15- Lo Butuh Gue

95 40 1
                                    

Tamparan bukan nya terlalu berlebihan, Erin menatap Ren penuh emosi. Ren sebenarnya cukup terkejut saat teman nya melanyangkan tamparan kasar di sebelah pipinya.

"Maksud lo apaan?" tanya Ren bingung, wajahnya kembali berhadapan dengan wajah Erin. Kalo boleh jujur pipinya terasa perih.

"Apaan?" seru Erin tak percaya wajah nya mengeras tanpa berkedip sedikit pun, "Ren. Kalo lo takut gak usah jadi sok pemberani, dengan cara begini lo bakal tenang. Hell, lo tau kan itu Cuma pikiran lo doang" bentak Erin yang terlihat kesal.

Ren mengeryit tidak suka, "Ngomong yang jelas, maksud lo apa?" timpal Ren. Ekspresi nya datar, ia tak suka dengan penuturan kata yang di ucapkan teman nya itu.

"Please, lo tau keadaan lo tapi lo tetep aja keras kepala. Lo ngerti kan kondisi lo kayak gimana" Erin menghela nafas, "Gue capek"

Ren tersenyum kecut, "Lo yang gak ngerti sama keadaan gue. Gue nggak pernah minta lo ikut campur sama tindakan gue, lo pikir Cuma lo yang capek. Gue juga capek" seru Ren emosi, "Sampai rasanya gue lebih baik mati" lanjut Ren serius

Erin terlihat menggeram, kedua tangan nya terkepal "Terserah lo. Mati aja sana sekalian"

Ren tak ucapan Erin tak serius di akhir kalimat, tapi kenapa dada nya sesak. Padahal ia sendiri yang mengatakan ingin mati. Ren membiarkan Erin yang melenang pergi setelah mengatakan hal itu.

Meninggalkan Ren yang terlalu kesal sampai keristal bening itu meluncur begitu saja. Tidak ada yang mengerti posisi Ren bagaimana, ini bukan tentang mengabaikan atau bukan tapi lebih dari itu. Seperti ucapan Ren, semuanya tak terduga sampai Ren ingin menghilang saja.

Dan setelah hari itu kondisi Ren semakin memburuk kembali bahkan suhu badannya juga naik. Keringat dingin di dahi Ren semakin banyak. Meski mata nya tertutup tapi kepalanya terasa berat.

Dua hari setelah pembelajaran Ren merasakan kondisi tubuhnya yang tidak membaik dan tetap memaksakan sekolah. Merinsya menatap Ren dengan raut khawatir, setelah tamparan yang di layangkan nya beberaa waktu lalu kondisi kembali memburuk, Erin sebenarnya merasa bersalah dan terlalu menikapi berlebihan waktu itu. Sejak tadi Erin duduk di sisi ranjang Uks sekolah. Tak ada satu pun penjaga Uks yang di biarkan melihat kondisi Ren, Erin takut mereka menyadari sesuatu yang berbeda dari Ren. Tiba-tiba tirai tempat tidur Uks disebelah Ren terbuka dan pelaku nya adalah Gevin.

Erin sempat terkejut, ia yakin hanya ada Ren dan dirinya bahkan pintu Uks sekolah sengaja ia kunci. Erin menggeleng kecil setelah itu buru-buru berdiri menatap wajah dingin Gevin.

"Ngapain lo di sini?" Tanya Erin heran.

Gevin melirik Erin sekilas setelah itu mengangkat bahu acuh. Dan fokus kembali menatap wajah Ren. "Dia kenapa?" tanya Gevin pelan.

Erin terlihat mencibir, meski Erin menganggumi paras yang di miliki Gevin kalo boleh jujur Erin tetap membenci sikap dingin Gevin. Erin juga tidak punya alasan untuk mengusir Gevin dari Uks. Karena Gevin sudah tau sejak kejadian aula lalu.

Erin terlihat menghela nafas sebelum menjawab, "Kondisi nya memburuk, tapi masih baik-baik saja" ujar Erin pelan. Mengingat kondisi Ren bisa lebih parah ini, efek nya sampai Ren kejang-kejang dan tidak ada yang bisa menolong Ren waktu itu. Untung nya ini masih mendingan.

Gevin mengangguk paham.

Erin melirik Gevin kembali, "Lo tertarik sama Ren karena hal ini?" tanya Erin penasaran.

"Perlu gue jawab?"tanya Gevin dingin. Balik menatap Erin tajam.

Erin tersenyum sinis, "Kalo gitu jangan berani dapetin Ren" seru Erin serius, "Lo cuma kelihatan obsesi, gue gak suka cowok kayak lo pengen dapetin Ren karena tertarik sama matanya doang"

Story Red Eyes: Playing Eyes (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang