Prolog

23.3K 1.6K 359
                                    

Kata orang, keluarga itu adalah segalanya. Tempat kita kembali pulang. Tempat semua duka lara dan segala keluh kesah tertuang. Juga satu-satunya tempat untuk mengais kasih sayang.

Kata orang, keluarga yang utuh itu adalah kebahagiaan tiada tara. Canda dan tawa mereka nampak sempurna. Melingkar bersama membagi suka dan duka. Saling merengkuh dan merangkul satu dengan yang lainnya.

Kata orang, sosok ayah bagai mentari, selalu hangat menyinari. Begitu gagah dan menjadi tempat berlindung dari segala macam hal yang membahayakan diri. Sehangat itu mereka menggambarkan sosok ayah selama ini.

Ibu ibarat rembulan, yang temaram di langit malam nan kelam. Perhiasan paling indah dan paling terang diantara ribuan bintang. Menghangatkan hati dan selalu berhasil memberikan rasa tenang. Bahu lembutnya pusara kasih sayang. Tempat bersandar yang paling nyaman. Begitulah seharusnya sosok ibu tergambarkan.

Ku ketahui aku terlahir paling akhir di keluarga ini. Mereka dengan bangga memanggil ku si Bungsu. Memanjakan ku karena aku menggemaskan. Pipiku terlalu besar dan mempesona untuk ukuran bayi laki-laki. Ayah dan ibu, juga kakak paling suka saat aku tersenyum.

Setelah aku tumbuh gigi dan aku mulai paham perlahan makna hidup ini, mereka mulai menyebutku si gigi kelinci. Terdengar manis dan rasanya begitu hangat, bukan. Saat keluarga sendiri memberi kita julukan yang berbeda. Rasanya seperti diistimewakan.

Karena bungsu maka aku punya kakak. Dua kakak yang akan selalu menjaga ku siang dan malam. Menyayangiku dan tidak akan pernah membiarkan ku terjatuh. Itu sebuah harapan.

Kakak pertama ku seorang musisi, dia sangat menganggumkan. Saat ini dia lebih tinggi dari ku. Dia pendiam, tukang tidur, dan pemarah yang ulung. Hihi maaf kakak.

Dia bukan penyanyi, tapi dia banyak menciptakan lagu untuk orang lain. Teman-temannya yang datang ke rumah sering memanggilnya PD-nim. Ada yang tau apa artinya? Beri tahu aku, karena kakak tidak pernah bicara pada ku.

Dia suka sekali pacaran dengan Grand Piano besar yang ada di sudut ruang tamu. Aku tidak tahu tapi ini terasa konyol, kakak sulung ku sering memanggil alat itu dengan sebutan 'gadis ku'.

Ku pikir aku gila tapi rupanya, seorang seniman itu akan selalu punya 'muse' untuk dirinya sendiri yang tidak akan pernah dapat dimengerti oleh orang lain. Sama seperti diriku yang menjadikan Ayah adalah 'muse' nyata, sumber inspirasi hidup ku.

Kakak kedua ku sangat manis dan terkadang juga sexy dalam waktu yang bersamaan. Aku selalu nyaman berada disisinya. Dia tidak sedingin kakak sulungku. Walaupun terkadang dia agak jahil dengan ku. Seperti ketika dia mulai sakit, dia akan merajuk pada Ayah dan Ibu, dan aku akan menjadi obat yang mujarab.

Obat kakak ketika sakit itu gampang sekali. Hanya dengan berkata jujur kenapa sakitnya kambuh, kemudian Ayah akan memanggilku dengan sedikit membentak. Aku tidak menyebut Ayah marah, tapi lebih kepada Ayah mulai lelah, karena aku terlalu nakal.

Kakak akan tersenyum dan sakitnya hilang saat Ayah sedikit memberiku pelajaran. Aku tegaskan disini, sedikit, karena itu hanya sebuah tamparan kecil yang akan membuat ku sadar kalau aku tidak boleh nakal dengan kakak.

Aku anak terakhir di keluarga ini. Maka dari itu aku maklum jika aku sudah kehabisan rasa manis dari pernikahan Ayah dan Ibu. Mereka mungkin sudah lelah untuk memanjakan anak, karena sudah lebih dulu memiliki kedua Kakak ku. Atau mungkin mereka jenuh dengan anak kecil seusia ku. Aku tidak pernah jatuh tertidur di dekapan Ibu atau di pangkuan Ayah. Sampai aku tumbuh remaja, aku selalu berakhir menjadi seseorang yang akan melayani kebutuhan mereka.

"Adek!! Kemana saja kamu? Dimana dasi corak Ayah?!!"

Seperti teriakan Ayah pagi ini misal, yang membuat ku harus mematikan kompor dan meninggalkan telur dadar yang baru matang setengah tetap di dalam teflon.

Serenade ( vkook / Brothership )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang