18- Pisau Kecil Berlumuran Darah

39 21 0
                                    

Setelah kasus bunuh diri di tutup setelah hari kejadian nya. Ren menghkwatirkan banyak hal, spekulasi spekulasi semakin terbuka lebar dan merujuk kebanyak hal.

Ren kebingungan di ikuti rasa bersalah, kenapa semuanya bisa terjadi semerikan ini karena dirinya yang jadi sasaran sang pelaku. Kenapa sang pelaku harus bertele-tele?, seharunya ia langsung mengincar Ren. Ren terbebani, karena dirinya beberapa orang harus merasa kehilangan dan persaan itu paling menyedihkan karena Ren juga pernah mengalami hal serupa.

Ren menyenderkan punggungnya di jok pengemudi, matanya menatap lurus ke depan. Di samping nya rumah bak istana menjulang tinggi dengan iteror warna putih, gerbang rumah pun menjulang tak kalah tinggi terlihat megah meski di lihat dari luar.

Pikiran nya sekarang harus di tata-tata lebih rapih, menentukan beberapa hal yang dapat menghapus sebagian kecil teka-teki.

Namun helaan nafas dari mulut terdengar berat, matanya melirik tulisan Jl. Anggrek no 92. Apakah ia harus memberanikan diri sampai kesini, ah itu menjadi tantangan tersendiri bagi Ren. Setelah sekolah di pulangkan lebih cepat karena kasus baru.

Ren mengangguk menyemangati diri sendiri, tangan nya melepaskan seltbet dan beralih membuka pintu mobil. Melangkah mendekati gerbang raksasa itu tanpa berpikir kedua kali Ren menyerukan kata 'permisi' dan seorang satpam terlihat mendekat setelah mendengar suaranya.

"Ada apa mbak?" tanya pak Ano nama satpam itu, name tag.

Ren menyunggirkan senyuman kecil, "Saya nyari Gevin pak"

Yaps, tujuan nya adalah Gevin. Ada beberapa hal yang aneh, setelah Ren teliti Gevin selalu menghilang saat kejadian terjadi kecuali saat pesta sekolah waktu itu. Kemungkinan besar, Gevin mengetahui sesuatu dan Ren harus mencari tau.

"Dengan non siapa?" tanya Pak Ano kembali.

Ren tersenyum ragu, mulutnya tidak langsung melontar kan nama nya. Ren terlihat berpikir kembali setelah itu Ren menghela nafas pelan. Masalah nya Ren sedang memasuki kawasan Gevin dan ini terlalu dekat menurut Ren.

"Arensha Frinsa" seru Ren akhirnya.

Pak Ano menganguk dan mendekati pos nya kembali. Pak Ano terlihat menempelkan sebuah telepon rumah ke telinga nya. Sejujurnya dalam hati berharap dirinya tak di ijinkan masuk dan mengurungkan niatnya kembali.
Pak Ano menutup telepon nya dan mendekati Ren kembali melalui pembatas pagar.

Pak Ano terlihat membuka gerbang, "Silahkan non masuk" ujar Pak Ano setelah membuka gerbang sepenuhnya.
Ren awalnya mengeryitkan dahi, bingung. Setelah itu mengangguk pasrah seperti nya telat untuk mengurungkan niat nya.

Ren kembali memasuki mobil dan membawanya keperkarangan rumah Gevin, halaman nya tak terlalu luas seperti milik Merinsya, Ren hanya berpikir ia sedang berada di taman bunga saking banyak nya bunga mawar di halaman rumah. Ren membuka pintu mobil dan keluar setelahnya. Ren mendongkak menatap kagum bangunan di hadapan nya, kalo boleh berpendapat Ren lebih suka gaya rumah Gevin di banding rumah Erin.

Ren mendekati pintu utama dan tangan nya menekan bel. Hanya butuh beberapa menit sosok ibu-ibu cantik membuakan pintu, senyum an nya terlihat cerah dan hal itu di balas dengan senyum kecil Ren.
"Ayo ayo masuk-" seru ibu itu semangat, "Arensha?" tanya ibu itu sambil menatap Ren menayakan.

Ren mengangguk dan dengan berat hati memasuki rumah bak isatana itu. Ren tetap mengikuti langkah ibu itu sampai di ruang tengah, ibu itu menyuruh Ren agar duduk.

"Bentar nya, tante cuci tangan dulu. Saking semangatnya tante denger ada kamu datang, sampe lupa cuci tangan".
Ren mengangguk, ibu Gevin setelah itu pergi meninggalkan nya sendirian di ruang tengah. Matanya sekarang lebih sibuk menatap interior dari mulai lukisan bernilai fantastis. Hanya ada satu poto keluarga dari banyak nya lukisan yang menggantung.

Story Red Eyes: Playing Eyes (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang