Disadari atau tidak, Peristiwa tragis sering kali hadir di sekitar kita. Tanpa mengenal wujud, usia, dan kesiapan si pelaku.
Seperti anak burung di atas pohon harus menjemput ajal ketika angin bertiup kencang dan menjatuhkan sarangnya, lalu seekor kucing datang memangsa. Atau induk kucing yang mencuri ikan di pasar demi memberi makan anaknya, harus mati terkapar karena disiram air panas oleh si pemilik ikan. Atau seorang kakek tukang becak yang meninggal di pinggir jalan karena kelelahan mengayuh, demi membeli nasi bungkus untuk cucunya yang kelaparan di rumah. Atau seorang siswi SMA yang harus membuang bayinya di selokan, karena malu menanggung aib.
Menyakitkan? Mencabik-cabik hati?Pastinya.
Namun, demikianlah hidup bagi beberapa manusia. Mereka menjemput takdir pahit untuk diuji, apakah akan bersabar ataukah ingkar?
Sebab sejatinya, dunia adalah tempat keimanan diuji. Ketika ujian berhasil dilalui, kampung halaman adalah surga, tempat kembali pada Allah. Jika gagal, maka penderitaan tersebut akan berlanjut di neraka.
Tidak adil? Mana ada keadilan mutlak di dunia ini? Suka atau tidak, manusia akan tetap menerima ujian dengan kadar kemampuannya masing-masing.
Teori memang selalu terdengar mudah, tapi kenyataan seringkali bertolak belakang. Mempertahankan keimanan di atas kepahitan itu bagaikan berdiri tegak di atas bara api yang menyala. Panas, pedih, menyakitkan. Meskipun meronta kesakitan tetapi ketika ujian belum berakhir, maka akan terus menyiksa sampai ambang batas kewarasan.
Sama seperti Humaira saat ini, ketika harus menanggung perih, telah direnggut keperawanan oleh Papa angkatnya sendiri, keimanannya tengah diuji. Akankah ia tetap berbaik sangka pada Allah bahwa ujian ini tidak melebihi batas kemampuannya? Ataukah dia akan menghujat Allah dan kehilangan akal sehat?
Humaira sedang berjuang mempertahankan keimanan dan akal sehatnya di tengah hujaman Fahri yang bertubi-tubi. Tiada henti. Bahkan jeritan dan tubuh merontanya tidak berdampak apa pun pada Fahri yang telah kehilangan kesadaran di bawah pengaruh obat terkutuk itu.
Papa yang dia kenal selalu memberi perlindungan, bahkan seringnya ia nilai terlalu berlebihan. Papa yang dia kenal tak pernah menyakiti secara fisik walaupun hanya seujung rambut. Papa yang selalu memberinya rasa aman dan nyaman sehingga menumbuhkan perasaan cinta dalam hatinya itu kini tengah melakukan perbuatan paling biadab terhadap tubuhnya. Cinta yang dulu dia harapkan bersambut indah, ternyata semenyakitkan ini. Meskipun pernah mencintai Fahri, Humaira tidak menginginkan semua ini terjadi.
"Papa ... Sakit ...!" rintihnya lemah di sela napas tersengal.
Tindihan dan cengkeraman kuat Fahri melelahkan tubuhnya memberontak lagi. Semua ini terlalu menyakitkan. Cengkeraman kukunya di punggung Fahri pun turut melemah. Tubuh dan hatinya sudah tidak kuat menerima semua rasa sakit yang ditumpahkan hanya dalam sehari. Humaira menyerah, terkulai lemas. Kesadarannya menghilang.
Sementara Fahri masih meneruskan beberapa saat sebelum melakukan pelepasan. Ia merengkuh erat tubuh lemas Humaira sembari mengerangkan sebuah nama wanita yang sangat dicintainya. "Maria ..." Kemudian ikut terkulai di atas tubuh anak angkatnya.
******
Selepas dua peristiwa tragis sekaligus, Yusuf yang terguncang karena kehilangan Mama dan Adik kandungnya sekaligus, berteriak marah.
Dia tahu siapa dalang di balik semua ini. Sebelum diculik, Fahri berhasil terhubung dengan ponsel Yusuf dan memberitahunya agar melindungi Humaira. Namun terlambat. Ketika Yusuf mendatangi kerumunan di jalan raya, ketiga orang itu sudah diculik.
![](https://img.wattpad.com/cover/159537728-288-k587423.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Humaira, A Girl With The Blue Eyes
RomanceAnak perempuan yatim bermata biru yang ingin menemukan cinta sejati. *** Humaira diadopsi oleh keluarga Fahri. Sejak kecil ia merasa bahwa Papa angkatnya adalah seorang pahlawan yang siap melindunginya dari segala ancaman bahaya. Lambat laun perasaa...