First Time Hijab

11.3K 1.1K 117
                                    

"Masih marah sama Papa?"

Duduk di kursi belakang mobil, Fahri menatap anak asuhnya yang secantik boneka itu. Apalagi ketika sinar matahari menimpa wajah Humaira, kulit itu terlihat bersih, putih dan sangat lembut. Bibirnya yang mengerucut cemberut terlihat sangat menggemaskan, semerah buah ceri yang sudah masak. Gamis biru muda bercorak cupcakes dengan kerudung putih sepinggang menambah kecantikan Humaira.

"Kita mau ke mana?" Tanpa menjawab pertanyaan dan tanpa mau menatap papanya, Humaira menanyakan arah tujuan kepergian mereka sekarang.

Fahri mengembuskan napas pelan. Pertanyaannya diabaikan oleh anak gadisnya sendiri. Perih.

Sementara di sebelah sopir yang sekaligus merangkap sebagai body guard, duduk bu Intan yang sejak tadi menguping pembicaraan mereka. Dia tahu sekesal apa hati Humaira karena merasa dibohongi orang yang dianggapnya sebagai papa kandung sendiri. Berulang kali dia memberi pemahaman pada anak asuhnya ini, tetap saja hatinya kaku, belum mau memaafkan Fahri.

"Kita mau menjenguk adiknya Liand. Kamu juga ingin lihat, kan? Lahirnya di sini, lho." Fahri menepuk jok mobil, "Waktu papa mau nganter tante Lia ke rumah sakit, bayinya nggak sabar mau keluar. Akhirnya ditolongin om Andrew lahir di sini." Cerita Fahri antusias, berusaha menarik perhatian Humaira.

Fahri berhasil. Humaira yang tadinya menatap lurus ke depan, kini mengalihkan pandangan padanya. Meskipun diam dan berwajah tanpa ekspresi, tapi selama Fahri bercerita dia mendengarkan sampai cerita itu selesai.

"Kalau adik Liand lahir di sini. Mai lahir di mana? Papa juga yang bantuin Mai lahir?" Humaira mempertanyakan pertanyaan yang sulit dijawab oleh Fahri.

Perlahan senyuman di bibir Fahri memudar. Dia kemudian berdeham untuk mengusir rasa canggung. "Papa tidak tahu. Orangtuamu menitipkanmu pada Papa sewaktu usiamu sekitar satu mingguan," jawab Fahri kemudian menghadapkan kepalanya kembali ke depan.

Dia sudah tahu jawaban akan pertanyaannya semula, Humaira masih marah. Semua pembicaraan mereka selalu berujung pada asal-usul Humaira yang sangat sulit dijawab oleh Fahri sekarang.

"Siapa orangtua Mai?" Benar saja. Lagi-lagi Humaira menuntut sebuah jawaban yang pasti dari Fahri.

"Orang Uzbekhistan." jawab Fahri tanpa melihat Humaira, atau lebih tepatnya tak sanggup menghadapi tatapan dingin anak gadisnya itu.

"Papa!" bentak Humaira kesal.

Raut wajahnya berubah marah. Mata biru yang tadinya bersih kini tengah tergenang air. Dia marah mendengar jawaban Fahri yang itu-itu terus. Setiap kali ditanya lebih detail, Fahri selalu menghindar pergi, meninggalkan Humaira dengan ketidakpuasan. Kini pun sama. Hanya saja Fahri tidak bisa pergi menghindar sekarang.

Meski tak bereaksi pada bentakan anaknya, tapi dalam hati Fahri sedikit terkejut. Humaira gadis yang berperangai lemah lembut, tapi kali ini berani membentak, berarti dia sudah sangat jengkel pada sikapnya. Tapi tak punya pilihan, Fahri pilih bersikap seperti ini daripada harus mengungkap identitas orangtua Humaira sekarang. Fahri lebih tak sanggup lagi.

"Selalu itu jawaban Papa! Mai ingin tahu, kenapa mereka menitipkan Mai sama papa? Kenapa mereka belum balik juga sampai sekarang? Kenapa?"

"Papa tidak tahu. Sudah lama mereka tidak menghubungi Papa," jawab Fahri berganti wajah kaku dan nada suara yang datar. Begitu kontras dengan beberapa waktu lalu ketika bercerita tentang kelahiran Adrian, putra ketiga Andrew.

Humaira yang menyadari perubahan ekspresi bapak angkatnya itu mendengus kesal, lalu bersedekap dan mengarahkan kembali tubuhnya ke depan.

Seketika sunyi mencekam. Selalu saja seperti ini. Perdebatan mereka berujung pertengkaran lalu saling diam. Hal ini bisa terjadi sampai beberapa hari, membuat bu Intan ikut mendesah resah memikiran nasib hubungan kedua majikannya yang semakin renggang.

Humaira, A Girl With The Blue EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang