02

777 88 5
                                    


.

.

Normal pov

"Uchiha sialan. Uchiha tidak tahu malu. Uchiha si pemeran sampingan banyak gaya. AKU MEMBENCIMU!!!!"

Hinata menghentak-hentakkan kakinya kesal. Ia berjalan bolak-balik sambil terus menggerutu kesal. Nafasnya tersegal-segal dan matanya melotot pertanda ia tengah marah besar.

Seseorang mengetuk pintu kamar Hinata yang terbuka. Namun, Hinata tidak menyadarinya dan menghiraukannya begitu saja.

"Onee-san!" Hanabi memanggil kakaknya.

"Apa?" tanya Hinata tak sabaran.

"Mau masak apa?"

"Terserah."

"Onee-san!"

"Apa lagi, Hanabi?!" Hinata menatap Hanabi kesal, tapi tatapannya berubah menjadi heran melihat Hanabi yang membawa satu keranjang penuh tomat segar.

"Aku tanya, Nee-san mau masak apa?"

"Aku tidak ingin memasak."

"Harus."

"Kenapa?"

"Karena ayah bilang nee-san yang akan mengolah semua tomat ini menjadi aneka ragam makanan."

"Tidak mau."

"Ayah!!!" Hanabi mulai berteriak, berpura-pura memanggil ayahnya.

"Hentikan, Hanabi! Jangan mengadu seperti anak kecil!" Hinata kesal pada adiknya yang masih suka mengadu tersebut. "Baiklah, aku akan masak, tapi kau harus mendengarkan semua keluhanku."

Hanabi mengangkat bahunya. Ia tidak masalah dengan penawaran tersebut. Toh, paling juga kakaknya akan menceritakan tentang pujaan hatinya dan gadis yang dipuja oleh pujaan hatinya.

.

.

"Kau tahu, Hanabi, rasanya aku sangat-sangat-sangat ingin membunuhnya." Hinata memotong buah tomat dengan sekuat tenaga. "Aku ingin memotong-motongnya seperti aku memotong tomat-tomat ini. Aku juga ingin melihat wajahnya yang merah seperti buah tomat setelah aku mempermalukan dirinya."

Hanabi menghela nafas. Ia sudah terbiasa jika kakaknya marah-marah seperti ini. Tapi, kemarahan kakaknya hari ini lebih besar dibanding sebelum-sebelumnya. Ia hanya bisa berdoa agar ia tahan dengan ujian ini.

"Kau tahu 'kan, Hanabi, jika aku sudah mati-matian menjaga topengku di luar sana? Dan kau harusnya paham bagaimana marahnya aku saat rahasiaku diketahui oleh orang lain!"

"Bisa tidak marahnya nanti saja? Sebentar lagi ayah dan kenalannya akan datang."

"Hanabi, seharusnya kau –apa?! Ayah tidak ada di rumah?" Hanabi berdeham. "Kau menipuku Hanabi!"

"Menipu apa lagi?"

"Kau berteriak seolah memanggil ayah dan membuatku berpikir jika ayah ada di rumah."

"Aku hanya berteriak, bukan berarti ayah akan datang karena mendengar teriakanku." Hanabi menanggapi dengan santai sambil terus mengaduk adonannya.

"Kau memang licik, Hanabi! Membuatku semakin kesal dan ingin membuat makanan beracun untukmu."

"Jangan coba-coba masukan racun dalam masakan ini atau kau ingin hidup sebagai gelandangan!" Hinata terkejut melihat sebuah adukan terangkat ke arahnya. Hanabi memang cuek, tapi menguji kesabaran Hanabi adalah hal yang tidak ingin Hinata lakukan –meski nyatanya ia sudah sering melakukannya.

"Baiklah, paduka." Hinata mengerucutkan bibirnya kesal sambil terus memotong-motong sisa tomat yang ada.

.

.

Hinata menghembuskan nafasnya lega. Akhirnya ia selesai membuat masakan berbahan dasar tomat seperti yang diinginkan ayahnya.

"Kenapa ayah tidak menyuruh pembantu saja sih?!" Hinata melipat kedua tangannya melihat seluruh masakan yang tersaji di atas meja makan.

"Ini untuk kenalan ayah yang sangat penting. Kakak seharusnya bersyukur karena ayah mempercayakannya pada kakak."

"Sejak kapan ayah punya kenalan seorang maniak tomat?"

"Ayah pulang." Hinata dan Hanabi menoleh ke arah ayahnya yang baru saja tiba bersama supir keluarga Hyuuga dan sang maniak tomat.

Kenapa si keparat itu ada di sini?!

"Ayah, dia–"

"Dia anak kenalan ayah. Namanya Sasuke Uchiha dan seusia denganmu, Hinata."

Tadi-tadi aku racuni saja makanan itu!

"Salam kenal, aku Hanabi Hyuuga." Hanabi menundukkan badannya, memperkenalkan diri dengan sopan.

"Hinata." Menundukkan kepalanya sebentar dan langsung memalingkan wajah membuat Sasuke tersenyum miring melihat sikap Hinata. Jadi, ia seperti ini jika hanya di rumah saja?

.

.

Makan malam terasa sangat menyebalkan bagi Hinata. Bahkan makanan yang dibuatnya kini terasa hambar semua. Duduk di samping Sasuke Uchiha ternyata bisa membuat makanan menjadi kehilangan rasa.

"Jadi kalian sudah kenal satu sama lain?" Hiashi bertanya.

"Kami hanya satu sekolah." Hinata menyuapkan satu sendok makanan dengan kesal.

"Kami memang belum sedekat itu, paman. Tapi, kurasa kami akan dekat setelah ini." Hinata melotot. Si Kurang Ajar Uchiha ini menaruh satu tangannya pada paha kiri Hinta. Iya, paha-kiri-Hinata.

"Baguslah. Ayah harap kalian bisa dekat agar hubungan kerja sama antara Uchiha dan Hyuuga berjalan lancar."

Hinata menoleh pada Sasuke dan memandangnya tajam saat tangan Sasuke mulai bergerak mengelus-elus paha dan kaki Hinata.

Apa yang kau lakukan, bodoh?!

Sasuke melirik Hinata melalui ekor matanya, menyunggingkan sebuah seringai dan mengangkat satu alisnya. Demi Hiroshima Senju, Hinata ingin menguliti pemuda kurang ajar ini dengan ganas.

.

.

"Apa yang kau lakukan, sialan?!" Hinata menyeret Sasuke dengan paksa ke sebuah ruangan di rumahnya yang kosong.

"Kau bertanya tentang apa? Tentang aku yang datang ke rumahmu atau tentang aku yang mengelus-elus pahamu?"

"Apa aku boleh meninjumu?!" Hinata mengepalkan tangannya.

"Wow! Relax, Hyuuga, Relax." Sasuke mengangkat kedua tangannya. "Aku ke sini murni karena mewakili ayahku yang bekerja sama dengan ayahmu. Dan soal sentuhan itu–"

Sasuke mendekati Hinata dan berbisik pelan, "Aku ingin tahu selembut apa kulit wanita yang ingin mendapatkan Naruto."

Hinata mengangkat tangannya, berniat meninju Sasuke. Namun, dengan cepat Sasuke menahan tangan Hinata.

"Aku tidak suka makanan manis Hinata. Jadi lain kali kau tidak perlu menambahkan banyak gula." Sasuke mengedipkan matanya sebelum akhirnya pergi meninggalkan Hinata.

"Masak saja sendiri, dasar maniak!!"

.

.


Denganmu [SasuHina X Shikamaru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang