22. kamarahan

2.5K 263 31
                                    


**
Mata hazel (Namakamu) megerjap, mencoba menyesuaikan dengan cahaya.
(Namakamu) sedikit meringis.
"Ah, kenapa kepala ku sakit sekali," batinnya.
(Namakamu) menatap langit-langit ruangan putih itu dengan bingung. Ia tak bisa menoleh, badannya terasa kaku saat ini.

"Bunda," gumamnya lagi. Ia ingat, ingat kenapa tubuhnya bisa sakit seperti ini.

"Bunda," gumamnya lagi. Bibirnya ini sangat sulit untuk berbicara keras. Yang hanya bisa ia lakukan saat ini hanya melirik ke kanan dan kiri tanpa bisa menolehkan kepalanya.
Ingin mengangis pun rasanya susah.
Yah, gadis kecil ini sendirian di dalam ruangan asing itu.
Bukannya (Namakamu) sedih berada di ruangan ini sendiri tanpa ada orang yang menemani, tapi karena ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada ibunya.

"Dokter, pasien sudah sadar." Pekikan suster menggema di ruangan putih ini.
Yah, saat ini (Namakamu) memang berada di rumah sakit.

Dengan tergesa, seorang dokter mendekat untuk memeriksa keadannya di ikuti suster yang mencatat apa yang di perintah dokter.

"Hallo (Namakamu), bagian mana yang masih sakit?" Tanya dokter tampan itu dengan ramah. Ingin sekali (Namakamu) tersenyum untuk dokter itu, tapi tidak, ia tidak bisa tersenyum.
(Namakamu) hanya menggeleng.
Dokter itu tersenyum.

"Syukurlah, kamu hebat!" Dokter itu mengacak pelan rambut (Namakamu), setelahnya beranjak pergi.

"Bun..bunda."

Dokter itu menghentikan jalannya ketika mendengar suara gumaman (Namakamu). Dokter itu berbalik.
"Bunda kamu masih kritis (Namakamu), harus menjalani perawatan yang intensif," ucap dokter itu.

"Ak..aku mmmau sam..a bun..bunda," ucap (Namakamu).

"Nggak bisa sekarang (Namakamu), kamu juga masih sakit!"

(Namakamu) menatap dokter itu dengan memohon. Dokter itu menghela nafas, lalu tersenyum.

"Besok saja dokter antarkan ketemu bunda kamu. Kamu istirahat gih." Setelahnya dokter tampan itu benar-benar pergi.

(Namakamu) menghela nafas pelan. Dengan perlahan, (Namakamu) mencoba untuk bangkit, sesekali di sertai ringisan.

(Namakamu) berhasil turun dari ranjang rumah sakit itu. Ia berdiri sembari memegang tiang infus. Dengan pelan, ia melangkah untuk mencari bundanya.

"Bunda," ucapnya pelan.

(Namakamu) melihat ayah dan kakak keduanya ini berada di depan sebuah ruangan.
(Namakamu) menatap bingung Iqbaal. Kapan Iqbaal sampai di indonesia? Kenapa Iqbaal bisa secepat ini pulang? Dan, sudah berapa lama dirinya ini tak sadarkan diri?
Pertanyaan itu terlintas di fikiran (Namakamu).

(Namakamu) berjalan mendekati mereka.
"A..ayah, ab..abang."

Ucapan pelan (Namakamu), berhasil membuat keduanya menoleh.
(Namakamu) menundukkan kepalanya, ketika di lihatnya ayahnya yang menatapnya dengan murka.

"Masih hidup kamu?"

Pertanyaan itu membuat hati (Namakamu) mencelos.

"A..abang."

Iqbaal mendekati (Namakamu) dan mendorong tubuh ringkih itu.
"Kamu yang menyebabkan bunda koma. Abang benci sama kamu (Namakamu)," ucap Iqbaal dengan keras.

(Namakamu) menunduk. Liukan sungai telah tercipta di pipi besarnya.

"Maafin (Namakamu) bang," ucap (Namakamu) pelan.

"Nggak! Kamu, kamu lihat, karena kamu bunda sedang memperjuangkan nyawanya di dalam sana!
Pergi kamu! Pergi!" Tubuh Iqbaal merosot. Air matanya kembali turun.
Ia marah, marah dengan adiknya dengan alasan seperti itu. Tetapi, apa ia tahu, bahwa (Namakamu) juga tak menginginkan kejadian ini. (Namakamu) juga tak tahu jika akan terjadi kecelakaan di mobil yang di tumpanginya dengan ibunya.

**
(Namakamu) menangis di kamar rawatnya di temani dokter tampan yang kembali membawanya ke sini tadi.

"Jangan terlalu di fikirkan (Namakamu). Kamu harus istirahat!"

(Namakamu) menatap dokter tampan itu. Dokter itu bernama Kevin.

"(Namakamu) nggak bisa istirahat, (Namakamu) mau ketemu bunda!"

Dokter Kevin itu mengelus kening (Namakamu) sembari tersenyum.
Ia merasa kasihan dengan pasien kecilnya.

"Besok kita ketemu bunda kamu ya!"

"Dokter, berapa lama aku tidur?" Tanya (Namakamu).

"Dua harian. Tapi dokter bangga, kamu bisa cepet pulih," jawab sang dokter.

"Dokter, terima kasih."

Dokter Kevin tersenyum.
"Ini sudah tugas saya, (Namakamu)," ucapnya.

"Kamu tidur ya, dokter akan temani kamu sampai kamu tertidur."

(Namakamu) mengangguk, lalu mulai memejamkan matanya.
Dokter Kevin menatap (Namakamu) dengan sendu. Kenapa gadis sebaik ini tidak di perlakukan dengan baik oleh keluarganya?
Sendari tadi, pertanyaan itu tersimpan di benaknya.

**
Pagi-pagi sekali, ayah Heri sudah berada di ruang rawat (Namakamu). Ia menunggu si bungsunya membuka mata. Tak beberapa lama kemudian, mata hazel itu terbuka, dan (Namakamu) cukup terkejut dengan kehadiran ayahnya.

"A..ayah," ucapnya.

"Ayah mau kamu donorin darah kamu untuk bunda." Tanpa basa-basi, ayah mengucapkan kalimat kejam itu. Tak tahukan ia bahwa (Namakamu) juga sakit.

"Ayah mohon (Namakamu), cuma kamu yang bisa selamatin bunda!"

"Tapi, (Namakamu) masih sakit yah, (Namakamu) nggak mau!"

Ayah menatap tajam (Namakamu). Lalu dengan teganya ia menarik (Namakamu) untuk menuju ke ruang tranfusi.

Jangan bayangin kalau ayah Heri itu kejam ya gaes. Dan jangan juga bayangin kalau ayah Heri itu visualnya ayah Heri-nya Ale beneran!
Jangan pernah bayangin itu sekali-kali karena itu dosa besar.
Ini sebenarnya wajah ayah Heri, masih muda kan😊

Dan jangan lupa vote sama komentar yang panjang biar saya terhibur dengan komentar kalian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dan jangan lupa vote sama komentar yang panjang biar saya terhibur dengan komentar kalian.
TERIMA KASIH🙏

(namakamu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang