Setiap pertemuan akan selalu ada perpisahan. Keduanya sama-sama tidak bisa kita kontrol. Bukankah setiap orang memiliki masanya masing-masing dalam hidup kita. Seindah apapun pertemuannya, tidak menutup kemungkinan seseorang tidak akan pergi dari hidup kita.
Hyura tetap berada di kamarnya seminggu ini, tidak ingin berangkat sekolah ataupun berbincang dengan keluarganya. Ingatan tentang masa kecilnya kembali terus terulang.
"Kau lapar?"
Tanya Hyumin dari ambang pintu kamar Hyura, sedang tidak ada siapa-siapa dirumah selain mereka berdua.
Hyura menjawab dengan gelengan dibalik selimut.
Sejujurnya Hyumin tidak mengerti apa yang sudah terjadi dengan adiknya ini. Hyura seminggu yang lalu hanya pulang sambil menangis dan tidak ingin keluar kamar setelahnya. Hyumin berulang kali menanyakan dengan adiknya itu, tapi Hyura tetap mengabaikanya. Naeun yang dihubungi Hyumin pun tidak mengerti ada apa dengan Hyura.
"Kau tidak mau bercerita sedikitpun?"
"Hyura..."
Hyumin duduk di ujung kasur Hyura, berharap adiknya itu membuka selimut yang menutupi seluruh badannya.
"Cukup saat itu saja aku tidak bisa mendengar suaramu, tolong cerita"
Hyura menghela napas pelan mendengar perkataan Hyumin. Kejadian beberapa tahun lalu bukan hanya dia yang tersakiti, tapi seluruh keluarganya juga. Hyura mendapat cerita kalau Hyumin saat itu yang paling merasa tertekan karena merasa bersalah sebagai seorang kakak, ia gagal melindungi adik perempuannya itu.
"Oppa.."
Samar suara Hyura terdengar dari balik selimut dan tak lama kemudian ia membuka selimut hanya agar tidak menutupi wajahnya.
"Kau terlihat berantakan"
"Apa kau lapar?"
Hyura kembali menggelengkan kepalanya.
Setelah menghela napas Hyura pun bertanya
"Apa saat itu Oppa menungguku bangun?"
Tanya Hyura dengan hati-hati. Tidak ingin membuat keadaan menjadi sedih.
"Bodoh" satu pukulan pelan mendarat di kening Hyura.
"Aku menunggumu siang malam, berharap aku bisa memakimu karena telah menjadi adik durhaka yang tidak menjawab saat kakaknya mengajak bicara"
Garis ujung bibir Hyura terangkat sedikit disertai dengan tawanya yang pelan.
"Tapi aku tidak terlalu merasa kesepian saat itu"
"Hm?" Hyura menatap Hyumin bingung.
"Ada anak lelaki yang menemaniku. Yukhei kah namanya? Aku lupa, setelah 2 minggu kau terbarin dia tidak datang lagi, kudengar dia pindah"
Mendengar nama itu sesungguhnya Hyura tidak ingin mendengar perkataan Hyumin lagi, tapi ia urungkan niatnya itu.
"Aku sempat merasa bahwa dia adalah kakakmu sesungguhnya, karena dia menangis melebihi aku"
"Kau menangis?" tanya Hyura menginterupsi dan lagi-lagi dibalas dengan pukulan pelan di keningnya oleh Hyumin.
"Aku lupa namanya, tapi dia sama denganku saat itu, menunggumu siang malam dan berbicara denganmu. Dia menceritakan segala hal tentang hidupnya, aku ada disana saat itu. Saat itu aku berpikir, bahwa hidupnya sudah cukup berat untuk dia tanggung, tapi dia tetap berusaha kuat didepanmu"
"Maksudnya?"
"Aku tak tahu harus menceritakan ini atau tidak. Memangnya kau masih ingat dengannya?"
"Ceritakan saja"
"Dia kuat, dibalik senyumnya saat dia berbicara denganmu ada beban yang harus ia tanggung. Orang tuanya sering bertengkar, dia menyaksikan itu sendiri. Ibunya tetap ada disisinya namun tidak dengan Ayahnya yang sibuk dengan pekerjaan. Dia merasa kesepian, dia membutuhkan teman. Sampai akhirnya dia bercerita kalau Ibunya baru saja meninggalkan dia untuk selamanya. Dia tidak menangis saat menceritakan itu, kupikir dia tidak ingin terlihat lemah. Setelah bercerita beragam, dia bilang kalau dia ingin pindah, ikut dengan Ayahnya, walaupun sebenarnya ia tidak mau, tapi dia harus."
"Oppa, aku rasa aku telah melakukan kesalahan" Hyura merenungkan diri sebentar. Merutuki dirinya bodoh.
"Eoh?" respon Hyumin bingung dengan maksud adiknya.
"Sebaiknya aku harus pergi"
Hyura segera bangkit dari tempat tidur dan buru-buru mengambil jaketnya di lemari kemudian berlari keluar rumah.
Benar, saat itu bukan hanya Hyura yang merasa sakit. Lucas juga pasti merasakannya. Semua orang yang peduli dengannya juga pasti merasa tersakiti dengan kejadian itu. Malah seharusnya Lucas lah orang yang harus ditemani dan disayangi karena saat itu dia tidak punya siapa-siapa lagi disekitarnya. Hyura yang menjadi satu-satunya penyebab ia tersenyum saat itu malah ia sakiti karena kesalahan dirinya sendiri.
Hyura menghapus air matanya ketika berlari menuju rumah Lucas.
Ia sampai dan memencet bel rumah Lucas.
Tak kunjung ada jawaban.
Ia buru-buru mengambil handphone di saku jaketnya dan menghubungi Lucas.
Nihil.
Hyura mengganti nomor tujuannya, Mark, untuk menanyakan keberadaan Lucas.
"Halo" terdengar suara Mark disana
"Apa kau tahu Lucas dimana sekarang?"
"Dia bersamaku, tapi dia sedang ke toilet"
"Kalian dimana?"
"Bandara"
"Bandara?"
"Lucas belum memberitahumu kalau dia ingin pindah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Go - Lucas NCT
FanfictionMasih jelas ingatan Lucas tentang kesalahannya beberapa tahun lalu. Hal itu membuatnya semakin tidak ingin membiarkan gadis itu pergi, menjauh darinya. Tapi, apakah yang dilakukannya sepenuhnya salah? Dia hanya ingin tetap bersama gadis itu walaupun...
