7

234 20 0
                                    

Hampir tiga jam lamanya Chan menghabiskan waktu untuk "belajar" dengan Hyesung. Kekasih Jihoon itu benar-benar disiplin. Ia bahkan memberikan pertanyaan quiz untuk memastikan bahwa Chan mengerti dengan pelajaran yang diberikannya. Otak Chan sampai panas rasanya. Untunglah Hyesung mentraktirnya kue blueberry. Chan memang butuh makanan manis sebagai pengganti sumber energi yang sudah dikeluarkannya untuk belajar.

Saat ini Chan berada di dalam mobil yang sengaja ia parkirkan tepat di seberang bangunan sekolah taman kanak-kanak tempat Nara mengajar. Pria itu mengamati satu per satu murid telah dijemput orang tua masing-masing. Chan menunggu dengan sabar. Ia yakin sebentar lagi Nara akan keluar karena jam bekerjanya sudah usai.

Nara keluar sembari menggandeng tangan seorang anak laki-laki. Mata anak itu tampak sembab, khas habis menangis. Nara berjongkok, menyesuaikan posisi matanya agar selevel dengan sang murid. Entah apa yang dikatakan wanita itu, namun sang anak terlihat mengangguk dan menyeka air matanya dengan sebelah tangan. Nara tersenyum. Ia memberikan tepukan-tepukan pelan di kepala anak itu. 

Tak lama kemudian, seorang pria berumur tiga puluh tahunan datang terburu-buru menghampiri keduanya. Dari pakaiannya, terlihat pria itu adalah pegawai kantor besar. Ia membungkukkan tubuhnya berkali-kali ke arah Nara, seperti sedang meminta maaf. Nara tersenyum canggung dan terlihat berusaha menenangkan orangtua murid yang tampak panik itu. Setelah bertukar beberapa kalimat, pria itu pergi sembari menggenggam sebelah tangan anak laki-laki yang tadi menangis. Nara memilih tetap berdiri disana. Ia mengamati punggung keduanya yang berjalan menjauh dengan senyuman tipis di wajah.

Ketika berbalik badan akan kembali masuk ke dalam gedung tempatnya mengajar, Nara secara tidak sengaja melihat mobilnya telah terparkir rapi di seberang jalan. Pandangannya bertemu dengan milik Chan yang sedari tadi mengamati tiap detail gerakan wanita itu. Chan tersenyum sembari mengangkat sebelah tangannya. Nara balas tersenyum. Wanita itu mengeja kata tunggu dan bergegas masuk. Tiga puluh menit kemudian, Nara sudah keluar lagi. Kali ini ia sudah mengganti seragam kerjanya dengan pakaian yang lebih nyaman.

"Maaf, membuatmu lama menunggu," ucap Nara ketika sudah duduk di kursi samping pengemudi.

Chan tidak melepaskan pandangannya dari wanita itu barang sebentar pun. Entah mengapa Nara terlihat mengagumkan dimatanya. Ia tersihir oleh bagaimana wanita di sampingnya ini menghibur sang murid.

"Chan," panggil Nara. "Lee Chan, kau melamun?"

"Eoh, tidak," jawab Chan. Ia membuang pandangannya ke depan dan mulai menghidupkan mesin mobil. "Kita mau berbelanja dimana?"

Nara menoleh takjub ke arah Chan. "Darimana kau tahu kebiasaanku berbelanja sehabis bekerja?"

Chan melirik Nara, ia mengulum senyumnya. "Sihir."

Nara mencebikkan bibirnya mendengar jawaban asal Chan. "Ke supermarket di dekat apartemen saja," katanya menjawab pertanyaan Chan.

"Okay," jawab Chan. 

Selama perjalanan, keheningan kembali menyelimuti keduanya. Chan bahkan tidak tahu apakah noona di sampingnya sudah tidak marah akibat ulahnya tadi pagi. Ia melirik ke arah Nara. Wanita itu sedang sibuk dengan ponselnya. Sepertinya suasana hatinya sedang senang, Chan melihat beberapa kali Nara tersenyum sembari memandangi layar benda berbentuk persegi panjang itu.

"Ada yang lucu Noona?" tanya Chan memberanikan diri.

Nara menghentikan tawanya. Ia menoleh ke arah Chan yang berfokus menyetir mobil. "Entah mengapa aku senang sekali melihat video anjing lucu akhir-akhir ini."

"Anjing jenis apa?" tanya Chan berusaha membuat dirinya larut dengan percakapan.

"Golden retriever!" jawab Nara.

Chan mengulum senyum. Ia jarang menemukan situasi dimana Nara bisa dengan cantiknya tersenyum seperti tadi. Nara memang jarang menunjukkan afek senang dan excited berlebihan. Wanita itu selalu bisa mengontrol roman wajah. Terkesan kaku dan dingin, bisa dibilang.

"Mau memeliharanya?" tanya Chan.

Nara menoleh ke arah Chan dengan pandangan berbinar-binar. Sudah lama ia ingin memelihara salah satu makhluk kecil yang menurutnya sangat menggemaskan itu. Namun seketika, raut wajahnya kembali menggelap. Bagaimana mungkin ia bisa memelihara kehidupan lain jika kehidupannya sendiri saja sudah rumit?

"Sepertinya tidak bisa," Nara menunduk. "Aku tidak punya waktu untuk mengurusnya, apalagi jika bayi ini lahir. Pasti akan sangat melelahkan."

Mendengar nada bicara Nara yang cepat berubah, Chan teringat dengan pelajaran privatnya dengan Hyesung tadi. Mood ibu hamil memang tidak bisa diprediksi.

"Kapan-kapan akan aku bawa anjing milikku dari Iksan ke Seoul," ucap Chan menanggapi. Ucapan pria itu terhenti ketika ia teringat dengan probabilitas infeksi kuman yang dibawa oleh hewan peliharaan seperti anjing dan kucing akan meningkatkan resiko pada kandungan. "Tapi setelah si kembar lahir, ya," lanjutnya.

Nara mengangguk semangat. Wanita itu kembali melihat video tayangan aksi anak anjing yang menurutnya menggemaskan. Tidak ada pembicaraan yang berlanjut namun suara tawa kecil Nara memenuhi atmosfer di dalam mobil. Chan menikmatinya. Suasana menjadi hangat dan menyenangkan, sudah tidak kaku seperti tadi.

Tak lama kemudian mereka berdua sampai di tempat tujuan. Chan memarkirkan mobilnya dengan handal. Tanpa menunggu Chan yang sibuk mencari topi sebagai alat perlindungan, Nara berlalu masuk ke dalam supermarket terlebih dahulu.

"Biar aku saja yang mendorongnya," ucap Chan sembari mengambil alih kereta belanja dari tangan Nara.

Nara mengangguk. Wanita itu menoleh ke kanan dan kiri mencari barang apa saja yang dibutuhkannya. Sesekali Nara melihat list belanjaan yang sudah dibuatnya terlebih dahulu. Berbeda dengan sang istri, sembari mendorong troli mulut Chan berkomat-kamit menghafalkan bahan makanan yang mengandung banyak nutrisi bagi kesehatan janin.

Tanpa kompromi dengan Nara, tangan Chan mengambil berbagai jenis bahan makanan mentah dan memasukkannya ke kereta belanja. Mulai dari salmon, daging, telur ayam, hingga sayur dan berbagai macam buah.

"Kau... belanja sebanyak ini?" tanya Nara heran.

Chan menoleh. Sembari menggaruk belakang kepalanya, ia tertawa kikuk. "Seventeen akan sibuk selama beberapa waktu kedepan. Aku tidak yakin bisa menemani Noona belanja. Ini semua cukup untuk satu minggu, kan?" tanya Chan memastikan.

Nara terhenyak. Ia tidak menyangka pria itu memikirkan dirinya. Nara pikir Chan tidak mau ikut repot mengurus kehamilannya.

"Tidak perlu repot-repot, aku bisa belanja sendiri," tolak Nara.

Chan mencegah tangan Nara yang terulur untuk mengembalikan sayur brokoli yang diambil Chan tadi. "Biarkan aku menolong Noona. Kegiatan Noona sudah cukup padat, kalau ada waktu luang dipakai saja untuk istirahat. Lagipula kalau Noona belanja sendiri, tidak ada yang bantu mengangkat barang."

"Tapi... ini semua...."

"Biarkan aku yang beli ya. Lagipula aku akan menumpang tinggal di apartemen Noona," ucap Chan memotong kalimat penolakan Nara. Akhirnya wanita itu luluh. Ia mengangguk walaupun masih terlihat ragu-ragu.

Chan meringis. Ia merasa senang karena berhasil memenangkan perdebatan kecil itu. Untung saja, noona-nya itu tidak melancarkan serangan ngambek. Jujur saja, andaikan hal itu terjadi, Chan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia minim pengalaman berkencan.

"Nah," Chan menghentikan troli belanjaannya. Ia menoleh ke arah Nara. "Sekarang Noona pilih susu yang biasa diminum."

Kini keduanya berada di deretan rak yang menampilkan berbagai pilihan susu bagi ibu hamil. Nara mengambil satu kotak susu bubuk rasa cokelat dan memasukkannya ke dalam keranjang belanjaan tanpa banyak bicara. Ia baru sadar. Kegiatan belanjanya siang ini berbeda dari biasa. Terasa hal yang lumrah dilakukan pasangan pada umumnya. Wajah Nara memerah. Chan dan dirinya kan memang berstatus suami-istri, walaupun itu semua terasa bohong.

"Ah, jadi merek ini," ucap Chan sembari membaca baik-baik tulisan pada kemasan susu yang diambil Nara. "Aku akan mengingatnya dengan baik."

Nara melengos tanpa banyak bicara, meninggalkan Chan di belakangnya. Wanita itu tidak mau pria yang sudah ia anggap sebagai adik kecilnya dapat membaca pikiran aneh yang sempat mampir di pikirannya tadi. Bayangan yang memalukan.

[SVT FF Series] Unpredictable Unconditional LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang