Fatih menghempaskan tubuhnya pada kasur hotel. Membiarkan tubuhnya memantul. Kakinya menjuntai bebas. Ia memejamkan matanya. Hampir saja ia tertidur kalau Riski tidak mengganggunya.
"Oi, katanya mau ketemu sama Ela? Katanya mau jalan-jalan? Kok malah tidur?" Riski menepuk pelan kaki Fatih.
Pria yang disebut Kapten itu menggeliat malas. Dilihatnya arloji yang melingkar pada lengan kanan. "Jam sembilan, kan janjiannya jam sepuluh, Ris," ujar Fatih lirih.
"Haha, iya-iya .... Yang nggak sabar pengen ketemu sama Ela." Riski tergelak, membuat Fatih seketika memukul pelan paha Riski.
"Aww, salting ya salting, tapi jangan mukul-mukul kayak gitu dong." Riski sensi, diusapnya paha yang tadi menjadi sasaran pukulan Fatih.
"Ya maap, siapa suruh godain Kaptennya." Riski tergelak lagi, mereka tak pernah serius dalam urusan bertengkar. Jiwa korsa mereka telah dilatih sejak awal mereka masuk dalam dunia militer.
Fatih kembali terdiam. Ia mengambil ponsel dari saku celananya. Netra pun tak lepas dari layar ponsel. Asik menatap riwayat chat.
Centang dua biru? Kamu kemana, El? Aku jadi khawatir,batin Fatih.
Lelaki itu mulai beranjak duduk. Lantas mengangkat kaki kanannya ke atas kasur. Fatih menekuk celananya ke atas sampai sebatas lutut. Perban masih melingkar manis pada kakinya.
"Tih, lu belum cerita deh sama gue." Riski duduk di samping Fatih, ikut memperhatikan perban tebal pada kaki kanannya.
"Cerita tentang apa?" Fatih mulai menurunkan celananya kembali.
"Cerita waktu lu di jurang. Kan gelap tuh, apalagi berkabut, licin juga, kan?"
Fatih mengangguk, membenarkan ucapan Riski tersebut. Ia membenahkan duduknya.
***
Fatih tak sengaja menginjak ujung tebing yang rapuh. Lelaki itu berusaha kembali ke belakang, namun tebing itu lebih cepat rapuh dan jatuh ke bawah, membawa serta tubuh Fatih dengan kaki yang masih mengucurkan darah segar sebab terkena benang layangan.
Tangan Fatih terjulur ke atas, berusaha menggapai pegangan yang sekiranya bisa ia raih. Sebuah batu terjulur sedikit, membuatnya segera meraih batu tersebut. Sebab tekstur batu yang tak begitu kuat, setelah beberapa kali Fatih tertimpa beberapa batu kecil dan besar yang menimpa bahu kanannya, tumpuan lelaki itu pun akhirnya lepas. Membawa Fatih kembali terjatuh pada kedalaman yang tak ia ketahui tersebut.
Badannya terhempas begitu saja pada hamparan batu berlumut. Fatih merasakan nyeri pada badannya, terutama pada bahu kanannya, anggota tubuh yang pertama kali mencium hamparan batu tersebut, setelah sebelumnya tertimpa beberapa kali oleh batuan.
Fatih mencoba bangkit. Tangan kirinya terulur memegang bahu kanan, dirasakan basah di sana, serta bau anyir khas darah. Ia melihat telapak tangan kirinya, benar saja, bercak darah tercetak jelas disana.
"Ah, bagaimana caraku bisa kembali ke atas sana lagi?"
Lelaki itu mulai meraba dinding tebing. Fatih menaksir ketinggian tebing itu tak sampai 5 KM, atau bahkan kurang. Ia menurunkan ranselnya. Mengambil dua buah benda. Nasib untung baginya yang selalu membawa pisau dan gunting lipat itu. Fatih mulai memanjat perlahan. Ditusuknya secara gantian kedua alat tajam tersebut sambil merangkak ke atas. Tekstur dinding tebing tersebut merupakan tanah yang lembab namun padat. Sehingga memudahkan Fatih mulai memanjat tebing tersebut.
Fatih terus berusaha merangkak, meskipun bahu kanannya terasa nyeri, begitu juga dengan kaki kanannya. Setelah sekitar tiga perempat perjalanan, ia menemukan pijakan yang sepertinya sengaja dibuat. Namun kabut tebal membuat ia tak bisa melihat ke atas. Fatih mulai menaiki pijakan tersebut secara perlahan, ia memandang lurus pada setiap pijakan yang ia injak, takut jika pijakan tersebut rutuh dan kembali membawanya terjun bebas ke bawah lagi.
"Kapten...!" Terdengar teriakan yang familiar, membuat Fatih mendongak ke atas, dan didapatinya anggota tim yang sedang berbondong-bondong turun dengan membawa beberapa tanah liat basah dan korek api, sepertinya pijakan tadi mereka yang membuat.
Fatih tersenyum, lantas segera menggapai tangai Tommi dan Regan yang terulur. Sesaat setelah mereka telah sampai di atas, Fatih sudah tak ingat apa-apa lagi. Semuanya terasa berat baginya. Bahu dan kakinya pun terasa sangat nyeri dan linu.
***
"Dan setelah itu, yang aku ingat aku sudah di ruang kesehatan bersama kalian." Fatih mengakhiri ceritanya. Membuat Riski hanya mengangguk.
Lelaki itu kembali melihat arlojinya, "Jam setengah sepuluh," ujarnya lirih.
"Belum ada kabar dari Ela?" tanya Riski hati-hati.
Fatih menggeleng. "Eh, anak-anak kemana ya?" ujarnya, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Riski hanya tersenyum. "Tadi keluar, katanya jalan-jalan dulu di sekitar hotel sebelum jalan-jalan nanti, sekalian isi perut katanya, pada laper. Tapi ya bener juga, sih? Kan kita keluar shubuh-shubuh juga, mana belum sarapan."
"Eh, iya juga ya .... Gue telpon hotel aja ya, minta antar makan. Gimana?" Fatih beranjak dari duduknya.
"Eh, jangan. Gue tadi udah pesen ke Tommi sekalian, bawain makanan sekalian buat gue sama lu, palingan ini dia lagi di jalan." Riski segera menarik tangan Fatih yang hampir saja menuju ke telepon hotel.
"Owalah, ya sudah deh kalau gitu." Fatih kembali menghempaskan tubuhnya pada kasur. Ia sungguh mengkhawatirkan keadaan Ela sekarang.
Terdengar suara berisik dari arah pintu, membuat kedua sahabat itu langsung melihat ke arah pintu. Sesaat pintu terbuka, menampakkan Tommi, Regan, dan Yoga. Terdengar desah kecewa dari mulut Fatih.
Riski melirik ke arah Fatih, ia tahu bahwa kaptennya itu mengharapkan kehadiran Ela. Riski lalu kembali memandang pada ketiga rekannya. "Kalian kenapa berisik sekali?"
"Ya maaf, lagian tuh si Regan nggak mau bawa apa-apa, sampai udah ribet banget nih bawaannya. Asik selfie mulu dari tadi," jawab Tommi sambil membenahi barang bawaannya.
"Iya nih, kayak nggak pernah ke Jogja aja lu ah," timpal Yoga, sedang seseorang yang dimaksud hanya tertawa renyah menampilkan mimik watados – wajah tanpa dosa.
"Sudah-sudah."
Fatih beranjak dari duduknya. Berjalan mendekati ketiga rekannya. Setelah menutup pintu kamar, ia mengambil alih barang bawaan dari Tommi dan Yoga. "Ini tidak terlalu berat, kenapa kalian harus berdebat?"
Fatih berjalan menuju dapur mini yang tersedia. Menata belanjaan pada piring, serta menuangkan beberapa plastik minuman dingin ke teko kecil. Seseorang menepuk pelan punggung Fatih, membuat lelaki itu lantas menoleh.
"Oh, Yoga. Ada apa?"
"Ada tamu di depan, nyari kapten. Ini biar saya saja yang melanjutkan." Fatih mengangguk, membuat Yoga segera mengambil alih tugas Fatih.
Kapten Infanteri tersebut segera meninggalkan dapur, berjalan malas menuju ke ruang tamu. Seseorang wanita telah menunggunya di sana. Saat wanita tersebut menoleh, Fatih berhasil terpaku. Terdiam dan tak bergeming.
KAMU SEDANG MEMBACA
Army With Love [SUDAH TERBIT]
RomanceMereka dipaksa dekat. Mereka dipaksa melakukan sesuatu yang bahkan baru untuk mereka. Hanya karena keadaan yang tak memungkinkan mereka untuk memperjuangkan cintanya. Saat cinta yang telah diperjuangkan ternyata mengkhianati mereka cukup lama. Bukan...