Seorang pelayan laki-laki memakai seragam kaus oranye dengan apron cokelat dan celana serta sepatu hitam, menyapa mereka secara ramah sambil memberikan buku menu pada Liand dan Humaira, "Selamat siang, Kak. Mau pesan apa?"
Liand meneliti satu per satu foto makanan dari buku menu yang sedang ia pegang, sementara Humaira menatap ke arah pintu masuk restoran.
"Mai, kamu pesan apa?" tanya Liand tanpa menatap Humaira, karena fokusnya masih tertuju pada buku menu. Dia sibuk mempertimbangkan menu mana yang akan dipilih.
"Kayaknya enak semua, jadi bingung milih yang mana," gumam Humaira mengalihkan tatapannya kembali pada buku menu di tangannya.
Liand menurunkan buku menu untuk melihat Humaira yang sedang mengetuk-ngetukkan telunjuk ke pipi ranumnya. Senyuman Liand tersungging melihat gadis cantik bermata biru itu sedang serius memikirkan pilihan menu seperti sedang menentukan nasib negara.
"Yang ini enak, mie tarik sapi, rekomendasi menu disini, sama strawberry mojito mint juga enak," saran Liand sembari mengarahkan telunjuknya pada foto menu yang dimaksud.
Humaira mengangguk setuju, "Iya, deh. Aku milih dua menu itu," Lalu menutup buku menu dan menyodorkannya pada pelayan laki-laki yang masih berdiri di samping meja mereka.
"Saya pesan paket dim sum lengkap pakai nasi, sama lychee smoothies." Liand ikut menyodorkan buku menu pada pelayan.
"Baik, Kak, saya ulangi pesanannya. Mie tarik sapi, paket dim sum lengkap dengan nasi, strawberry mojito mint, dan Lychee smoothies. Ada lagi yang mau dipesan?"
"Nggak ada," balas keduanya sembari menggeleng, lalu pelayan itu undur diri.
Humaira menghamparkan pandangannya pada setiap sudut ruangan restoran yang tampak cozy ini. Desain interiornya penuh dengan elemen kayu yang rustic dan homey. Humaira belum tahu rasa masakan di restoran ini, tapi padatnya pengunjung menandakan bahwa rasa masakan di restoran ini sudah pasti enak. Tadi saja mereka harus menunggu sekitar lima menit untuk mendapatkan tempat duduk yang mereka duduki sekarang.
"Softlense-mu ke mana?" tanya Liand setelah mengeluarkan ponsel dan kunci sepeda motor dari dalam saku untuk diletakkan di atas meja, terlalu mengganjal jika harus duduk sembari mengantongi mereka.
"Jatuh waktu wudu tadi," jawab Humaira masih sibuk mengamati satu per satu pengunjung yang datang dan pergi tanpa ada habisnya.
Baru pertama kali ini dalam hidupnya Humaira menyinggahi sebuah restoran. Wajar, anak pingit. Biasanya ia selalu makan di rumah dengan menu masak buatan bu Intan atau Maria, atau ketika papanya mendapat kiriman dari para client, atau ketika papanya baru datang dari luar kota lalu membawa oleh-oleh makanan. Cafe dan restoran hanya Humaira kenal dari media elektronik, atau dari novel yang pernah ia baca.
"Semua orang di restoran ini, nggak ada yang masak di rumah, ya? Kok pada makan di sini?" tanya Humaira keheranan.
Liand tertawa lebar mendengar pertanyaan polos Humaira, "Mungkin karena kota Malang banyak tempat wisata. Bisa jadi orang-orang ini berasal dari luar kota yang lapar setelah menjelajah tempat-tempat wisata, apalagi ini hari minggu, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Humaira, A Girl With The Blue Eyes
RomantizmAnak perempuan yatim bermata biru yang ingin menemukan cinta sejati. *** Humaira diadopsi oleh keluarga Fahri. Sejak kecil ia merasa bahwa Papa angkatnya adalah seorang pahlawan yang siap melindunginya dari segala ancaman bahaya. Lambat laun perasaa...