Stalking (With Love)

373 13 5
                                    

"Aku rindu ...." Suara itu mampu melunturkan rasa rindu Fatih terhadap si empunya suara.

"Aku juga rindu, El." Fatih tak menyadari bahwa ia mengatakan itu.

"El? El itu siapa?" Merasa tersadar, Fatih menjauhkan gawainya dari telinga dan melihat nama pemanggil. Tertulis disana Kakak LDR.

"Eng ... Enggak siapa-siapa kok, Kak. Anu, cuma temen aja," jawab Fatih gugup.

"Haha, iya deh. Kakak percaya kalau kamu itu lagi jatuh cinta setelah ditinggal rabi mantan, kan?" goda Aya dari seberang. "Dek opo koe lali, karo sumpah janjimu. Mbiyen bakal ngancani, urip tekat matiku. Pancene koe tego medot tali asmoro. Rabi karo wong liyo, mblenjani tresnoku nelongso. (Dek apa kamu lupa, dengan sumpah janjimu. Dulu pernah menemani, hidup sampai matiku. Ternyata kamu tega mutus tali asmara. Menikah dengan orang lain, mengkhianati cintaku nelangsa)." Aya menyanyikan lirik lagu itu. Suara khasnya dan merdu itu mampu membuat Fatih tersenyum.

"Dih, Kakak apaan sih." Fatih tertawa, ia sedikit terhibur.

"Dek, bilang sama Ibu, minggu depan Kakak pulang. Kakak juga mau ngenalin pacar Kakak orang Solo yang sama-sama studi disini. Namanya Husni. Program studi Aqidah dan Fiqih lho disini. Katanya nanti datang ke rumah sama Abi Umminya. Sekalian mau ngelamar Kakak. Kamu bisa di rumah, kan?" Nada bicara Aya terdengar bahagia.

"Haduh, Kak. Ini aku lagi pesiar. Ini aku juga di rumah. Minggu depan aku masih penaikan tingkat nih. Apalagi aku dapat promosi jadi Kapten. Nggak bakalan dapat izin cuti, nih. Ntar kalau Kakak nikah aja ya aku pasti ambil cuti. Tapi doain ya, Kak. Pas Kakak nikah, aku udah jadi TNI-AD."

"Iya, dek. Kakak selalu doain kamu disini kok. Kakak boleh bicara sama Ibu?"

"Boleh, Kak. Sebentar, ya. Aku carikan Ibu dulu."

Fatih berjalan menuju ke arah dapur. Benar dugaannya, Ibunya berada disana. "Bu, ini Kak Aya mau bicara sama Ibu."

Fatih memberikan ponsel pada Ibunya. Ia kemudian meninggalkan sang Ibu yang asik bercengkrama dengan Aya melalui telepon. Pria itu tahu, bahwa si Ibu akan lama jika sedang berbincang melepas kerinduan dengan anak sulungnya itu. Bahkan selama apapun mereka mengobrol, Ibu pasti akan tetap bilang Ibu masih rindu kamu, Ay. Berbeda jika berbincang dengan Fatih. Cukup sekejap dan Ibunya bilang itu sudah mengobati rasa rindunya. Sebenarnya tak adil. Namun rasa sayang Fatih ke Ibu dan Ayahnya mengalahkan rasa egoismenya.

"Ayah baru ngapain?" Fatih berjalan mendekat menuju ruang keluarga saat sang Ayah sedang mengotak-atik ponselnya.

"Enggak, Ayah ingin menelpon Aya, tapi operator bilang nomor sedang sibuk." Fatih hanya tersenyum.

"Kakak sedang nelpon Ibu menggunakan ponselku, Yah. Kalau Ayah mau bicara sama Kakak, ke dapur saja, nanti gantian sama Ibu." Fatih mendaratkan pantatnya di samping Ayahnya.

"Nak?" panggil Ayah Fatih.

"Iya, Yah?" Fatih memusatkan fokusnya pada sang Ayah.

"Kamu yakin mau jadi kapten pasukan Infanteri?" Ada nada takut kehilangan disana.

"Iya, Yah. Memangnya kenapa?" Fatih lebih antusias saat Ayahnya membahas tentang dunia militer.

"Infanteri itu pasukan yang paling depan yang akan maju bila diserang musuh. Kamu tahu itu, kan?"

"Iya, Yah. Fatih tahu kok."

"Kan resiko terluka dan meninggalnya lebih besar." Kekhawatiran Nampak jelas pada pelupuk mata yang sudah mulai mengeriput itu.

"Ayah, tugasku nanti memang tidaklah mudah. Bahkan nyawapun taruhanku, Yah. Namun, disini kehormatan bangsa lebih berarti, Yah." Fatih tak kuasa melihat genangan air mata yang siap jatuh kapan saja dari mata Ayahnya.

Army With Love [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang