Suasana restaurant sepertinya sedang ramai pengunjung. Tentu saja, karna memang sekarang sudah waktunya makan siang. Meskipun restaurant itu tak seramai warung nasi di seberangnya. Karena bagaimanapun sebagian besar lebih memilih tempat yang lebih ekonomis untuk memenuhi panggilan perutnya yang sudah keroncongan.Di salah satu meja restaurant itu, terdapat sepasang manusia yang mungkin sedang melakukan aktifitas seperti yang lainnya. Makan siang.
Namun, siapa yang tahu, jika salahsatu dari pasangan itu, lebih tepatnya sang pria samasekali tak menikmati makan siangnya. Walaupun raganya di sana, tapi hatinya entah dimana. Matanya menatap kosong hidangan yang tersusun cantik dan ciamik. Harum dari aroma pasakan itupun tak pernah berbohong bagaimana citarasanya yang tak pernah mengecewakan.
Tapi sekali lagi, pria itu tak merasakannya. Pikirannya terus berkelana, bahkan wanita cantik di hadapannya pun tak bisa mengalihkan pemikirannya yang memang sedang jauh di sana.
Sudah satu bulan lebih hidupnya bagai berdiri di sebuah lorong hitam. Seperti di tepi jurang. Berbagai mimpi buruk juga ketakutan yang sangat mencekam, seolah mencekiknya hari demi hari. Menunggu kehancurannya sampai tak bersisa.
Walaupun ada rasa dimana dirinya akan merasakan ketenangan dan kehangatan, yaitu ketika dirinya melihat wajah cantik meneduhkan istrinya. Dan tentu saja itu tak cukup. Karena waktunya dengan sang istri sangatlah terbatas.
Istrinya? 'Deg!' Seketika tubuhnya kaku, tangannya bergetar meski itu sangatlah samar terlihat. Kejadian dini hari tadi masih sangat jelas terpatri dibenaknya. Bagaimana reaksi istrinya yang mual dengan aroma tubuhnya. Bagaimana jika istrinya tahu? Apakah dia akan dimaafkan? Atau malah dibenci? Atau bahkan ditinggalkan?
Tidak-tidak!! Istrinya bukan manusia, dia seorang bidadari, hatinya bagai malaikat, pasti istrinya akan memaafkannya. Ya, pasti.
Beberapa pemikiran itu terus menggelegar dalam otaknya, hingga tak sadar dirinya menggeleng dengan sangat kuat, akan tetapi mengangguk kemudian dengan cepat pula.
Sedang wanita yang sedari duduk dihadapannya mengerutkan dahinya, merasa heran dengan pria di depannya itu. Dengan sangat anggun dirinya berdiri mendorong kursi, lalu menghampiri pria itu, "Honey! Hey, are u okey?" tanyanya lembut sambil menepuk pipi pria itu yang tak lain adalah kekasih dari si wanita tersebut.
Seolah tersadar, dan merasakan tepukan di pipinya, si pria langsung menoleh, terlihat raut wajah khawatir dari wajah cantik yang sedang mengelus wajahnya. Namun sedetik kemudian, "Aww!" terdengar suara jeritan serta kekagetan dari si wanita, yang entah sejak kapan tubuhnya sudah terjatuh di lantai dengan sedikit keras.
Si pria langsung melotot dan berdiri menghampiri si wanita, barusaja dirinya akan mengulurkan tangan, tiba-tiba tangan itu menggantung di udara, 'maaf, Mas. Aroma Mas sangat menyengat sekali.' Kilasan suara wanita tercintanya kembali terngiang.
Melihat kelakuan sang kekasih, si wanita langsung cemberut dan terpaksa bangkit dengan sendirinya, matanya mendelik seolah protes akan kelakuan sang pacar. Namun dia malah dibikin makin kesal, terkala si pacar malah kembali asik melamun.
'Ck, sepertinya dia lagi banyak pikiran.'
Meski berat, namun si wanita tetap mengalah. Bersikap seperti biasa lagi. Dengan lembut dia menepuk pundak si pacar, "Hon, kamu kenapa si? Bengong mulu." ucapnya lembut.Baru saja dirinya akan menyandarkan kepalanya kebahu sang kekasih, dengan mengaitkan tangan ke lengan prianya, namun lagi-lagi penolakan yang dia dapat.
"Ma-maaf, Fio. Bisakah kita tak terlalu dekat? Jujur, aku gak nyaman," ucap si pria dengan tergagap.
Sakit. Itulah yang dirasakan wanita itu. Ada apa dengan kekasihnya? Apa yang selama ini terjadi? Kenapa pacarnya begitu banyak berubah. Padahal dulu mereka sangat dekat, meski dalam artian aman. Dulu dirinya selalu bergelayut manja. Tapi sekarang? Bahkan bisa dilihat kekasihnya itu sangatlah tidak nyaman berada di dekatnya. Apakah pacarnya sudah memiliki wanita lain? Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Berusaha mengenyahkan pikiran yang membuat hatinya sakit, si wanita tersenyum walau sangat terlihat dipaksakan. "Ya udah, kita makan lagi ya?! Waktu istirahat kerja sebentar lagi habis. Kamu si daritadi melamun terus, aku kelaparan tahu," ucapnya manja. Ingin sekali dirinya bergelayut di lengan kekasihnya itu. Tapi takut penolakan kembali diterimanya, maka sekuat tenaga dia menahannya.
"Maaf! Kalau begitu, ayo makan."
Tak jauh dari tampat mereka, sepasang mata menyorot mereka dengan sangat lekat. Otot lehernya menegang, juga kepalan kuat tangannya di kedua sisi tubuhnya.
Mungkin jika orang melihat bagaimana raut wajahnya sekarang. Dengan sekali lihat pasti tahu, jika dirinya sedang menahan kemarahan juga penderitaan yang sangat besar. Sorot mata yang menyiratkan kepedihan. Di sana, wanitanya, cintanya, malah tersenyum dengan penuh cinta pada seseorang. Bukan padanya.
Deruan nafasnya sedikit berkurang, terganti dengan dengusan getir di bibir, "Sampai kapanpun, sampai kapanpun, kau takkan pernah bisa memilikinya, Di. Sadarlah, dude!" lirihnya lebih kepada dirinya sendiri, "ayolah, Dimas!! Sampai kapanpun Fiona tak pernah menganggapmu ada," tandasnya penuh tekad.
Dia pikir, dia telah berhasil. Dia mengira, Fiona sudah membalas cintanya. Tapi, dia tak menduga, kepulangan wanita itu justru bermaksud kembali kepada mantan kekasihnya, yang taklain adalah sepupunya sendiri. Naufal.
Ya, pasangan kekasih itu adalah Fiona dan Naufal.
Entahlah! Apakah ini nyata atau tidak. Tapi, untuk saat ini mereka pasti kembali bersama. Sekali lagi dirinya menatap sepasang kekasih yang tengah menikmati makan siang itu. Hari ini dirinya akan kembali ke Aushi. Sudah cukup! Sebulan sudah dirinya mengorbankan waktunya demi cintanya, melalaikan pekerjaan yang tentu akan menjamin hidupnya. Sudah cukup, sampai di sini.
Mati-matian menahan dirinya untuk menghampiri Fiona. Dengan sekali tekad dirinya keluar tanpa menoleh kembali. 'Good bye, Fiona. Aku menyerah!'
.........
"Ayo!" Naufal mengajak Fiona keluar Restaurant. Sangat jelas sekali dirinya ingin segera menuntaskan aktifitas siang ini. Dirinya begitu tak nyaman, setidaknya jika sudah kembali ke kantor, dia takkan bersama Fiona lagi.
"Bentar, ih! Kamu jadi gak sabaran banget si." Bibir Fiona mengerucut, mencebik tanda protes.
"Sebentar lagi ada meeting," jawab Naufal singkat. Ya, meskipun waktunya free, namun ia lebih baik berhadapan dengan setumpuk pekerjaan dari pada dengan wanita di hadapannya ini. Apalagi jika istrinya yang dia hadapi. Uh, rindu rasanya dia.
Ah, andai saja ibunya seperti bundanya, mungkin dirinya takkan mengalami situasi sulit seperti ini.
Tak repot-repot menunggu Fiona, Naufal langsung berbalik berjalan keluar setelah membayar bill. Terdengar suara hentakan kaki juga gerutuan di belakangnya yang memang tak ada niatan untuk dia pedulikan.
Tanpa diduga, lengannya ditarik dari belakang, sehingga tubuhnya berbalik langsung. Tak lama dia merasakan sesuatu menubruk tubuhnya. Kejadian yang begitu tiba-tiba, membuat dirinya yang memang tidak siap, hingga tubuhnya terdorong kebelakang.
'Bruk!' Tubuhnya menubruk sesuatu.
"Are you okay?" Suara seseorang terdengar dari belakang telinganya. Menandakan bahwa dirinya telah menubruk manusia. Namun bukan itu yang membuatnya serasa linglung, tapi suara itulah yang terasa familiar.
Dengan perlahan dirinya berbalik, dan sedetik kemudian, matanya menangkap sosok yang sedang menatapnya dengan ekspresi shok. "Kau?!" ucap orang tersebut. Terdapat kemarahan dalam nada bicaranya.
Naufal mengerutkan dahi, 'Apakah mereka kenal? Ah iya, dia Alvino. Kakak sepupu istrinya.' Namun, seketika tubuhnya menegang, tatkala melihat wajah murka Vino. Apalagi sorot mata pria itu tak lepas dari sesuatu yang masih menempel ditubuhnya.
Wajahnya kian memucat, tatkala dirinya sadar bahwa ada Fiona yang masih memeluk badannya. 'Astagfirullooh!! Kenapa bisa begini,' rutuknya pilu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lubna Nurul Wafa
General Fiction"YaaRobb ... aku serahkan semua ini pada-Mu. Maka, cukupilah hati dan Iman hamba dengan Rahmat-Mu." --Lubna nurul wafa-- "Percayalah atas nama cinta, janji ini karena Alloh." --Naufal Rifki Nawawi-- #Serpihan_Kisah_Wanita_Muslimah_series_satu