4- Granium Rose's

166 71 0
                                    

"lo siapa?, jawab gue!" suara gadis itu bergetar, tidak mendapat jawaban dari sang penelepon, gadis itu melangkah keluar dari kelasnya.

"waiting for seven minute my granium rose's" suara serak itu menghentikan langkah gadis itu, matanya sudah berlinangan air mata.

"gue bakal telepon polisi kalo lo main-main sama gue" teriak gadis itu kencang, di sepanjang kolidor sekolah gadis itu merasakan ada sepasang mata yang tengah memantau nya dari tadi, mendengar suara langkah kaki mendengkat dari arah belakang gadis itu segera berlari sekuat tenaga, tubuhnya bergetar hebat tapi yang pasti gadis itu merasa jika nyawanya sebentar lagi melayang.

Kristal bening sejak tadi berjatuhan, wajah nya memucat tapi tangan nya sibuk mencari nama ayahnya, belum sempat gadis itu menempelkan ponsel ketelinganya.

Darah mengalir dari leher sebelah kirinya, beda tajam atau mirip obeng itu menempel di leher sang gadis, setelah merasa kesadaran nya menipis gadis itu jatuh dari tempatnya berdiri, matanya sempat melihat senyum lebar sang pelaku sebagian wajahnya tertutup oleh hondie hitam yang di pakainya.

"My Granium Rose's" ujar hondie hitam itu pelan.

Hari selasa, 21 september pukul 05:49

Tempat kejadian: SMA NUSA

Setelah terbangun dari pingsan nya Ren cepat-cepat keluar dari UKS sebelum itu Ren menatap pantulan sepasang matanya yang memerah dari cermin, ia masih menggunakan lensa hitam.

Ren berjalan lunglai, melihat sekolah yang sudah lenglang itu artinya murid-murid di pulangkan lebih awal. Sampai di luar gerbang sekolah Ren melambaikan tangan nya saat melihat taxi setelah itu Taxi berhenti Ren langsung memasuki taxi.

Ren menyenderkan bahunya ke kursi penumpang sambil memejamkan mata, tangannya terlihat sibuk merogoh ponsel dari saku rok selutut nya setelah berada di gengaman nya, melihat earphone nya masih menancap di ponsel. Ren menyumpal telinga nya dengan Earphone yang tengah melantunkan instrumen piano.

Ren takut harus membuka matanya sekarang meski matanya terasa panas seperti terbakar sekaligus perih, Ren terpaksa harus memejamkan matanya. Kejadian sekilas itu tentu membuat Ren gelisah setengah mati, melihat apa yang terjadi kepada teman sekelasnya –Tira- meski hanya sebagian kecil Ren rasa akan ada kejadian berikutnya. Instingnya mengatakan bahwa akan ada korban selanjutnya. Ren memijat kepalanya yang terasa lebih pening dari tadi, merasakan taxi yang di tumpanginya berhenti Ren menyodorkan sejumlah uang setelah itu keluar dari Taxi.

Ren melepaskan earphone dari telinganya, melihat rumah bertingkat dua di hadapan nya, Ren menghela nafas ia sungguh lelah sekarang melihat mobil hitam di parkiran rumahnya dan seseorang yang sering memperhatikannya dari jauh belakangan ini, Ren benar-benar kesal.

Ren memasuki gerbang rumahnya yang sebenarnya seperempat dari gerbang rumah Erin sebelum benar-benar melangkah menuju pintu utama Ren mendesah berat dan memberanikan diri memasuki Rumahnya.

Melihat postur tegas pundak ayahnya sama sekali tak memberhetikan langkah Ren untuk menaiki tangga menuju kamarnya.

"Frinsa!" suara tegas bariton itu berhasil memberhentikan langkah Ren di tengah-tengah tangga.

"Ayah denger di sekola kamu ada kasus pembunuhan"

Ren memutar langkahnya sehingga bisa melihat wajah ayahnya, "Terus kalo iya?" Ren berujar ketus.

Ayah Ren terlihat melepaskan kacamata baca nya kemudian menatap Ren serius, "Saya ayah kamu Frinsa!" seru Bramsh dengan nada datar, mata nya menatap Ren tajam, wajah ke-eropan nya lebih kental.

Ren mendengus setelah itu menarik nafas nya, "Ren tau kalau ayah, ayah Ren"

Bramsh terlihat memijat kepalanya sebentar, "Bicara sopan Frinsa, mamah kamu gak pernah ngajarin kamu bicara tidak sopan sepeti itu bukan?,"

Ren terlihat sedikit menggeram, kenapa ayahnya tidak sadar bukannya dia yang telah merenggut ibunya dari dunia ini, raut Ren menunjukan jika ucapan ayahnya tidak sepatut ayahnya bicarakan.

"Ayah!" Ren berteriak marah meski suara masih terkendali. Bramsh yang mengerti raut dan isi kepala putrinya itu menahan kemarahan nya karena berteriak kepada ayahnya sendiri.

Bramsh berdiri "Ayah berniat bawa kamu ke Jerman" bukannya memperbaiki suasana, Bramsh malah mengeluarkan niatnya datang jauh-jauh dari jerman ke kediaman putrinya.

Ren melotot tajam, ia jelas tak suka setiap penuturan kata dari mulut ayahnya, "Ayah sebenarnya kenapa sih?" suara Ren sedikit tercekat, matanya terlihat memanas, "ayah kenapa kayak gini!, Ayah gak pernah merasa bersalah, Ayah egois. Liat mata Ren, Liat yah!." Ren kembali berteriak sambil menunjuk matanya.

Kerystal bening meluncur begitu saja, melihat ayahnya yang tidak akan menjawab ucapan Ren. Ren langsung berlari ke kamarnya.

Bramsh masih menampilkan wajah datarnya saat putrinya menghilang dari pandangan nya. Jujur melihat putrinya tumbuh dengan baik membuat Bramsh lega tapi melihat kondisi psikologis putrinya yang tidak stabil menaikan keinginan nya untuk membawa putrinya ke jerman.

Kali ini Bi Anah terlihat menghampiri ruang keluarga, mendengar perdebatan anak dan ayah itu membuat Bi Anah khwatir terlebih tadi Nona nya membawa kata mata dan ibunya kedalam perdebatan.

Bramsh yang sadar dengan kedatangan Bi Anah langsung mengambil kunci mobil dari atas meja.

"Bi saya titip Frinsa jika ada tamu siapa pun itu jangan dibiarkan masuk. Saya lihat mata Frinsa memerah tolong di periksa Bi"

Bi Anah mengangguk, "Baik tuan tapi nona Erin—"

Bramsh menjawab cepat, "tidak masalah kecuali Keluarga Erin. Saya ada urusan jadi saya harus pergi"

"Tuan mau kembali lagi ke Jerman?"

Bramsh menggeleng. "jangan bilang ke Frinsa saya masih di indonesia"

"Baik tuan" setelah itu Bramsh ayah Ren terlihat melangkah keluar dari sana. Meninggalkan putrinya sendirian seperti 8 tahun yang lalu. 

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sudut mana yang kau inginkan, sudut pembaca atau sudut penulis. Semuanya berada di tangan kalian.

-Lentera-

01 Desember 2020

Revisi

Story Red Eyes: Playing Eyes (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang