Hanya sebuah gertakan.

996 71 11
                                    


"Sayang, kamu beneran sudah dapat izin suamimu?" Faruq kembali bertanya pada putrinya. Bukannya dia tak percaya, tapi feelingnya berfirasat jika putrinya tengah menyembunyikan sesuatu.

Wafa mempoutkan bibirnya, protes atas ketidak percayaan ayahnya, "Boleh tanya bibi deh kalau Abi tak percaya."

Faruq tertawa lalu mengangguk, "Tumben aja putri Abi mau pergi tanpa suaminya."

"Kan udah dibilangin, kalau Wafa nunggu Mas Ifal pulang bisa diperkirakan sehari sebelum hari H baru bisa ke sana. Tante Frisca sudah hubungi Wafa beberapa kali, akan jadi tak enak hati nantinya." Wafa menghampiri ayahnya dan memeluk lengan pria baya itu dengan manja, "Lagian Wafa akan merasa kesepian jika di rumah tanpa Mas Ifal. Abi juga mau pergi hari ini."

Faruq tertawa renyah sambil mengelus puncak kepala putrinya. Perempuan yang begitu disayanginya ternyata benar-benar sudah dewasa dan malah sudah menjadi seorang istri dari seorang pria yang menjadi suaminya. "Kamu ternyata sudah dewasa ya. Rasanya Abi baru kemarin menimangmu dan kamu yang selalu merengek duduk di punggung Abi," gumam Faruq sedikit serak.

Wafa mempererat pelukannya, nafasnya sudah terasa berat. Bahkan airmatanya sudah tak bisa ditahan lagi. Setiap ayahnya berbicara seperti itu selalu menjadi hal paling sensitif untuknya. Meski tak diucapkan, sangat terlihat jelas jika ayahnya tengah merindukan mendiang ibunya.

Faruq segera melepas pelukannya saat isakan Wafa tertangkap telinganya, "Hei, kok malah nangis." Faruq menghapus airmata putrinya yang justru semakin bertambah.

"Bi, sebelum kita ke Sukabumi, kita mampir ke mama dulu, ya. Wafa rindu mama," lirih Wafa.

Faruq tersenyum dan mengangguk, "Kebetulan Abi juga rindu padanya. Entahlah, padahal setiap saat, ketika salat, mengaji, bersholawat Abi selalu merasakan jika mama kamu di dekat Abi. Tapi kenapa masih merasakan rindu."

Wafa terenyuh dengan ucapan ayahnya, "Wafa senang dan bersyukur karena mempunyai mama yang begitu dicintai kekasih halalnya, juga Abi yang begitu mencintai wanita yang menjadi istrinya."

Faruq terkekeh, "Ketahuilah, Nak! Rasa sayang dan cinta kami jauh lebih besar terhadapmu. Abi mencintai mamamu sampai detik ini, karena wanita yang melahirkanmu itu mampu menjaga hatinya hanya untuk Abi seorang."

"Semoga Wafa juga bisa seperti Abi dan mama."

"Tentu saja. Abi bisa melihat cinta yang tulus dari suamimu, begitu pun dengan dirimu sendiri." Faruq menepuk lembut kepala putrinya.

"Aamiiiiiiiiiiiiiiiiin."

"Hahahaha, semangat banget bilang aminnya."

"Harus dong, hehehehe."

"Ya sudah, kamu sudah siapkan? Kita bisa pergi sekarang."

Wafa mengangguk lalu memanggil PRTnya untuk berpamitan. Sesuai rencana, mereka berziarah dulu ke makam ibunya. Cukup lama mereka di sana karena seakan lupa waktu saking betahnya. Dan baru berangkat setelah salat asar.

"Tadi jam berapa nak Naufal berangkatnya?"

Wafa menoleh ke arah ayahnya, "Sekitar pukul 9."

"Kenapa gak jadi kemarin malam?"

"Mas Ifal seharian sangat sibuk kemarin, jadi dia minta istirahat di rumah gak langsung berangkat. Beruntung aja dikasih izin sama Granny."

"Emang lagi bikin proyek apa?"

Wafa menggeleng pelan, "Jangan tanya soal itu sama Wafa, Bi. Wafa gak tahu. Tapi yang Wafa dengar, itu disuruh sama granny katanya si ... peluasan tanah buat perusahaan keluarga gitu. Granny kan ada keturunan sana."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lubna Nurul WafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang