4. RINDU, TAPI TADI

125 9 1
                                    

▪■■♡ Kuterima dirimu apa adanya tapi tidak menginginkan sikapmu yang cukup apa adanya♡■▪▪

Pagi-pagi sekali saku celana Marko bergetar, tanda ada panggilan yang masuk. Ia berharap itu adalah Rara, istrinya. Ia begitu bersemangat merogoh saku celananya, tak sabar ingin berbicara dengan istrinya, wanita satu-satunya yang pernah ia cintai dalam hidupnya. Namun semangatnya melemas, tapi juga penasaran begitu ia melihat nomor baru yang menelponnya sepagi buta ini.

"Kak, tugasku sudah jadi?"

Ternyata anak itu lagi. Memang sudah kebiasaannya tidak pernah salam, salim ataupun permisi dan pamit pada orang lain.

"Sudah jadi dari semalam," jawab Marko, "aku dibayar berapa ini, Put? Aku sampai tidak pulang gara-gara ketiduran di kantor."

"Okay, kak. Thanks, ya!" Teleponnya langsung dimatikan. Marko hanya menggeleng dan menghembus berat.

Di kantor, Marko bisa memanfaatkan wifi gratis. Meskipun ia tidak hitung-hitungan pada Putri, tapi Marko harus cerdas agar tidak ada pengeluaran--berhubung Rara sangat telitih bila mengecek pengeluaran suaminya. Jangankan uang Rp.10.000.

Nilai pulsa di ponsel Marko selalu dia hapalkan juga sebelum mereka beraktifitas masing-masing. Setelah bertemu kembali, Rara akan mengecek dan bertanya, "abis sms siapa?" apabila pulsa milik Marko berkurang Rp.150.

Mungkin bukan karena pelit, tapi ia sering curiga bila suaminya itu menghubungi perempuan lain.

Marko mengelap layar ponselnya dengan jaket yang menempel dalam badannya. Wajahnya berminyak lantaran dari kemarin ia belum mandi.

'Jangan-jangan aku tertular kebiasaan buruknya Putri, malas mandi. Ah, apa-apaan aku ini memikirkan anak bodoh itu.'

Marko sedikit terhibur mengingat kekonyolan Putri saat dikatai Renata, tidak mandi. Ujung bibirnya tertarik ke atas membuat senyum tak sempurna.

Marko bergegas menuju parkiran motor karyawan, tak sabar ingin pulang ke rumah. Ia sudah rindu pada Rara, istrinya. Akhir-akhir ini memang sangat jarang menemuinya gara-gara kesibukan kuliah dan kerja yang ia jalani bersamaan.

Marko berharap, Rara ada di rumah karena ia ingin sekali melepas rindu pada istrinya itu sebelum masuk kampus siang nanti.

'Lumayan, aku masih punya beberapa jam bersama istriku.' Benak Marko sembari memasang helm di kepalanya.

Marko memacu kecepatan motor seperti dendam. Gairahnya kepada Rara tidak pernah berubah setelah 10 tahun bersama.

Jantungnya berdetak seperti remaja yang sedang jatuh cinta begitu ia berhenti lalu memarkir motor di depan rumah. Ia melihat pintu agak terbuka, dan mobil merah terparkir di garasi membuatnya semakin yakin jika Rara belum berangkat kerja.

Aromah masakan yang ia kenal jelas adalah masakan Rara, kini menyambutnya. Marko memejamkan mata sejenak, lalu menikmati udarah pagi dibumbui harum masakan istrinya. Ia melepas helm kemudian meletakkannya di atas rak sepatu dari kayu yang terletak di teras rumahnya. tanpa permisi, ia langsung masuk dan berjalan terburu-buru sampai ke dapur.

Dipandanginya tubuh Rara yang mengenakan daster biru selutut. Rambutnya dicepol jepitan merah, nampaklah keringat bercucuran di lehernya yang jenjang, putih dan mulus--sungguh mengundang gairah. Rara tidak menyadari jika Marko ada di belakangnya sedang memiringkan kepala memperhatikan caranya yang masih sama seperti biasa, memanyunkan bibir meniup ujung spatula bermaksud mencoba rasa masakannya sendiri.

Tatapan Marko tidak bisa berpaling dari wanitanya. Ia terus memperhatikan bibir yang dia hapal betul lekukkannya itu. Marko tanpa basa-basi melingkarkan tangan di pinggang Rara lalu mencium pipinya. Aromah lelah yang tercium di antara mereka kini berganti menjadi rasa nyaman sekali. Digantungkan dagu di bahu Rara yang sedikit berlemak tetapi menghangatkan itu.

"Astagfirullah... Ayah!" Respon Rara sambil mematikan kompor, "Aku sampai kaget." Ia menata masakannya dalam piring lebar yang didekatkannya di samping kompor dua mata. Rara berlagak tak tergoda, tapi sebenarnya ia menyukainya.

"I love you, sayang! Aku kangen." Kecupan Marko tidak bisa dikendalikannya, bibirnya mendarat cepat di bahu istrinya yang basah oleh keringat.

"Kenapa pulang?"
Ketus Rara merusak suasana berubah menjadi tak nyaman.

"Harusnya tidak usah pulang!" Rara mencuci wajan yang kotor di washtafel, "aku tahu kamu pasti punya selingkuhan, kan?" sambungnya lagi.

"Ya Allah, Bunda! Sedikitpun aku tidak pernah berniat berselingku, Bunda." Rara mulai menyebalkan bagi Marko.

Marko yang sudah melepaskan dekapannya dari pinggang istrinya, kemudian menjauhinya sekitar satu meter. Rara memutar badannya melangkah ke meja makan sambil membawa masakannya. Rendang cumi, masakan kesukaan Marko. Rara mondar-mandir membawa alat makan mempersiapkan makanan sambil ngoceh. Tadinya Marko memang ingin makan, tapi selerah makannya jadi hilang gara-gara sikap Rara yang berlebihan.

Marko jarang bersikap romantis seperti ini, tapi jarak yang semakin jauh membuatnya sadar. Ia merasa menyia-nyiakan waktunya di depan komputer dan membiarkan Rara tidur sendirian. Tak lama kemudian salah satu dari mereka akan berangkat lagi tanpa mengganggu yang masih tertidur. Marko sudah berusaha mengubah sikapnya yang tanpa sengaja ia buat dingin, tapi Rara seperti tidak mengindahkannya.

Marko mencoba membuat suasana menjadi cair kembali, tapi agaknya sulit untuk memulainya. Ia mengambil sarapan yang sudah tersedia di meja makan. Sepertinya tidak ada istirahat hari ini. Ia harus cepat-cepat berangkat ke kampus karena pengumuman lokasi praktek lapangan dan beberapa tugas yang harus ia selesaikan.

Marko memperhatikan wajah Rara, tidak juga membaik. Terus saja tertekuk membuatnya bosan melihat apa saja di sekitarnya. Rasanya ia ingin segerah keluar dari rumah itu. Kantin mbak Nur jauh lebih nyaman daripada rumah miliknya. Di sana ada kebebasan menghisap rokok sambil minum kopi buatan mbak Nur yang nikmat.

"Bunda, kenapa makanannya cuma diaduk saja? Ayo makan!"

Marko sudah memberanikan diri menyuapinya, tapi ia berpaling lalu meluruskan pandangannya ke piring dengan wajah yang masih saja ditekuk.

"Aku tidak suka seperti ini!" Rara menghempas kasar sendok dari tangannya.

"Memangnya seperti apa?" Marko semakin kehilangan rasa nyamannya hingga rasa rindunya mulai pudar.

"Kamu sibuk di luar sana bersenang-senang," tungkas Rara, "Kamu menghabiskan uang untuk merokok. Aku tahu dari bau napasmu," Sambungnya lagi.

Mungkin dengan profesinya sebagai dokter yang membuat Rara sangat membenci rokok. Ini kesalahan Marko yang terlalu buru-buru hingga ia lupa mengunya permen kopi di jalan, agar aromah rokoknya tersamarkan. Perlu diketahui, kopi dapat menyamarkan bau-bauan.

"Siapa yang menghambur-hamburkan uang?" Marko berusaha mengimbangi.

"Terserah apa katamu. Tapi aku tidak suka caramu, ya!" Lagi-lagi Marko disemprot seperti laki-laki kehilangan martabat.

"Aku kan kuliah, Bunda. Aku capek, jadi aku ketiduran di kantor. itu saja!"

Pertengkaran yang sudah jadi ciri khas dalam rumah tangga mereka ini, seringkali membuat Marko jenuh. Kadang terlintas di pikirannya, andai saja ia punya seorang anak, mungkin tidak sejenuh ini juga. Tapi Marko tidak bisa memaksakan kehendaknya dan ia sendiri sudah sepakat menerima apapun keadaan Rara, demi cintanya yang tulus.

Mencintai Hingga LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang