"Mai, mau kemana? Sudah malam. Kamu nggak boleh kemana-mana," ucap Fahri ketika melihat putri angkatnya memakai gamis, baru saja keluar dari kamar bersama pengasuhnya. Fahri duduk di kursi makan, memakai kaos Oakley berwarna hijau tua dan celana jeans biru dongker
Humaira tidak menjawab, hanya melihat Fahri sekilas, lalu menggeret kursi di sampingnya untuk duduk. Sedangkan bu Intan berada di hadapan mereka, menyajikan makan malam yang sudah ia masak tadi sore.
"Mai, papa bertanya padamu. Anak yang sopan harus menjawab jika ditanya oleh orang lain apalagi orang yang lebih tua dari kita." tegur bu Intan sembari meletakkan wadah berisi nasi dan salmon grilled kesukaan kedua majikannya.
"Mai mau pakai jilbab terus di rumah," jawab Humaira tanpa menatap Fahri, pandangannya tertuju pada bu Intan yang sedang beralih ke meja dapur untuk mengambil lauk yang lain.
Fahri yang sejak tadi menatap sosok Humaira semakin mengernyit tak mengerti, "Kenapa?"
"Memang begitu perintah Allah, wajib menutup aurat di depan laki-laki yang bukan mahram."
Fahri terperanjat mendengar ucapan Humaira, tidak menyangka bahwa pemikiran anak sekecil ini bisa sejauh itu. Tapi kemudian tersadar bahwa pemakaian jilbabnya ini sebagai bentuk protes atas pertengkaran mereka akhir-akhir ini.
"Mai ... ." Desah suara Fahri terdengar putus asa, tak tahu lagi harus berbicara apa pada putri kesayangannya ini.
"Kamu berhijab karena marah sama papa?" tanya Fahri dengan tatapan sedih, tapi yang ditatap tak sudi menatapnya kembali, duduk dengan punggung tegak, kedua tangan berada di atas pangkuannya dan masih meluruskan pandangan pada bu Intan.
"Aku berhijab karena perintah Allah." jawab Humaira masih bersikap dingin.
"Di depan papa juga?"
Humaira tidak menjawab.
"Kamu belum akil baligh. Belum wajib berhijab."
"Aku ingin belajar berhijab mulai dari sekarang."
"Meskipun di hadapan papa?" Fahri mengulang pertanyaannya yang belum dijawab oleh Humaira.
Anak gadis secantik boneka itu terdiam lagi.
"Benar dugaan Papa. Kamu berhijab karena marah sama papa." Fahri mendengus sedih, menghadapkan posisi tubuhnya kembali ke depan.
"Aku nggak marah sama papa." Bantah Humaira tak mau kalah.
"Kamu marah sama Papa." Fahri tak mau kalah juga.
"Nggak marah!" Humaira mulai tantrum.
"Kalau nggak marah, kenapa sikapmu seaneh ini?"
"Nggak aneh, kok! Apa salahnya pakai hijab di depan non mahram?!"
"Aku papamu!" Suara Fahri mulai meninggi.
"Tapi bukan papa kandungku! Dan aku nggak spesial buat papa!" teriak Humaira melampiaskan kesal.
Dada Humaira naik turun dengan napas terengah-engah karena amarah.
"Bu Intan, aku nggak laper," pamitnya kemudian berlari menuju kamarnya kembali dan membanting pintu keras-keras.
Fahri menghela napas dalam-dalam untuk mengatur emosi. Menghadapi anak asuhnya yang akhir-akhir ini selalu menguji kesabarannya sangatlah melelahkan. Dia merasa kurang sabar menyikapi kekecewaan Humaira. Anak itu baru berusia lima tahun, wajar jika dia meluapkan emosinya dengan berteriak, menangis bahkan tantrum sekali pun. Sangat wajar. Fahri yang kurang sabar, selalu membentak ketika anak itu tantrum.
Tapi pekerjaan yang menumpuk dan deadline yang perlu segera diselesaikan membuat emosinya benar-benar sulit dikendalikan. Fahri juga ingin dimengerti. Fahri juga ingin dipahami bahwa tak hanya Humaira, tapi Maria dan Keysha juga butuh dipikirkan nasibnya. Apalagi sebentar lagi Maria akan bebas dari penjara, Bundanya sudah pasti akan terus meneror rumah tangga mereka. Fahri harus mempersiapkan semua itu mulai dari sekarang. Tapi meminta Humaira memahami semua itu? Tidak adil sekali rasanya. Humaira tidak ada hubungannya dengan semua kerumitan hidupnya. Malahan, asal-usul Humaira sendiri pun juga sudah rumit. Mau tidak mau, Fahri juga harus memikirkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Humaira, A Girl With The Blue Eyes
Roman d'amourAnak perempuan yatim bermata biru yang ingin menemukan cinta sejati. *** Humaira diadopsi oleh keluarga Fahri. Sejak kecil ia merasa bahwa Papa angkatnya adalah seorang pahlawan yang siap melindunginya dari segala ancaman bahaya. Lambat laun perasaa...