20. Miss

2.2K 257 14
                                    

**
Iqbaal sedang santai di sebuah caffe dekat dengan apartment-nya. Ia bersama teman-temannya dari indonesia.
Ini adalah siang yang terik di new york.
 
"Gila, gue kangen banget sama sayur kol emak gue," curhat Rehan, teman Iqbaal yang kebetulan bernasib sama dengan Iqbaal.

"Sama daging dog-nya enggak?" Dana nyahut dan mendapat toyoran dari Rehan.
Dana itu orang yang mendapat beasiswa paling dulu di sini. Dan bisa di katakan senior bagi Iqbaal dan Rehan.

"Yakali," balas Rehan.

"Baal, kenalin ke adik lo ke gue dong!"

Iqbaal menatap tajam Rehan.
"Kagak," balasnya. Rehan nyengir.

"Seharusnya lo beruntung dong, adik lo gue demenin. Kan gue ganteng," ucap Rehan dengan percaya dirinya, dan itu mendapat cibiran dari Dana.

"Nggak sudi gue punya ipar sengklek kek lo," ucap Iqbaal.

"Sengklek sengklek begini gue pinter."

Ucapan Rehan berhasil membuat Iqbaal kembali melamun. Ia memikirkan bagaimana adiknya di sana. Apakah nilainya sudah membaik?
Iqbaal selalu khawatir dengan nilai adiknya. Bukan, maksudnya dengan adiknya yang mungkin mendapat omelan ayahnya karena nilai jelek. Iqbaal pun pernah mengalaminya.

Hidup jauh dari orang tua dan orang terdekatnya, membuat Iqbaal sadar, betapa berharganya mereka.
Betapa berharganya kasih sayang bunda yang sangat ingin Iqbaal dapatkan Untuk sekarang ini.

"Baal, lo kok hobi banget melamun! Lo ada masalah?" Tanya Dana.

"Nggak," balas Iqbaal.

"Kalau ada, cerita aja sama gue! Siapa tahu, gue bisa membantu?"

"Benar tuh Baal," sahut Rehan.

"Gue kangen banget sama bunda Dan! Gue kangen di cuciin baju sama bunda." Iqbaal merengek. Ia memang benar-benar merindukan pahlawan Iqbaal.

"Yaelah. Lo kayak anak kecil aja," balas Rehan.

"Baal, seharusnya sebelum berangkat ke sini lo harus sudah siap mental dulu.
Lo kan tahu kalau di L.A itu jauh banget sama jakarta. Lo bisa mikir kan," ucap Dana.

Iqbaal mengangguk saja.
"Tapi gue juga menghawatirkan keadaan keluarga gue di sana Dan. Apakah mereka bahagia?" Batin Iqbaal.

**

Suasana dingin di meja makan sudah biasa bagi (Namakamu) untuk beberapa bulan ini.

"Bunda, ayah, (Namakamu) mau ikut lomba art," ucap (Namakamu) pelan sekali.

"Ayah nggak setuju," ucap ayah Heri cepat. Matanya menatap tajam (Namakamu) yang menunduk itu.

"Bunda setuju kok dek. Kapan lombanya?"

Ayah menatap bunda.
"Ayah nggak setuju bun! Gak ada lomba menggambar! Kayak anak tk saja," ucap Ayah dengan nada sedikit tinggi.

"Ayah, seharusnya ayah men-support (Namakamu), bukannya melarang." Bunda menatap ayah tak percaya.

"Biarin (Namakamu) membuktikan yah, kalau (Namakamu) itu bisa!" Bunda mengelus punggung (Namakamu).

"Terserah."
Ayah bangkit sembari menggebrak meja. Dan itu membuat (Namakamu) dan bunda tersentak.

"Kamu nggak usah takut ya dek," ucap bunda pelan. (Namakamu) mengangguk kecil.

"Bun..bunda, (Namakamu) boleh ikut?"

Bunda tersenyum.
"Boleh dong. Semoga kamu menang ya dek."

(Namakamu) mengangguk.
"Amin," balasnya.

"Yaudah, lanjut yuk makannya! Kamu hiraukan saja ayah mu itu. Bunda akan mengurusnya.

"Iya bunda, makasih."

"Sama-sama sayang."

**
Jefri menatap pemandangan kota di atap sebuah gedung.
Ia menikmati semilir angin di sana sembari membayangkan wajah adik perempuannya di sana.
Apakah dia baik-baik saja? Pertanyaan itu terus saja terngiang di fikiran Jefri.

Ingin sekali Jefri membawa adik tercintanya itu tinggal di kota indah ini, bersamanya.
Pertama kali Jefri mendarat di kota ini beberapa tahun silam saat ia ada suting, ia langsung jatuh cinta dengan kota ini.
Entah karena apa dia sangat menganguminya.
Ia juga bermimpi untuk bisa tinggal di sini selamanya. Dan mungkin, mimpinya itu menjadi kenyataan.
Sekarang, Jefri bukan lagi berkewarganegaraan indonesia.
Ia telah menjadi orang spanyol.
Walaupun harus menghadapi kemurkaan ayahnya  dan tangis kesedihan bundanya. Tetapi Jefri telah melewatinya. Ia berhasil melepas apa yang di milikinya dan memulai semuanya dari nol di negara asing yang kini telah menjadi negaranya.

Kini Jefri, hidup sendiri dengan sisa uang yang di milikinya. Mungkin tak seberapa, tapi ia bahagia.
Setidaknya ia terbebas dari kekangan ayahnya.
Hey, jangan kalian fikir (Namakamu) saja yang terkekang. Jefri maupun Iqbaan pun juga.
Tidak, Jefri itu juga tidak pintar. Tapi, karena dirinya mampu dan bisa, ia telah berubah. Tidak seperti (Namakamu) yang memang menderita syndrom itu.

Setelah puas menikmati pemandangan indah itu, Jefri kembali turun dan berangkan ke tempat kerjanya.
Jefri itu bukan lagi aktor terkenal, tetapi ia hanya model di sini. Tak apa, Jefri sangat menikmati hidupnya yang sekarang.

Sebelum Jefri memulai kerjanya, ia mengirimi sebuah pesan untuk (Namakamu).
"Tidur yang nyenyak dan makan yang banyak ya." Tulisnya di dalam pesan tersebut.


Oke, cerita ini semakin gak jelas.
Dan mungkin, ini mungkin ya, mungkin...
Dua sampai tiga part lagi bakal aku tamatin.
Dan mau fokus sama cerita yang 'me and my sister' yang sekarang sedang terbelangkai.

Jangan lupa pencet bintang sama komentarnya😙

(namakamu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang