EPILOG

9.8K 925 237
                                    

Semilir angin berhembus manis tebarkan hawa tipis melankolis.
Sejumput rindu terlalu rapuh untuk menjadi pengobat sendu.
Selaksa harapan lontarkan ribuan angan melayang indah kiaskan kenangan.
Waktu berdenting terbalut sepi pada sesudut hati yang pilu menyendiri.

Lalu bayangan senyum manis itu hadir kembali.

Senyum menyayat rapuhkan kenangan. Terpatri begitu indah tenggelamkan kesedihan. Nihil hadirnya walau pekat penuh kenangan. Setiap sudut dunia adalah dia dalam wujud senyuman.

Satu tahun setelah ia pergi.

Tertinggalkan bukit cinta yang bersemi di hati. Tinggalkan kenangan dan hukuman yang tak akan pernah tuntas sampai terbawa mati. Lalu rasa yang tertinggal, membeku tanpa bisa di luluhkan, membatu menjadi duri.

Aku menjadi lemah tak berdaya hanya karena menyebut namanya yang teramat ku rindukan dan kini tinggal kenangan.

"Kakakk,"

Suara itu nyata, terucap dengan nada yang tak biasa. Membuat mata si 'kakak' ini berkaca-kaca. Lalu dada terasa sesak tak berongga.

Ku hentikan langkah dalam radius pandang tak jauh dari Grand Piano kesayangan. Benda yang tak ada hubungan dengan kenangan tapi terasa sangat menyakitkan perasaan.

"Kakak ku pandai sekali bermain piano, jika besar nanti aku ingin di ajari sama Kakak,"

Permintaannya selalu sederhana dan tak pernah menyusahkan. Permintaannya adalah sesuatu yang pasti bisa ku lakukan. Permintaannya tak pernah menjadi hal yang menurutku istimewa. Begitu lugas dan sederhana sama seperti sorot matanya. Dan permintaannya itu selalu ku acuhkan.

Apa yang telah ku lakukan?

Entahlah, terlalu sakit untuk di kenang. Dia yang selalu memberikan senyum tulus pada ku. Dia yang selama ini bertutur lembut dengan ku. Namun, wajahnya tak pernah sekalipun ku pandang.

Ya Tuhan dada ku sesak!

Sejak awal aku paham mengapa harus ada dia diantara kita, sejak saat itulah parit besar membelah dan memberi jarak.

Tentang dia yang ku rasa hanya orang asing dan bukan darah daging Ayah Ibu ku. Tentang dia yang ku tahu adalah hasil hubungan simbiosis mutualis kedua orang tuaku dengan temannya. Tentang dia yang terlahir seperti malaikat, aku membenci ini.

Pada awalnya terasa, aku membenci ini. Namun siapa yang menyangka, adik kecil yang ku abaikan adalah wujud nyata kebenaran malaikat Tuhan.

Ku rasa aku tenggelam terlalu dalam pada pekatnya penyesalan. Kamar ku dan laci di almari itu melekat kuat aroma cinta dari senyumnya.

Botol kaca berisi pil tidur yang menjadi sahabatku beberapa tahun ini masih teronggok tenang tak bergeming.

Aku lupa kapan terakhir kali aku membelinya. Sudah sejak lama setelah kepergiannya tak ada lagi si pengusik yang membuat obat tidur ku raib.

Jika dulu setiap hari aku selalu membeli sebotol obat tidur karena ulahnya, namun sekarang sudah lebih dari satu tahun botol di dalam laci tak pernah terganti.

Aku masih insomnia, aku masih sulit terpejam kala malam. Semenjak kepergiannya tak ada hening tenang untuk ku sekarang. Denting waktu bagi ku adalah ruang penyiksaan.

Obat itu tak ku sentuh, obat itu tak ku telan. Masih di dalam laci dan utuh. Ku berharap ada tangan mungil yang lembut. Meraihnya keluar dari dalam sana diam-diam tanpa sepengetahuan ku. Karena aku merindukannya.

Aku rindu perhatiannya!

Lalu, rumah ini adalah penjara terindah yang menyakitkan dan tak akan pernah ku tinggalkan. Semua orang menahan sakit dalam hati sendiri. Menahan sesal pada tangis dalam diam. Menahan rindu terlarang untuk dia yang telah damai di Mesbah Tuhan.

Serenade ( vkook / Brothership )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang