Chan menutup pintu di belakang punggungnya dengan hati-hati. Lampu ruang tengah sudah mati, hanya tersisa lampu di ruang makan yang memang sengaja dinyalakan jika malam hari. Chan berjalan mengendap-endap, takut langkah kakinya dapat membangunkan orang-orang rumah. Pria itu melepas jaket dan meletakkannya di sandaran sofa ruang tv. Ia membaringkan tubuhnya yang lelah ke atas sofa. Sebelah tangannya ia gunakan untuk menutupi mata, menghalau sinar yang berhasil memasuki kedua matanya.
Berkat ucapan ngawur Jeonghan tadi, Chan kini jadi enggan untuk masuk ke dalam kamar yang biasa ia pakai berbagi dengan Nara. Dirinya takut akan membayangkan hal yang tidak-tidak jika melihat wajah tidur wanita itu. Ugh, Chan merasa dirinya makin menjadi pria yang brengsek. Sejak kapan "hal seperti itu" mampu mengusik kehidupannya? Padahal sejauh ini tidur seranjang pun sudah bukan masalah lagi bagi mereka berdua.
"Chan."
Tuh kan. Masa iya sekarang dirinya sedang berhalusinasi Nara memanggil namanya dengan lembut.
"Chan, bangun. Jangan tidur disini. Badanmu bisa sakit semua."
Sekarang tidak hanya suaranya saja, Chan juga merasakan sentuhan lembut di tangannya. Hati Chan berdegup kencang. Sejak kapan dirinya memiliki fantasi mengerikan seperti ini?
"Susah sekali dibangunkan, sepertinya dia lelah sekali."
Chan mengernyitkan dahi. Ia kemudian tersadar. Itu bukan hanya bayangannya saja! Pria itu segera terbangun dari posisi tidurnya.
"Ya! Kau membuatku kaget!" pekik Nara terkejut sembari menjauhkan diri dari Chan.
Chan hanya meringis. "Noona belum tidur?" tanyanya. Matanya menyipit, berusaha menyesuaikan dengan kadar cahaya yang masuk.
"Aku terbangun karena haus," jawab Nara. Ia bangkit berdiri dan berlalu menuju dapur. "Mengapa kau tidak langsung tidur di kamar seperti biasanya?"
"Aku hanya terlalu lelah dan ingin bersantai di ruang terbuka sejenak," bohong Chan. Pria itu berdiri dan memilih duduk di kursi meja makan. "Noona cari apa lagi?" tanya Chan ketika melihat Nara yang sibuk membuka-buka lemari makan.
Nara menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh ke arah Chan dan menunjukkan cengiran polosnya.
"Aku lapar."
Chan melebarkan matanya. Sekarang sudah pukul satu malam! Pria itu buru-buru mengkoreksi raut wajahnya. Ia tidak mau Nara merasa terintimidasi. Toh, wanita itu pasti akan berkilah bahwa yang lapar adalah si kembar, bukan dirinya.
"Apa ada makanan?" Kini Chan berdiri ikut mencari di dalam kulkas.
"Aku mau sup rumput laut," pinta Nara tiba-tiba.
Tangan Chan berhenti dan melayang di udara. Mana ada toko yang masih buka malam-malam begini?
"Noona benar-benar mau?" Nara mengangguk menjawab pertanyaan Chan.
"Bisa ditahan sampai besok pagi?" kali ini Nara menjawab dengan gelengan kepala.
"Rencananya aku mau masak sendiri, tapi bahannya tidak ada," keluh Nara. "Jam segini pun toko yang menjual rumput laut pasti tidak ada."
Oh my! Apakah ini yang dinamakan ngidam? batin Chan. Sejauh ini Nara tidak pernah meminta hal aneh-aneh. Bahkan tidak ada preferensi khusus dalam hal makanan. Chan maupun Bora yang tinggal bersamanya tidak pernah dibuat repot dalam memenuhi kebutuhan si ibu hamil.
"Kalau begitu besok pagi saja, Noona," usul Chan.
Nara memajukan bibirnya. Hal yang sangat jarang dilakukan Nara jika merajuk. Saat sedang kesal pun, wanita itu lebih memilih diam dibandingkan menunjukkan raut wajah seperti itu. Ini hal yang sangat baru bagi Chan. Entah dalam artian baik atau buruk.
"Okay, okay," Chan menyerah. Ia menarik ponsel dari saku celananya dan tampak sibuk menekan beberapa tombol. Ia kemudian menempelkan benda itu ke sebelah telinganya.
Nara menatap heran ke arah Chan. Ia tidak tahu pria itu menelepon siapa. Dalam diam, Nara hanya mengamati dan mencuri dengar percakapan Chan dengan sang lawan bicara.
"Ah, Hyung. Akhirnya kau angkat juga," seru Chan ketika panggilannya terjawab. "Kau sudah tidur? Maaf mengganggu. Tapi ini panggilan penting Hyung, jangan ditutup dulu!" cegah Chan.
Chan tampak melirik ke arah Nara sebelum melanjutkan kalimatnya. "Hyung, di asrama masih ada rumput laut yang kemarin belum jadi kita masak untuk ulang tahun Jihoon Hyung, kan?" Chan diam. Ia tampak serius menunggu jawaban hyung-nya diseberang sana yang sedang sibuk membongkar kulkas dengan mata setengah menutup.
"Syukurlah," ucap Chan lega ketika sang lawan bicara menjawab. "Ah, sebenarnya... Kakak iparmu yang mencarinya," jawab Chan sambil melirik Nara yang masih menatapnya penuh rasa ingin tahu. "Ya. Sepertinya ini yang disebut ngidam."
"Siapa?" tanya Nara akhirnya ketika menyadari dirinya dibawa-bawa dalam percakapan itu.
"Mingyu Hyung," jawab Chan pada Nara. "Ah, iya Hyung. Nara Noona terbangun tengah malam dan bilang ingin makan sup rumput laut."
"Aku mau sup rumput laut buatan Mingyu!" seru Nara tiba-tiba.
"Apa?!" baik Chan maupun Mingyu diseberang sana sama-sama memekik tercengang.
Nara lagi-lagi mengerucutkan bibirnya. Pipinya yang kini sudah makin berisi makin membuatnya terlihat imut. Namun keimutan itu justru membuat Chan takut. Takut si bumil marah dan ngambek padanya karena keinginan yang tak terpenuhi.
"Ah, baik-baik," ucap Chan meralat nada bicaranya, berusaha membujuk Nara. "Hyung, kau dengar sendiri kan? Bisakah kau bawa bahan-bahannya dan datang kemari?" Chan melirik ke arah Nara yang kini sudah berjalan menjauh dan memilih duduk di sofa ruang tengah dengan kedua tangan terlipat di dada. "Hyung, please! Bantu aku untuk kali ini. Jarang-jarang Nara noona merajuk manja minta makan seperti ini padaku."
Wajah Chan berbinar ketika mendengar jawaban Mingyu yang bersedia datang tengah malam untuk memasak. Ia memutuskan sambungan telepon dan berjalan menghampiri Nara. Tidak baik terlalu lama membiarkan mood jelek ibu hamil.
---
Nara duduk manis dengan sumpit di tangan kanannya. Di hadapannya sudah terhidang semangkuk nasi putih dengan kacang merah di atasnya. Wanita itu menunggu menu utama yang ditunggu-tunggunya matang.
Chan menarik kursi di sebelah Nara persis dan memilih duduk. Tak lama kemudian Mingyu datang dengan pot panas di tangannya yang berisi sup rumput laut. Berbeda dengan raut wajah Mingyu dan Chan yang tampak lelah dan mengantuk, wajah Nara sangat berseri ketika melihat menu makanan itu terhidang di hadapannya masih dengan uap yang mengepul dan membawa aroma harum ke indra penciuman. Makin menggugah nafsu makan.
"Kalian tidak makan juga?" tanya Nara ketika sadar bahwa hanya dirinya yang memegang sumpit.
Mingyu menguap. "Rasa ngantukku mengalahkan rasa lapar. Kau saja yang makan."
Nara menoleh ke samping dan menatap Chan dengan tatapan memelas. "Jadi aku makan sendirian?"
Chan menatap Mingyu yang duduk di seberangnya dengan tatapan meminta bantuan. Tapi hyung-nya itu terlalu mengantuk untuk menangkap sinyal SOS darinya. Akhirnya dengan terpaksa, Chan bangkit dari duduknya dan berjalan mengambil semangkuk nasi untuk dirinya sendiri. Melihat hal itu, Nara kembali semangat.
"Kalau begitu, selamat makan untuk kalian berdua," kata Mingyu. Ia merentangkan keduatangannya ke atas kepala. "Aku mau tidur. Kamar Bora yang mana?"
"Kau mau tidur sekamar bersama adikku?" tanya Nara kaget.
"Kau tidur di sofa saja Hyung," timpal Chan cepat.
Mingyu menatap keduanya bergantian dengan bingung. "Aku hanya bertanya. Jangan panik begitu. Lagipula aku tidak akan melakukan hal bodoh sepertimu, Chan."
Chan melirik Nara yang duduk di sampingnya. Ia merutuk dalam hati. Raut wajah wanita itu kini kembali mendung. Pasti Nara jadi berpikir hal yang tidak menyenangkan ketika mendengar ucapan asal keluar dari mulut Mingyu tadi.
Sialan kau Kim Mingyu! Maki Chan dalam hati sambil mengusap wajahnya dengan sebelah tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SVT FF Series] Unpredictable Unconditional Love
Romance[COMPLETE][SVT FF Series] --- Melanjutkan karir atau membangun keluarga? Jika Chan diberikan pertanyaan itu, tanpa pikir panjang ia akan memilih jawaban pertama. Pikiran idealisnya memang begitu. Namun keadaan tidak bisa berkompromi. Di usianya yan...