Menjemput Tiara

1K 378 467
                                    

Mustanir adalah tempatnya musafir masa depan bertempat tinggal. Sebuah Negeri yang masyarakatnya berpendidikan dan sopan santunnya begitu gemilang. Mayoritas penduduknya adalah blasteran semua benua. Inilah Negeri yang penulis ukir pada novel yang berjudul Cinta Tiara di Negeri Mustanir sebagai kado spesial untuk pemuda dan pemudi yang berfikir cemerlang.


Insan tidak luput dari segala godaan, baik ujian maupun rintangan di hadapan. Namun manusia dapat menelusuri jalan dengan pilihan yang di anggap benar. Melalui rangkaian kalimat cinta penulis kabarkan, kualitas cinta bernoktah kesucian untuk Seseorang yang kita rindukan bukanlah titian Puri keabadian. Kepada Pemilik Planet inilah Cinta yang Tak Terbilang diri ini sandarkan pengabdian.

By: Eka Septiana Lidia Sari

Selamat Menikmati Kisah Awal Cerita Ini

Mobil melaju cukup kencang dan suasana sedikit tegang. Meskipun AC dihidupkan dan kenyamanan fasilitas tempat yang ada dalam kendaraan beroda empat itu berinterior lux orang yang duduk di dalamnya seakan tak merasakan apa-apa.

"Berapa jam lagi kita sampai, Pak?" tanya Panji pada sopirnya tak sabar ingin sampai tujuan.

"Sekitar dua jam, Mr. Panji."

"Lama juga, enggak bisa dipercepat lagi, Pak."

"Mr. Panji ini sudah ngebut. Saya tidak bisa lebih dari ini," tegas pak Ilham menunjuk ke arah  speedometer.

"Sabar Panji, ntar juga sampai," kata Rehan sahabatnya yang duduk di sebelah Panji menenangkan.

"Bagaimana mau sabar? Pak Daril di ruang ICU. Anaknya pasti sedih kalau kita jemput dan tahu kondisi orangtuanya saat ini," ujar Panji panik.

"Aku ingat kamu pernah bilang orang tidak selamanya sehat dan kehidupan itu bisa berubah seiring berjalannya waktu," tambah Erik salah seorang sahabatnya menyahut dari depan yang duduk tepat di sebelah sopir.

"Ya betul itu, mana tegarnya Panji? Kuatnya panji?" Soni sahabat Panji menambahkan.

Panji terdiam menatap keluar jendala, tidak biasanya dadanya terasa sesak tubuhpun begitu berat. Sama hal dengan pikirannya saat ini begitu hampa. Mobil berlalu lalang dan hijaunya pepohonan menjadi aksesoris perjalanannya menuju Kota Panorama untuk menjemput anak Pak Daril yaitu Mutiara.

"Akhirnya sampai juga," kata pak Ilham dengan nafas lega.

"Oh, udah ketemu asramanya, Pak?" tanya Soni penasaran.

"Itu nggak salah lagi lokasinya, saya sering temenin Pak Daril tengok anaknya. Anaknya cantiiik betul," jawab Pak Ilham dengan semangat. Soni dan Rehan saling berpandangan antara percaya dan tidak.

"Kalau perempuan jelas cantik Pak," sahut Rehan dengan membuka pintu mobil..

"Diberi tahu nggak percaya," ujar Pak Ilham menerangkan.

"Panji? Panji? Panji? bangun udah sampai nih!" kata Erik menepuk bahu Panji yang sedang tidur. Raut wajahnya terlihat kelelahan, pemuda itu mengusap matanya perlahan-lahan dan melihat ke sekitar Sekolah Tiara.

"Pak Ilham ikut saya ke dalam. Pak Daril sudah sering ajak bapak ke sini, kan?" rayu Panji sedikit memaksa pak Ilham untuk menemaninya masuk ke dalam pintu asrama.

"Ya, tapi Mr. Panji yang duluan bicara. Kepala sekolahnya itu ya Kepala asrama juga di sini," jawab pak Ilham sambil merapikan bajunya.

"Ya udah kalian tunggu di sini ya?" kata Panji dengan sedikit tergesa-gesa.

Cinta Tiara Di Negeri MustanirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang