23. sad

3.1K 362 124
                                    

**
Sebenarnya saat ini, (Namakamu) masih harus di rawat di rumah sakit. Tapi ia malah sudah berada di rumah.
Alasannya, (Namakamu) tidak mau dokter tampan yang merawatnya itu tahu jikalau (Namakamu) telah mengeluarkan dua kantong darah untuk bundanya dengan paksaan ayah.
(Namakamu) tidak mau dokter tampan itu tahu bagaimana sifat ayahnya.

Saat ini, (Namakamu) sedang istirahat di kamarnya. (Namakamu) terlalu lelah untuk melakukan apapun. Bahkan, rasa sakit saat ia kecelakaan seminggu lalu masih terasa.
(Namakamu) tak ingin menghubungi kakak pertamanya. Ia tak mau jikalau kakak pertamanya itu bersikap menyalahkan dirinya atas kecelakaan itu. Mungkin, (Namakamu) berfikiran Jefri akan bersikap seperti Iqbaal.

(Namakamu) keluar dari kamarnya ketika di dengarnya suara langkah yang melawati kamarnya.
"Abang," ucap (Namakamu) kepada Iqbaal yang akan memasuki kamar yang berada tepat di samping kamarnya.

Iqbaal menoleh dengan malas.
"Apa?" Responnya.

"Apa bunda sudah sadar?"

Iqbaal berjalan mendekati (Namakamu) sembari menatapnya tajam.
(Namakamu) berjalan mundur karena takut. Sampai tubuhnya terpojok di dinding.

Iqbaal tersenyum miring.
"Bunda." Iqbaal mengusap wajahnya kasar.

"Bunda lumpuh gara-gara kamu dek! Dan sekarang, sekarang bunda bahkan nggak menerima keadaanya! Bunda harus mendapat penanganan dari psikolog!
Kenapa sih dek kamu selalu sebapin masalah!" Setelah itu Iqbaal memasuki kamarnya dengan membanting pintu.

(Namakamu) terdiam. Fikirannya kini sedang mencerna ucapan Iqbaal.
Setelahnya, (Namakamu) berjalan cepat menuruni tangga.

**
(Namakamu) menatap sendu bundanya yang menatap ke depan dengan pandangan kosong. Dengan pelan, (Namakamu) mendekatinya.

(Namakamu) memegang tangan bundanya.
"Bunda," ucapnya pelan. Bunda sedikit terkejut, setelahnya malah menghempaskan tangan (Namakamu) kasar.

"Pergi kamu! Pergi!" Teriak bunda.
(Namakamu) menatapnya nanar.

"Bunda," ucapnya lagi. Bunda menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya.

"Jangan panggil aku bunda! Pergi!"

Bruk..
(Namakamu) menatap bundanya tak percaya. Kenapa bunda mendorongnya?

"Ada apa ini?" Ayah masuk dengan wajah panik. Ayah mendekati bunda dan mengelus kepalanya dengan sayang.

"Pergi! Pergi!" Bunda terus meraung.

(Namakamu) bangkit dari jatuhnya.
"A..ayah."

Ayah melihatnya, lalu, ayah menarik (Namakamu) keluar dari ruang rawat istrinya. Di hempaskannya tubuh (Namakamu) tepat di depan ruang rawat istrinya.
Iqbaal beserta oma opa dari bundanya itu hanya melihat tanpa berniat menolongnya.

"Sebenarnya saya capek mengurus mu! Saya capek harus selalu menutupi kebodohanmu dengan menyuap sekolahan! Saya capek harus selalu memarahimu!
Sebaiknya kamu pergi dari kehidupan saya dan keluarga saya!"
Ucapan ayah berhasil membuat hati (Namakamu) hancur.
Anak mana yang tak hancur saat ayahnya memanggil dirinya saya, bukan ayah ataupun papa.

Yang hanya bisa di perbuat (Namakamu) saat ini hanya menangis.

"Ayah." Iqbaal berucap sembari berjalan mendekati (Namakamu).

"Diam di sana kamu Baal! (Namakamu), kamu paham kan maksud saya!"

"Ayah, hiks." (Namakamu) memohon di kaki ayahnya. Untungnya koridor di rumah sakit lantai empat ini sepi. Jika tidak, mungkin, akan banyak yang menontonnya dan mengabadikannya.

(namakamu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang