Ting.' suara dentingan sebuah alat terdengar dari arah dapur seseorang, menandakan kalau apa yang telah dia tunggu-tunggu telah tiba. Seorang gadis bersetelan gamis berwarna army dengan kerudung berwarna lime itu segera menghampiri benda yang berbunyi tadi. Dia membuka tutupnya. Terciumlah aroma wangi khas makanan yang sangat menggugah selera.
'Caramel cake dan cake pandan,' adalah hasil karyanya selama satu jam yang lalu berkutat dengan alat eksekusinya."Hmmm wangi banget, kok Abi jadi lapar ya?" pria berusia 43 tahun ini menghampiri gadis yang tak lain adalah putrinya.
"Eksekusi apalagi sih baby Wafa ini?"
"Iih, Abi. Wafa udah gede kali, masa di panggil baby sih?" protes sang putri tak terima. Dengan manisnya dia memajukan bibirnya. Membuat sang ayah terkekeh, malah dengan sengaja menoel pipi putrinya.
"Gak usah di kerucutin, dear! mau bagaimanapun bibir kamu gak akan nambah kedepan."
"Iiih, jadi Abi mau bibir Wafa jadi monyong gitu?"
"Yaa, enggaklah. Abi bersyukur punya putri secantik baby Wafa."
"Ish, iklan sabun pak ...?"
"Hahahaha".
Bik Iroh sama mang Jaja tersenyum melihat majikannya yang suka menggoda putrinya itu. Inilah pemandangan yang selalu mereka lihat, membuat hati keduanya ikut bahagia. Meski tak ada Nyonya mudanya, mereka tetap menciptakan suasana hangat. Walaupun semua tak lagi sama, semenjak mereka kehilangan Nyonya muda baik hatinya itu.
Mereka berdua selalu berharap semoga majikan dan nona kecilnya itu selalu ada dalam lindungan Allooh Subhaanahu waTa'ala, diberi banyak kebahagian seperti mereka telah memberi kebahagiaan pada sesama.
"Oia, Abi bisa gak cobain hasil eksekusinya Wafa," Wafa menyodorkan sepotong kue hasil karyanya kearah ayahnya yang sudah duduk di kursi makan sambil membawa teh tubruk kesukaan ayahnya.
"Waaah boleh banget donk, tapi ini bebas biaya kan?"canda ayahnya.
"Gratis khusus untuk 5orang pelanggan pertama," nada yang dibuat-buat, mirip seperti seorang saleswati sedang mempromosikan produk terbarunya.
"Waduh bibi oge hoyong atuh Neng geulis ari gratis mah (waah bibi juga mau kalau gratis mah)" Bik Iroh ikut menimbrung dari arah halaman belakang, sambil membawa ember. Sepertinya Bik Iroh habis menjemur baju.
"Tafadhdhol, Bibik sayang. Kenapa Bibik ngeyel banget sih? Kan udah Wafa bilang, biar Wafa aja yang jemur bajunya."
"Nyaa atuh kumaha, Neng? Bibik oge gaduh raray atuh isin, manya hayoh wae Neng geulis anu barang-damel? Tadi atos Neng anu nyucina, piraku kedah Neng deui anu moekeunnana? (ya gimana lagi, Neng? Bibi juga punya rasa malu, masa harus Neng terus yang kerja? Tadikan Neng yang nyuci, masa iya harus Neng lagi yang jemur)?" ucap Bik Iroh sambil berkata kembali, "dimana harkat dan martabat para pembantu?"
Wafa telah biasa dengan bahasa yang gunakan Bik Iroh, mungkin karna terbiasa, dia juga sudah mengerti bahasanya, meski agak canggung bila dia yang mengucapkan.
"Gapapa kali, Bik. Bibik kan lagi sakit pinggang, karna itu Bibik istirahat yang cukup, dan lagi ini semata-mata agar Wafa bisa belajar, gak boleh selalu di sediain orang lain mulu kan? kali-kali Wafa yang menyediakan untuk orang lain, contohnya untuk Abi, Mamang, dan juga Bibik."
Wafa tak sadar, apa yang telah di ucapkannya mampu membangunkan sisi sensitive pada ayah dan pembantu dan juga pengasuhnya saat ini, Faruq merasa kenapa putrinya cepat sekali tumbuh besar? Ia sungguh masih ingin mengurus putri tercintanya itu, mengingat keinginan orang yang pernah berjasa besar untuk kehidupannya di masalalu. Mau tak mau dia harus merelakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lubna Nurul Wafa
General Fiction"YaaRobb ... aku serahkan semua ini pada-Mu. Maka, cukupilah hati dan Iman hamba dengan Rahmat-Mu." --Lubna nurul wafa-- "Percayalah atas nama cinta, janji ini karena Alloh." --Naufal Rifki Nawawi-- #Serpihan_Kisah_Wanita_Muslimah_series_satu