5. FAKULTAS PSIKOLOGI

98 9 0
                                    

▪■■☆Kalau kesantunan menentukan kebaikan, apalah aku yang tidak bisa berbasa-basi ☆■▪▪
_______________________________________________________________________

Marko melangkahkan kaki secepat yang ia bisa menyusuri koridor kelas yang sepi. Lokasi yang biasanya ramai kini bagai tak berpenghuni. Ini adalah jam sibuk ajar mengajar antara mahasiswa dan dosen. Marko mengangkat lengan memandangi arloji yang melingkar di lengannya, ternyata sudah jam 09:00. Pantas saja jika tak seorang pun berlalu lalang. Marko sudah terlambat 30 menit. Setiba di kelas tujuannya, ia mulai ragu hingga perlahan berjalan. Telinganya ia rapatkan di pintu bermaksud ingin tahu apakah dosen sedang mengabsen atau menerangkan materi.

"Kak Marko!"

Baru saja ingin mengeketok pintu kelas, ada suara nyaring berteriak tidak begitu jauh dari belakangnya.

"Husss!!! Jangan keras-keras. Ada Pak Hazkar di dalam." Jawab Marko sebelum menengok ke belakang.

Marko kenal betul pak Hazkar bagaimana orangnya. Kalau ada yang terlambat dia hanya lembut berbicara menyuruh yang baru datang untuk menutup pintu dari luar. Putri sering mengalaminya, bahkan Putri hanya pura-pura tidak mendengar dan terus saja berjalan ke kursi paling belakang. Untungnya pak Hazkar tidak segalak bu Yuyun.

"Ayo masuk kak! aku di belakang Kakak, hehehe... tenang saja! Kita pasti aman. Kan kita berdua," Putri berlagak.

Memang aman karena ada Marko. Coba saja kalau dia sendirian, pasti dia tidak pusing malah senang bisa langsung pulang. Marko tidak pernah melihat Putri panik gara-gara ada tugas mandiri yang harus dikumpul, bahkan ketika ia disuruh menutup pintu dari luar. Biasa aja, tuh.

Dua orang mahasiswa terlambat itu masuk kelas dengan wajah melemah seperti kucing berharap remah ikan jatuh dari meja. Pak Hazka seperti biasa tidak menyulitkan Marko masuk.

Beliau tahu Marko bekerja dan berbagi waktu. Tentu Putri aman kali ini. Lagipula masuk atau tidak, itu bukan masalah baginya. Di kelas, Putri hanya menghabiskan waktu bermain smartphone miliknya, sesekali mengepal senyum entah apa yang ia tertawakan dalam dunia mayanya.

'Amit-amit punya keturunan seperti dia. Kalau bukan karena peduli sebagai teman kelas, aku mana mau membantu mengerjakan tugas-tugasnya.' Gumam Marko saat tak sengaja memperhatikan kesibukan Putri yang sangat tidak penting.

Usai perkuliahan, Marko dan Putri nongkrong di kantin seperti yang selalu mereka lakukan. Kebetulan hoby mereka berdua sama yaitu game online dan nonton movie. Meski sebenarnya Marko ingin sekali nonton di bioskop tapi ia harus menghemat demi menuruti kemauan Rara. jadi dia mengurungkan niatnya itu. Putri suka film apa saja yang Marko tunjukkan. Marko tidak tahu apa Putri benar-benar suka atau tidak tahu memilih film.

Marko sepuluh tahun lebih tua dari Putri. Tak pernah ia berpikir akan berteman dengan sekawanan anak muda seperti Putri dan yang lainnya. Ia terlambat masuk perguruan tinggi karena sebelumnya memang tidak berniat melanjutkan pendidikan.

Marko sudah nyaman dengan pekerjaannya sebagai pengawas di pabrik makanan ringan dan sampingannya sebagai marketing penjualan motor yang sudah ia tinggalkan sejak masuk kuliah.

Tak sanggup menjalani dua pekerjaan sekaligus bila dia harus kuliah juga. Pendapatannya tidak seberapa walapupun menjalankan dua pekerjaan sekaligus. Berbeda dengan Rara yang berpendidikan dan berasal dari keluarga serbah berkecukupan.

Rara empat bersaudara, tiga adalah dokter termasuk dirinya dan seorang kakak laki-laki menjabat sebagai ditektur di perusahaan tambang yang terletak di pulau Kalimantan.

Marko tidak pernah bertanya berapa penghasilan istrinya dalam sebulan tapi sudah pasti penghasilan wanita modis itu jauh lebih banyak dibandinkan Marko . Marko kadang minder tidak bisa memberinya uang yang lebih.

Gajinya hanya cukup untuk membayar cicilan rumah, cicilan motor miliknya, tagihan listrik dan PdAM. Namun karena ini semua keinginan Rara maka Marko melakukan apapun demi istrinya bahagia termasuk ikut kuliah dengan anak-anak yang jauh lebih muda darinya. Mungkin Rara merasa bangga bila memiliki suami seorang sarjana, tapi sayangnya Marko biasa saja.

Kadang Marko malah risih memakai pakaian formal saat kuliah. Tak jarang teman-teman kelas menyangkah jika dirinya adalah dosen.

Sebenarnya ide Rara ini justru membatasi kebersamaan mereka tapi jika itu kemauan istri tercintanya, maka Marko harus menjalaninya. Kalau tidak, mereka bisa beraduh pendapat lagi dan lagi-lagi Marko yang salah.

Selama lima tahun menikah, Marko terbilang paling banyak mengalah demi Rara. Ia membatasi diri untuk bergaul dengan sahabat-sahabatnya di masa sekolah dan masa sebelum nikah.

Itu juga karena Rara tidak suka suaminya bergaul dengan orang-orang berpendidikan rendah. Marko kehilangan kontak dengan mereka semua. Bahkan dengan kerabat saja Marko harus mengurangi interaksi.

Marko beruntung tidak merasakan dilema antara membela istri atau ibu, seperti yang dialami suami pada umumnya. Marko ditinggalkan ibu sejak umur sembilan tahun akibat perceraian dengan ayahnya. Itulah alasannya selalu mengalah agar tidak terjadi perpisahan dalam rumah tangganya.

"Ini tugasmu sudah jadi. Jangan malas-malasan lagi! Nanti aku juga malas bantu kamu." Kata Marko kepada Putri.
Ia meletakkan makalah yang seharusnya Putri kumpulkan pagi tadi, tapi dia terlambat.

"Makasih kak, aku cuma bawa ini. Mudah-mudahan suka." Putri menyodorkan tas kertas yang sedari tadi ia tenteng kemana-mana. Seperti barter dan Putri tidak pernah berbasa basi. Kalau ia membawa bingkisan itu tujuannya sudah jelas sebagai bayaran untuk Marko.

"Apa ini, Put? Kamu menyogokku?" Marko penasaran apa isinya, langsung ia buka tidak sabaran. Ia melihat raut cemas di wajah Putri. Ia menebak apa yang Putri pikirkan.

Putri mencurigai Marko tidak suka dengan apa yang ia berikan. Ini kali pertama Putri kerepotan membawa tentengan ke kampus. Jangankan tentengan atau tas.

Putri hanya menyelip pulpen di saku belakang celananya karena ia tidak pernah mau kerepotan membawa barang sebesar itu. Barang yang tidak pernah lepas dari genggamannya hanya ponsel. Bila ada yang perlu dicatat, ia bisa minta secarik kertas kepada siapa saja yang ada di sampingnya.

"Wah, aku suka nih, kue tori (kue dari tepung beras dan gula merah).

"Ibuku yang bikin," kata Putri.

"Aku jadi teringat ibuku. Waktu kecil, ibuku sering membuat kue ini." Ekor bibir Marko terangkat.

"Ibumu masih hidup?" Tanya Putri sambil mengambil Makalahnya dan dibukanya lembar demi lembar namun tidak dibaca.

Tak beberapa detik Putri membaca makalah yang dibuatkan oleh Marko sambil menahan kantuk itu, langsung diseretnya pergi.

Marko yang belum sempat menjawab pertanyaan Putri hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah anak itu. Benar tidak sopan tapi terlalu mudah memakhluminya. '

'Dasar anak bandel!" gerutuh Marko dalam hati.

Marko lanjut menikmati kue yang sudah terbongkar di hadapannya. Tak lama kopi pesanannya seperti biasa datang juga.

'Sungguh nikmat di tempat ini menghisap sebatang demi sebatang rokok yang pastinya sangat dibenci istriku. Di mana lagi aku bisa menikmati kebebasan sederhana ini selain di luar rumah?'

Marko sungguh menikmati isapan dan hembusan asap rokoknya, tak peduli asap mengepul di seluruh penjuru petak kantin itu. Sambil menunggu Putri, Marko tak melewatkan kesempatan sibuk mendownload movie terbaru yang sudah tidak tayang lagi di bioskop. Marko hanya bisa menikmati movie yang sudah lama lewat masa tayang.

Lagi-lagi Marko memikirkan Rara wanita terseksi dalam hidupnya. Marko tidak banyak mengenal wanita apalagi mempermainkan hati wanita.

Pertengkaran yang sering terjadi membuat Rara tak segan mengeluarkan kata cerai. Bukan cuma sekali atau dua kali. Marko tidak bisa lagi menghitungnya. Bisa dibilang, hampir setiap hari Marko meremas jemarinya menahan diri.

Mencintai Hingga LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang