Kini Fatih bersama kedua kawannya, Riski dan Tommi, berjalan menuju ke ruangan untuk sarapan.

"Tumben banget lu telat, Tih." Riski memulai percakapan setelah lama terdiam.

"Gue kesiangan." Fatih membuang napasnya kasar.

"Kenapa lagi sama Rita?" Seakan memahami keadaannya, Tommi menepuk bahu Fatih dari samping.

"Kalian tahu kan sama Komandan Ferdinand?" Setelah memastikan kedua kawannya mengangguk, Fatih melanjutkan ucapannya. "Rita lebih memilih Komandan Ferdinand saat melamarnya dua hari lalu. Padahal Rita itu masih tunangan gue lho. Apa mungkin gara-gara komandan lebih mapan dan lebih tinggi pangkatnya, lalu ia lebih memilih komandan?"

Siapa juga yang tak suka dengan Komandan Ferdinand itu. Badannya tegap dan gagah, wajahnya tampan, bahkan sudah terdapat bintang tiga di kedua bahunya.

"Kan gue udah pernah bilang gimana sebenarnya Rita itu, kan? Lu aja yang bandel, dikasih tahu ngeyel terus." Riski mengambil dua piring di depannya, lalu menyodorkan satunya kepada Fatih.

"Dih, gue nggak diambilin sekalian." Tommi pura-pura merajuk.

"Kalau lu galau segalau Fatih pagi ini, gue juga ambilin piring buat lu. Lagian lu bahagia-bahagia aja, istri lu sehat, bayi lu juga sehat. Nah, kalau Fatih? Kisah cintanya rumit." Riski menimpuk pelan kepala sohibnya itu yang hanya dibalas dengan cengiran kuda.

"Gue nggak sengenes itu, Ris." Fatih mengambil sedikit nasi beserta lauk-pauk yang sudah disediakan.

"Ya, tapi kan ..."

"Sudahlah, mending kita segera makan sebelum senior marah. Dan lu, Tih. Jangan lemah gara-gara seorang wanita. Lu bukan ABG lagi. 20 tahun bro, bukan waktunya lagi untuk menangisi masa lalu." Tommi mendahului kedua sohibnya, takut kena marah senior.

Riski dan Fatih terpaksa mengakhiri percakapannya pagi ini. Mengalah dengan suasana, daripada harus mendapat hukumannya lagi, kan?

"Fatih?" Panggilan itu sanggup membuat Fatih menghentikan sarapannya segera.

"Lanjutkan makanmu! Setelah makan nanti langsung pergi ke ruangan Komandan Ferdinand. Paham?"

"Siap, Serda! Paham!" Fatih segera menyelesaikan sarapannya.

***

Fatih berjalan gontai di koridor menuju ruangan komandan Ferdinand. Entahlah, tak biasanya komandannya itu memangil. Apa mungkin karena Rita?

Seorang wanita keluar dari ruangan Komandan Ferdinand secara tiba-tiba. Membuat Fatih tak sengaja menabraknya karena terkejut.

"Maafkan saya, nona. Saya tidak sengaja." Ucapnya formal. Wanita itu hanya melihatnya sekilas dan kemudian menghilang di tikungan koridor. Fatih sangat yakin kalau wanita tadi menangis saat keluar dari ruangan Komandan Ferdinand. Mengapa?

Dengan mengumpulkan keberaniannya, Fatih mengetuk pintu ruangan Komandan Ferdinand.

"Masuk!" Suara menyahut dari dalam. Suara yang familiar bagi Fatih, yang jelas bukan suara Ferdinand.

Fatih membuka pintu ruangan Komandannya perlahan. Untuk memastikan wanita yang menganggu konsentrasinya tadi pagi tak ada di sana. Namun faktanya, wanita itu telah berdiri mesra di samping Komandan Ferdinand.

Fatih berusaha menganggap tak ada wanita itu di samping komandannya. Namun, sekeras apa pun Fatih mengabaikannya, malah terasa semakin dalam bahwa Fatih merindukan wanita itu. Sulit baginya melupakan lima tahun kebersamaan, kenangan yang tercipta luntur hanya karena material.

"Tahukah kamu mengapa saya memanggil kamu pagi ini?" Suara Komandan Ferdinand menyadarkan Fatih dari lamunannya.

"Siap. Tidak, Komandan!" Fatih menegapkan tubuhnya dengan posisi siap.

"Nggak perlu formal banget, Fatih. Ini bukan urusan militer atau tentang akmil." Komandan Ferdinand tertawa renyah.

"Lalu soal apa, Pak?" Tubuh Fatih tetap tegap walaupun tak setegap tadi.

"Kamu tahu kan kalau saya akan menikah dengan Rita?" Fatih hanya mengangguk, tanpa sedikit pun melihat Rita. "Kamu sudah ikhlas melepaskan Rita, kan?" Sambungnya.

"Ikhlas atau tidak, siap atau tidak, saya juga harus melepaskannya. Kalau ternyata dia lebih memilih Komandan, saya bisa apa?" Fatih menahan gejolak di dadanya.

"Aku udah manggil mantan pacar Ferdi juga tadi, udah ngutarain maksud kita, apalagi sudah ada jabang bayi usia empat bulan di sini, jadi mau tidak mau, kamu harus tetap mau." Rita mengelus perutnya. Fatih baru menyadari bahwa perut itu lebih besar daripada biasanya.

"Saya juga sudah melepaskanmu. Bahwa tak sebaiknya saya menahanmu kalau memang rasa sudah tak ada. Kalau hanya ini yang Komandan mau ucapkan, saya sudah ikhlas seratus persen melepaskannya. Saya kira ucapan saya sudah selesai, saya izin, karena saya ada tugas bongkar pasang senjata bersama taruna tingkat pertama di Lapangan Tembak Akmil Salaman." Fatih berujar sopan.

"Oh, iya, silakan kerjakan tugas dengan baik." Perintah Komandannya.

"Dan aku harap, kau jangan menangis seperti mantan Ferdi tadi." Rita tersenyum sinis.

Fatih keluar dari ruangan itu. Sekejap ia merasa lega, setelah merasakan ruangan komandannya pengap. Tunggu! Menangis seperti mantan Ferdinand? Berarti, wanita itu?

Fatih berjalan lemas. Jadwal bongkar pasang senjatanya masih satu setengah jam lagi. Pikirannya masih kalut.

"Kalau sekarang Rita sudah empat bulan mengandung janin Komandan, berarti ia sudah berselingkuh saat masih bertunangan denganku, boro-boro mau ngajak hubungan, nyium aja nggak pernah." Fatih mempercepat jalannya. Ia perlu bercerita dengan kedua kawannya.

Army With Love [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang