{Sunshine, maaf. Mas sepertinya akan pulang larut lagi. Jangan lupa makan ya. Tidur lebih awal. Sekali lagi maafin Mas karena tak bisa menemanimu makan malam. Love U more.}
Wafa menghembuskan nafasnya, matanya masih menatap deretan teks yang dikirim suaminya pada ponselnya. Sudah hampir satu minggu suaminya kembali tak punya memiliki waktu untuknya. Bahkan sekarang lebih parah dari sebelumnya. Tapi, dia pun tak bisa menyalahkan siapapun, bahkan sekedar untuk menuntut jika dirinya juga butuh diperhatikan dan merasa kesepian, karena saat ini kondisi ibu mertuanya lah yang harus lebih menjadi prioritas.
Bila mengingat sang ibu mertua, sebenarnya Wafa sangat sedih dan terluka. Entah apa yang menyebabkan wanita yang telah melahirkan suaminya itu begitu membencinya sedemikian besar.
Bahkan dia tak pernah sekalipun diberi kesempatan untuk mencoba mendekatkan diri pada ibu mertuanya itu.
Masih terekam jelas saat dirinya menjenguk wanita itu di Rumah Sakit pasca kejadian kecelakaan yang memang ternyata sebuah kesengajaan itu, dirinya nyaris ikut celaka karena dengan marahnya Terisa, ibu mertuanya, melemparkan sebuah kaca tepat ke arahnya karena merasa marah akan dirinya yang berani menemui wanita itu.
Beruntung Naufal datang tepat waktu walau berakhir dengan luka yang didapat suaminya di pelipis kirinya.
Dokter mengatakan jika psikis ibu mertuanya memang sedikit terguncang entah karena apa. Ditambah kenyataan jika kepribadian ibu mertuanya memang lebih tempramen. Oleh sebab itu Naufal tak lagi mengizinkan dirinya menjenguk atau menemui ibunya apalagi dalam keadaan sendirian.
Maka tak ada yang bisa Wafa lakukan saat ini kecuali menyerahkan semuanya pada Alloh, sang maha Pencipta semua Makhluq termasuk masalah yang tengah dihadapinya ini.
'Tuhan memberimu cobaan sesuai porsinya. Maka dia yakin bisa melewatinya. Maha baik Alloh atas segala karuniaNya. Tak ada yang bisa dia lakukan jika Alloh belum menghendakinya. Termasuk membalikkan hati ibu mertuanya untuk bisa menerima juga menyayanginya.'
Drrrtt ....
Wafa terlonjak saat merasakan getaran ponsel yang digenggamnya. Beberapa kali mengucap istighfar, baru sadar jika dia malah melamun. Dengan sigap Wafa menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.
"Hallo, Mas. Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalaam ... Sayang. Kamu sedang apa?"
Wafa tersenyum walau ia tahu jika suaminya gak akan melihatnya, "Lagi lihat pesan dari Mas."
Terdengar helaan nafas dari sebrang sana, "Sayang, Apa Mas harus pulang sekarang?"
"Eh, kenapa?"
"Maaf. Mas merasa begitu berdosa sama kamu." Suara Naufal semakin lirih.
"Jangan gitu ah! Lagian kan Mas di sana sedang jagain Mom. Aku gapapa kok, hehehe."
Tak ada tanggapan setelahnya, Wafa melihat layar dan sambungan masih terhubung. "Mas," panggilnya.
"Kamu udah makan belum, Yang?"
"Masih sore, ah. Nanti aja habis maghrib sama bibi. Lagian gak enak makan sendir,---" Wafa menggigit bibirnya saat tanpa sadar dia berkata berlebihan.
"Mas tutup telponnya, ya. Love u, Sunshine. Assalaamu 'alaikum."
Wafa baru saja akan menjawab, namun sambungan sudah terputus. Seketika dia menggigit jarinya, hatinya menjadi tak tenang. Wafa merasa bersalah hingga meyebabkan suaminya tak nyaman.
[Mas, maaf! Sungguh aku tak bermaksud begitu. Jangan lupa makan dan istirahat yang cukup. Semoga mommy lekas sembuh. Love u too. Wa'alaikumussalaam.] Wafa mengirimkan pesan pada Naufal. Membalas salam yang belum sempat dia jawab karena sambungan telpon keburu berakhir. Bibirnya tersenyum saat pesannya sudah dibaca. Terlihat dari centang dua berwarna biru. Namun senyumnya kembali pupus setelah sekian menit menunggu, suaminya tidak ada niatan membalas pesannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lubna Nurul Wafa
Ficción General"YaaRobb ... aku serahkan semua ini pada-Mu. Maka, cukupilah hati dan Iman hamba dengan Rahmat-Mu." --Lubna nurul wafa-- "Percayalah atas nama cinta, janji ini karena Alloh." --Naufal Rifki Nawawi-- #Serpihan_Kisah_Wanita_Muslimah_series_satu