Arensha berjalan lunglai sendiri di sepanjang kolidor, kakinya sulit di ajak kompromi tapi mau bagaimana lagi. Anak-anak yang masih berada di kelas masing-masing tengah berkutik dengan pelajaran yang membosankan. Tujuan nya hanya satu yaitu UKS, sejak tadi pagi Ren merasakan kepalanya berat seperti di tipa batu, tubuhnya juga terasa lemas. Berbaring di tempat tenang pastinya akan mengurangi sakit kepalanya.
Ren masuk ke dalam Uks tanpa permisi dan tanpa repot menyapa penjaga Uks. Kepalanya sekarang lebih penting dari pada menyapa, Ren segera berbaring di sala satu brangkar kecil setelah menyibakan khordeng putih.
Matanya terpejam, tangan nya sengaja menutupi sebagian wajahnya. Kebiasan buruk memang jika melewatkan sarapan dan berujung seperti ini, tapi apa boleh buat setiap pagi nafsu makan nya selalu mehilang setelah mengetahui bahwa ia hanya hidup sendiri.
Kegelapan semakin menarik Ren untuk terlelap.
Bruk, suara kecil itu berhasil membuat Ren membuka matanya kembali, padahal baru saja ia terlelap. Ren melirik sang pelaku dengan tajam, pengganggu.
"Lo gak ambil ke butik" seru Rega datar, tubuhnya yang menjulang tinggi di dekat sisi belankar membuat Ren mengambil posisi duduk dan bersandar di sandaran blankar.
"Males" timpal Ren acuh. Ren melirik tas belanjaan di nakas dan tebaknya pasti dres kemudian Ren menatap Rega, "Gue punya banyak dres juga".
Rega melipat kedua tangan nya, "Gue yang ngajak lo ke party dan jelas semua keperluan lo gue yang bayar." Rega terlihat menarik kursi dan memilih duduk.
Ren memijat kepalanya sebentar, gimana nya maksudnya. Kenapa ucapan Rega terdengar lucu di telinga Ren. Ren tak paham dengan jalan pikran Rega. Kenapa harus dia yang bayar, disini Ren juga sedang membayar hutang nya.
"Terserah gue pusing" ujar Ren ketus, "Gue gak ngerti jalan pikiran lo" jujur Ren kesal sekarang, kenapa Rega punya ekspresi datar yang sulit di tebak.
Rega menghela nafas, tangannya terulur menyentuh pelipis Ren dan memijat pelan, "Sakit?" tanya Rega tanpa merubah ekspresi sedikit pun.
Ren tak berniat menyingkirkan tangan Rega dari pelipisnya, pijatan Rega mengurangi sakit kepalanya.
"Lo udah makan?" tanya Rega tangan masih memijat pelipis Ren. Melihat Ren yang terdiam, Rega mendengus.
"Gue beli makanan dulu" pijatan Rega berubah menjadi usapan kecil, kemudian Rega mengambil langkah keluar dari Uks. Sebenarnya Ren ingin mencegah kepergian Rega, kepalanya lebih membutuhkan pijatan dari pada makanan, namun egonya lebih besar dan membiarkan Rega mengambil langkah pergi. Kepalanya juga lebih enakan sekarang.
Ren memejamkan matanya, punggung nya masih bersender. Suara langkah acak seperti berlari terdengar mendekat, suara knop di buka dan muncullah laki-laki dengan nafas memburu. Tangan nya menyimpan keresek hitam di nakas bersisian dengan tas belanjaan. Ren mengeryit heran, melihat laki-laki asing itu.
"Gue-" laki-laki itu menarik nafas, "di suruh Rega ngaterin ini. Kata Rega dia ada urusan mendadak di ruang Osis" jelas laki-laki itu.
Ren mengangguk mengerti, matanya sempat melirik name tag di dada kiri laki-laki itu, namanya Akbar.
Akbar terlihat kebingungan setelahnya, matanya melirik ke sana kemari.
"Lo bisa pergi" seru Ren, bukan nya mengusir Ren hanya mengerti arti lirikan mata nya.
Akbar tersenyum canggung "Gue duluan" setelah itu Akbar buru-buru berlari keluar dari Uks.
Ren melirik nakas lebih tepatnya melirik kresek hitam. Nafsu makannya memang buruk belakangan ini, kakinya menyentuh lantai memakai sepatu putih sport dengan tinggi 4 cm an ke kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Red Eyes: Playing Eyes (END)
Misterio / SuspensoArensha Frinsa, gadis ber kepribadian dingin, ketus dan tajam itu memiliki rahasia, rahasia yang membawa nya dengan kenyataan pahit bahwa diri nya berbeda. Hanya teman nya -Merinsya- yang tau satu rahasia itu. Dunia nya memang tidak lengkap seperti...