"Papa ..."
Humaira mengetuk pintu dan mengintip celahnya yang sedikit terbuka, tapi yang terlihat hanya ruang kerja tanpa Fahri. Humaira urung masuk, takut melihat adegan yang tidak pantas dia lihat.
"Masuk."
Untung suara Fahri segera terdengar, mengizinkan dia masuk ke ruang kerja. Itu artinya, Maria sedang tidak ada di dalam. Humaira bernapas lega.
Perlahan dia mendorong pintu itu dan harus menahan napas kembali ketika melihat Fahri duduk tegak di depan layar komputer mengenakan kemeja motif kotak-kotak dengan lengan pendek yang menampakkan otot kekar dan dadanya yang bidang.
Humaira terpesona pada sosok papanya. Sepasang mata birunya menatap lekat wajah tampan yang tidak pernah sedikit pun menua. Untung saja pandangan pria itu masih tertuju pada layar komputer, jadi Humaira bisa menikmati wajah itu dengan seksama.
"Mai, ada keperluan apa?" Fahri melirik sekilas anak angkatnya yang sedang berdiri mematung, kemudian kembali terpaku pada layar komputer.
Kalimat Fahri berhasil menyadarkan Humaira dari lamunan.
"Papa lagi sibuk?" tanyanya sembari membenahi kerudung biru yang sedikit melorot dari kepalanya, kemudian melangkah lebih dalam, memasuki ruangan sebesar 5 x 5 meter ini.
Ruang kerja yang terletak di lantai dua ini baru dibangun beberapa bulan yang lalu. Sengaja dibangun berdekatan dengan kamar pribadi, agar Fahri dan Maria mudah mengaksesnya.
Seperti layaknya sebuah ruang kerja yang terdiri dari satu set meja dan kursi kerja, filling cabinet untuk menyimpan dokumen-dokumen penting, rak buku yang berisi koleksi buku-buku Fahri dan Maria, serta kursi ayunan yang biasanya dipakai Maria untuk membaca buku, tidak ada yang istimewa, semuanya biasa saja bagi Humaira. Namun Ruangan ini dipenuhi dengan wangi khas tubuh Fahri, mint dan kayu pinus. Humaira hafal wangi ini. Sejak kecil ketika tidur bersama Fahri, dia suka menciumi wanginya.
Ah, dia rindu masa-masa itu. Dimana papanya masih membiarkan pintu kamar terbuka dan mengijinkannya tidur bersama. Dia rindu bisa tidur bersama papanya lagi.
"Nggak terlalu, ada apa?" Fahri kini menatap Humaira karena sepertinya anak gadis yang sudah beranjak remaja ini sedang membutuhkan perhatiannya.
Humaira memberanikan diri untuk duduk di kursi putar di hadapan Fahri.
"Mmm ... sebentar lagi kan Mai SMP. Apa Mai nggak boleh sekolah di sekolah umum?" tanya Humaira hati-hati. Pandangannya kini tertunduk pada kedua tangannya yang sedang sibuk memilin ujung kerudung, kebiasaannya ketika sedang gugup. Gugup karena ditatap Fahri begitu intens.
"Ditolak," jawab Fahri secara spontan dan tegas. Tidak ada pertimbangan lain sama sekali.
Humaira mendongak untuk menatap papanya yang sudah berwajah kaku, lalu mendengus kecewa.
Sudah ia duga akan mendapat jawaban seperti ini. Selalu saja begini. Jangankan bersekolah, untuk keluar rumah saja Humaira tidak pernah diijinkan. Kalau pun boleh, harus dikawal body guard atau didampingi Fahri. Tanpa mereka, Humaira tidak diperbolehkan keluar rumah seinci pun, meski hanya berada di depan rumah. Terlalu ekstrim memang. Tapi begitulah cara Fahri melindunginya.
Kalau Kemarin-kemarin Humaira masih patuh dengan larangan dan perintah Fahri, tidak untuk sekarang. Humaira sudah tidak tahan lagi hanya mendekam di dalam rumah tanpa tahu dunia luar. Ketika Keysha bercerita tentang teman-temannya dan keseruan lain di sekolah, Humaira hanya bisa mendengarkan dengan iri hati dan bertanya-tanya, kapan dia juga bisa bergaul dengan anak seumurannya? Mengapa dia terus-menerus dikurung di dalam rumah sampai usianya sebesar ini? Padahal dia sudah bukan anak kecil lagi. Dia bisa menjaga dirinya sendiri walaupun tanpa didampingi body guard ataupun Fahri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Humaira, A Girl With The Blue Eyes
RomansaAnak perempuan yatim bermata biru yang ingin menemukan cinta sejati. *** Humaira diadopsi oleh keluarga Fahri. Sejak kecil ia merasa bahwa Papa angkatnya adalah seorang pahlawan yang siap melindunginya dari segala ancaman bahaya. Lambat laun perasaa...