Chan duduk dengan gugup di salah satu kursi yang telah tertata rapi. Kakinya menghentak-hentak lantai, menimbulkan suara kecil yang menunjukkan kegugupannya saat ini. Pria itu mengusap rambutnya ke belakang sembari menarik napas panjang dari hidung. Jadi ini rasa nano-nano yang diceritakan Jeonghan hyung saat melamar Nari noona dulu.
Chan sudah menyiapkan rencana ini dari jauh hari. Hari ini adalah hari ulang tahun Nara. Dulu, saat masa-masa Bora masih menjadi trainee, Chan sering merayakan ulangtahun saudara kembar itu bersama. Namun semenjak Bora debut, gadis itu selalu merayakannya bersama anggota girlgroup-nya. Bukan berarti melupakan saudara kembarnya, hal itu sudah menjadi bagian dari pekerjaannya karena Bora juga akan melakukan siaran dan merayakan hari bahagianya bersama para fans. Nara pun tidak keberatan. Toh, hari ulangtahun hanyalah perayaan dimana usianya resmi bertambah satu tahun baginya. Tidak ada hal spesial khusus.
Maka dari itu, Chan mengajak Nara makan malam bersamanya. Dengan alasan untuk merayakan hari kelahiran wanita itu. Chan sudah mewanti-wanti Nara dari jauh hari agar meluangkan waktunya tidak untuk mengajar hari ini. Awalnya Nara menolak. Ia masih terlihat tidak nyaman untuk bepergian ke tempat umum bersama Chan. Apalagi untuk makan malam berdua. Namun Chan berhasil membujuk wanita itu walaupun harus dengan syarat bahwa mereka berdua tidak berangkat bersama. Nara ingin pergi sendiri.
Alhasil, disinilah Chan sekarang. Menunggu kedatangan sang istri dengan gugup. Ia berdoa semoga Nara tidak mencium maksud terselubungnya. Merayakan ulang tahun sekaligus menyiapkan acara lamaran.
Untuk menghilangkan kegugupannya, Chan sekali lagi berdiri untuk memastikan bahwa semua hal sudah siap sesuai kemauannya. Ia sudah merencanakan candle light dinner manis yang diadakan di roof top sebuah cafe. Chan bahkan menyewa rooftop itu untuk dirinya seorang. Ia memeriksa mulai dari kursi, bouquet bunga, hingga tatanan piring agar sempurna. Masih belum puas, Chan kembali berjalan menuju dapur dan menghampiri pelayan untuk memastikan bahwa kejutan cincin di dalam kue ulangtahun Nara sudah disiapkan dengan baik.
Pria itu memandangi jam di layar ponselnya. Sudah lewat hampir setengah jam dari waktu perjanjian namun belum ada kabar dari Nara. Chan mengernyitkan dahinya. Tidak biasanya Nara terlambat selama itu. Ia adalah orang yang disiplin terhadap waktu. Andaikan terpaksa harus terlambat pun, Nara pasti akan memberitahunya terlebih dahulu.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Ponsel Chan bergetar menandakan ada telepon masuk. Senyum Chan merekah begitu melihat caller id yang terpampang. Ia segera menggeser tombol hijau untuk mengangkat telepon dari Nara.
"Halo, Noona kau dimana?" sapa Chan begitu membuka percakapan.
Senyumnya perlahan-lahan menghilang seiring jawaban orang diseberang sana. Raut gugup yang sedari tadi menghiasi wajahnya kini berganti menjadi raut cemas ketakutan. Wajah Chan memucat, ia bahkan tanpa sadar menahan napas begitu berita buruk itu menerpa telinganya.
"Apa...," suara Chan terhenti. Ia tercekat hingga tidak bisa memilih kata-kata yang tepat. "Dimana dia sekarang? Di rumah sakit mana?" burunya lagi.
Tanpa pikir panjang, Chan meraih jas miliknya yang tersampir di sandaran kursi. Ia bergegas menuruni tangga dan melesat langsung masuk ke dalam mobilnya. Chan tidak menghiraukan panggilan pelayan yang berusaha menghentikan langkahnya keluar gedung. Ada hal yang lebih penting saat ini.
Nara dalam bahaya. Tiga nyawa dalam bahaya.
---
Chan berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi. Ia kemudian duduk. Kedua tangannya mengusap wajahnya secara kasar berkali-kali. Tak tahan dengan kegusaran hatinya, pria itu kembali berdiri dan melangkah bolak-balik, berharap pintu di depannya terbuka dan seorang dokter keluar sembari mengatakan bahwa Nara baik-baik saja.
"Chan!" panggil Hyesung yang baru tiba di sana.
Kepala Chan menoleh ke arah sumber suara. Ia menghela napas lega begitu melihat Hyesung dan Jihoon telah tiba disana. Begitu mendapat telepon dari orang yang tidak dikenal, Chan memang langsung mengendarai mobilnya gila-gilaan menuju rumah sakit dimana Nara berada. Kalut dan tidak bisa berpikir jernih, Chan tanpa sadar menekan nomor telepon Hyesung dan meminta bantuannya. Ia bahkan tidak memikirkan bahwa noona-nya itu sedang memiliki jadwal kencan sendiri dengan Jihoon. Alhasil, Hyesung bergegas pergi ke rumah sakit dengan membawa Jihoon turut serta.
"Noona, hyung," sapa Chan. Ada sedikit raut lega di wajahnya. Chan tidak mampu menahan air matanya ketika Jihoon tiba-tiba memberikan sebuah pelukan.
"Tenanglah, Chan," ucap Hyesung sembari mengelus punggung Chan. "Ayo kita duduk dulu. Jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi."
Hyesung dan Jihoon duduk mengapit Chan yang masih terisak di kanan-kiri. Hyesung memberikan tepukan-tepukan ringan di bahu pria yang sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri tanpa banyak bicara. Jihoon memilih diam. Ia tidak biasa menenangkan orang. Namun, siapapun yang melihatnya tahu bahwa Jihoon ikut khawatir melihat Chan yang menangis tersengal-sengal seperti sekarang.
Setelah kurang lebih menunggu sepuluh menit, tangis Chan akhirnya reda. Hyesung mengangsurkan botol air mineral yang selalu ada di dalam tasnya pada Chan. Gadis itu memaklumi. Sedari tadi pasti Chan menahan semuanya seorang diri, begitu melihat orang-orang yang familiar dengannya barulah pria itu bisa melepaskan semuanya. Ketakutannya diekspresikan dalam bentuk tangisan.
"Kau mau minum lagi?" tawar Hyesung. Chan menggeleng. Untuk saat seperti sekarang, Jihoon tidak bisa cemburu dengan perlakuan manis yang diberikan kekasihnya pada maknae Seventeen itu.
"Sudah cukup, Noona," jawab Chan. Pria itu melap jejak-jejak tangisan di wajahnya dengan tissue yang disodorkan Hyesung. "Terima kasih kalian sudah datang kemari. Aku bingung sekaligus takut."
Hyesung dan Jihoon saling bertukar pandang. Jihoon akhirnya angkat bicara setelah sekian lama hanya terdiam. "Jangan sungkan untuk meminta bantuan kami. Sekarang kau sudah lebih tenang untuk menceritakan semuanya?"
Chan memain-mainkan jemarinya di pangkuan. "Aku mendapat telepon dari Nara noona saat sedang menunggunya untuk makan malam bersamaku. Aku sempat terkejut karena suara yang kudengar bukanlah suara yang kukenal. Kemudian orang itu mengatakan bahwa noona pingsan di halte saat sedang menunggu bus. Karena tahu noona sedang mengandung, ia langsung meminta bantuan ke rumah sakit. Saat sedang menunggu ambulans datang, tiba-tiba saja noona kejang. Begitu sampai di rumah sakit, dokter menyarankan untuk segera mengoperasi noona, kalau tidak nyawanya maupun nyawa anak kami terancam."
Tanpa kentara Hyesung menarik napas panjang sembari memejamkan kedua matanya. Ia tahu betul bahaya yang sedang menghantui istri Chan itu. Apa yang dikatakan oleh dokter memang benar. Nyawa Nara maupun si kembar terancam tidak bisa diselamatkan. Hyesung sendiri bingung bagaimana harus memberikan penjelasan pada Chan. Kesempatan untuk ketiganya selamat sangat kecil. Ia hanya bisa berdoa.
"Noona," panggil Chan. Pria itu meraih tangan kanan Hyesung dan memberikan tatapan memohon pada wanita itu. "Bisakah Noona menolongku? Apakah Noona bisa masuk kesana dan memastikan bahwa semuanya baik-baik saja? Tolong katakan pada dokternya untuk menyelamatkan mereka bertiga. Aku belum mengucapkan perasaanku pada Nara Noona, aku belum menebus kesalahan yang pernah kuperbuat pada si kembar. Noona, tolong aku."
Kedua mata Hyesung ikut berkaca-kaca ketika Chan kembali meneteskan airmatanya. Hyesung balik menggenggam tangan Chan erat. Ia merasa sedih karena tahu bahwa saat ini ia pun tidak bisa melakukan apa-apa, sama seperti pria itu.
"Chan, mari kita berdoa bersama. Hanya Tuhan yang bisa memberikan bantuan untuk kita saat ini," ucap Hyesung pada akhirnya.
Chan kembali menunduk. Ia menumpukan kepalanya dengan kedua tangan, berusaha menutupi wajah dengan telapak tangan. Kini ia membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan. Entah sudah berapa banyak air mata yang pria itu keluarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SVT FF Series] Unpredictable Unconditional Love
Romansa[COMPLETE][SVT FF Series] --- Melanjutkan karir atau membangun keluarga? Jika Chan diberikan pertanyaan itu, tanpa pikir panjang ia akan memilih jawaban pertama. Pikiran idealisnya memang begitu. Namun keadaan tidak bisa berkompromi. Di usianya yan...