Sabreena's Warning

8.6K 982 89
                                    

Sejak pertemuan mereka di Cafe, Humaira kembali tinggal di rumah Fahri.

Pasalnya, ketika Fahri keluar cafe untuk menerima panggilan telepon, Maria menghampiri Humaira ...

"Liand, boleh Tante ngobrol berdua dulu sama Humaira?" Maria bertanya sebelum mengambil tempat duduk di hadapan mereka. Matanya sempat menangkap posisi ganjil tangan Humaira.

Tatapan Liand memohon pada Maria. "Mai nggak salah, Tante. Jangan kutuk dia jadi batu."

Maria tertawa mendengar permohonan Liand yang lucu. "Masa sih Tante segalak itu?" tanyanya pura-pura cemberut.

Liand tidak menjawab untuk berpikir. Watak galak Keysha, tukang mengintimidasi dan suka menjajah dirinya itu, dia yakin berasal dari Tante yang sedang berdiri di hadapannya ini.

Tapi tidak mungkin dia berkata jujur seperti itu di hadapan orangnya, apalagi di hadapan Humaira. Liand tidak setega itu. Karena itu dia memutuskan untuk menjawab, "Nggak, sih."

"Nah, kalau begitu izinkan Tante ngobrol berdua sama Humaira dulu, ya." Maria tersenyum seramah mungkin agar tidak membuat takut kedua anak remaja ini.

"Terus kalau nanti Bu Intan datang, tolong cegah dia dulu, sampai kami selesai ngobrol. Oke?" perintah Maria pada Liand.

Maria tahu posisi bu Intan berada di mana, sebab lima belas menit yang lalu netranya menangkap sosok pengasuh itu sedang berjalan menuju toilet.

Liand mengangguk ragu, kemudian ganti menatap posisi tangan Humaira yang masih berada di dalam saku jaketnya. "Mai, bisa kamu lepas tanganmu?" bisik Liand lirih agar tidak terdengar oleh Maria.

Kendati begitu, Maria masih bisa mendengar bisikan itu. Benar dugaannya, posisi ganjil itu ternyata disebabkan karena tangan Humaira berada di dalam saku jaket Liand.

"Ah, iya. Maaf." Humaira segera menarik tangannya keluar, kembali menatap Maria dengan jantung berdebar keras dan wajah memucat putih. Kedua tangannya beralih meremas gamis secara gugup.

"Teriak aja kalau kamu dijahatin sama Tante Maria. Aku pasti langsung datang menyelamatkanmu," bisik Liand serius.

Humaira mengangguk tanpa melihat remaja superhero itu.

Sedangkan Maria berdeham keras. Bisikan Liand masih bisa terdengar oleh telinganya. Wanita itu mengusir Liand dengan mengedikkan kepala.

Liand yang paham kode itu, segera pergi meninggalkan mereka berdua menuju Yusuf yang sedang asyik mengobrol dengan vokalis Café di bawah panggung.

"Mai," sapa Maria tersenyum, setelah mendudukkan diri di hadapan anak angkat Fahri itu.

Senyuman itu bagi Humaira terlihat seperti sebuah ancaman 'Aku masih punya perhitungan denganmu'. Seketika keringat dingin meluncur turun membasahi keningnya, seolah pendingin ruangan café tak berfungsi maksimal.

Tapi ia berusaha membalas senyuman Maria senormal mungkin. Kemudian tersadar bahwa isteri papanya ini mungkin tidak dapat melihat senyumannya dari balik cadar. Oleh sebab itu, ia pun melepas cadar dan mengulang kembali senyumannya. "Mama," balasnya menyapa.

Maria terkejut ketika mengetahui wajah yang tadinya tertutup cadar kini tampak semakin cantik dari terakhir kali mereka bertemu.

Kulit yang terlihat semakin halus bak sutra, bibir merah ranum yang proporsional dengan volume penuh di bagian bawah, pipi bersemburat kemerahan dan hidung yang mengerucut ramping, belum lagi mata birunya yang kini masih tertutup lensa warna hitam. Paripurna sudah kecantikan anak angkat Fahri yang semakin beranjak dewasa ini.

Humaira, A Girl With The Blue EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang