Hari mulai sore, tapi Ren hanya berbaring di kasur sambil memainkan ponsel miliknya. Dari pada mengasihani dirinya sendiri Ren lebih memilih melakukan sesuatu seperti memainkan ponselnya. Ren tak mau menangis meski ia setengah mati ingin menangis, Ren ingin berteriak tapi sayang dengan pita suaranya yang akan rusak.
Setelah Bi Anah mengetuk pintunya tadi, Ren yakin ayahnya telah pergi dari rumahnya. Selain itu mata Ren tak terlalu panas sekarang, Bi Anah telah membawakan tetes mata yang Ren yakini pemberian dari ayahnya.
Ren menscrol layar ponselnya asal-asalan tanpa berniat membaca postingan teman sekelasnya, instrumen piano melantun lembut dari ponselnya. Meski kamar bernuansa putih itu terlihat berantakan, Ren masih memaninkan ponsel nya.
"Ceklek!" Suara pintu kamar yang dibuka sama sekali tak dihiraukan oleh Ren. Ren malah terlihat acuh mendengar suara langkah mendekat hanya satu orang yang berani masuk tanpa se-izin Ren, Erin.
"Lo ternyata baik-baik aja," seru Erin sambil melihat sekeliling kamar kemudian menghela nafas.
"Lo pikir gue baik-baik aja?" tanya Ren ketus.
Erin memilih mendekati tempat tidur Ren setelah itu duduk di sisi tempat tidur setelah melmpar kaos kaki ke lantai dengan ekspresi jijik.
"No fine actually" balas Erin sambil mengambil ponsel yang digenggam oleh Ren. Erin telihat memainkan ponsel Ren se-enaknya sedangkan Ren terlihat menghela nafas, tidak ada gunanya meminta ponsel nya yang berakhir dengan perdebatan panjang. Ren cukup lelah sekarang.
"Gak heran sih, Gevin nge-follow instagram lo" gumam Erin yang masih terdengar jelas di telinga Ren. Ren merubah posisi nya menjadi duduk sambil menatap langit-langit kamarnya membiarkan otaknya berkelana jauh.
"What the HELL!" teriak Erin sambil melempar ponsel Ren dari tangan nya.
Ren memegang dada kirinya, sambil mendengus menahan kesal, "Lo apa-apaan sih?" seru Ren kesal.
Erin menatap Ren tak percaya, mulutnya setengah terbuka dan tangan nya melayang seperti memegang ponsel, "Barusan gue lihat Rega nge-follow instagram lo" ujar Erin dengan nada tak percaya.
"Lo ada hubungan apa sama Rega?" tuduh Erin curiga, matanya menyipit tapi setelah itu tersenyum lebar.
Ren yang tau ekspresi Erin, lansung melempar bantal tepat ke wajah Erin, Erin repleks berteriak tak terima.
"I know what your mind" ujar Ren dengan ekspresi datar. Erin mengangguk-agukan kepalanya terlihat seperti sedang mengejek di mata Ren.
"Gevin or Rega" tanya Erin tiba-tiba sambil mengambil ponsel Ren kembali.
"lo lagi nyuruh gue milih Psycopath Or Sosiopat?" timpal Ren kesal.
Erin tertawa penuturan teman nya ini memang tepat seratus persen. Meski keduanya di anugrahi dengan ketampatan di atas rata-rata mereka juga mempunyai kekurangan. Melihat dari kepribadian Ren, Erin yakin jika mereka bertiga bersandingan di sebelah Ren mereka akan terlihat menakutkan.
"Jangan lupa lo juga punya sisi Psycopath sama Sosiopat" Seru Erin dengan santainya. Ren mendengus tanpa membalas ucapan Erin.
"Ren gue denger ada pembunuhan di sekolah?" ujar Erin tiba-tiba dengan nada serius, Ren memperbaiki posisi nya agar dapat melihat Erin dengan jelas.
Ren berdehem meng-iyakan, "Tira korban nya"
Erin memincingkan matanya setelah itu melotot tajam, "Dan penyebab mata lo merah kali ini karena lo lihat tempat kejadian." Tuduh Erin dengan ekspresi serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Red Eyes: Playing Eyes (END)
غموض / إثارةArensha Frinsa, gadis ber kepribadian dingin, ketus dan tajam itu memiliki rahasia, rahasia yang membawa nya dengan kenyataan pahit bahwa diri nya berbeda. Hanya teman nya -Merinsya- yang tau satu rahasia itu. Dunia nya memang tidak lengkap seperti...