PROLOG

569 31 10
                                    

▪▪■☆ Lupakan aku sebagai orang yang pernah
menyakitimu, dan ingatlah aku yang akan
membayar janji-janjiku☆■▪▪
______________________________________________

Aku Marina, seorang konselor berusia 28 tahun. Aku adalah teman bagi mereka yang ingin mengeluarkan curahan hatinya, penderitaannya, bahkan masalah yang tidak penting. Kantorku terbuka 12 jam, kecuali hari libur.

Sekarang aku sedang duduk di sebuah kursi putar berwarna hitam, berbalut bahan kulit, berhadapan dengan meja kantor yang dihiasi sununan buku-buku. Jangan salah paham! Aku bukanlah ahli psikolog.

Hari ini sebenarnya hari libur, tapi aku terlanjur membuat janji akan bertemu dengan klien kesayanganku yang bernama Putri Kirana. Lebih tepatnya, kesayangan temannya. Bukan aku. Pesan Sery, "layani Putri Kirana dengan baik."

Aku heran, apa pentingnya wanita ini bagi Sery dan seperti apa persahabatan mereka dulu?

Putri Kirana adalah seorang ibu berusia 26 tahun yang mengalami ganguan baby blush berkepanjangan, jadi disebutnya bukan baby blush lagi, melainkan syndrom postpartum.

Sebelumnya aku akan menjelaskan apa itu baby blush secara singkat, agar kita menghemat waktu karena sebentar lagi klien-ku akan datang. Baby blush adalah perasaan cemas, sakit hati, kecewa, kesepian, bahkan semua rasa yang mengganggu jiwa bercampur jadi satu. Biasanya dialami oleh seorang ibu yang baru melahirkan.

Perasaan menjadi sangat kacau, sedih berlebihan dan sering menangis tanpa sebab. Biasanya dialami paling lama tiga bulan, tapi kalau lebih dari itu maka disebut syndrome postpartum. Gejalanya sama saja, hanya tingkat keparahan dan durasi waktu yang membedakan keduanya.

Tugasku hanyalah melakukan pendekatan atau konseling kepada pasangan yang renggang komunikasi, bagaimana menjaga pasangan, bagaimana menjadi pasangan yang baik, bagaimana memperbaiki komunikasi yang gagal, atau masalah rumah tangga yang ringan lainnya.

Tok tok tok

Klien-ku yang bernama Putri, kini sudah datang.

"Silahkan masuk!" ujarku sambil memainkan pulpen di tanganku, lalu kurapikan kemeja yang melekat dalam tubuhku.

"Selamat pagi, Bu Marina!" sapa Putri sembari menutup pintu dengan hati-hati. Kurasa ia terbebani dengan pertemuan ini. Atau mungkin membosankan. Aku pun demikian, sangat membosankan.

Ini merupakan pertemuan yang ke-7, dan kuharap perubahan terjadi pada dirinya. Kami bertemu memang hanya sekali dalam seminggu, tapi kali ini aku yang mengajak Putri untuk datang dua kali dalam minggu ini.

"Mari, silahkan duduk!" sambutku dengan ramah, "bagaimana perasaanmu hari ini?"

Aku mempersilahkan duduk di kursi klien yang sedang kuhadapi. Kutanya kabar, sesuai prosedur.

"Aku merasa lebih baik," jawab Putri dengan tatapan malas.

"Good!"

Aku menjentikkan jari seperti yang sering kulakukan apabila memberi semangat kepada klien-ku.

"Sudah lakukan yang kuanjurkan kemarin?"

Aku melakukan evaluasi sederhana. Hanya memastikan kalau klien-ku benar-benar melakukannya.

"Ya, aku berdoa, bernyanyi, berolahraga, dan aku menikmati pemandangan pagi hari."

"Mhmm... terus?" Kuberi ia perhatian lewat tatapan mata yang membuatnya merasa diterima.

"Kami pergi ke kebun teh, minum teh dan makan roti bakar di pagi hari." Kali ini Putri mulai tersenyum.

Meskipun Putri menjawab dengan yakin, tapi aku bisa membaca dari matanya kalau ia belum sepenuhnya merasa lebih baik. Sudah berkali-kali kuanjurkan untuk pergi ke psikiater yang merupakan sahabatku juga, tapi Putri bersikeras menolak, "aku tidak gila!" katanya.

Mencintai Hingga LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang