"Bagaimana tidurmu? Nyenyak?" sapa Nara begitu melihat Chan berjalan menghampirinya dengan langkah terseok.
Chan tersenyum. "Lumayan."
Bohong. Dirinya masih ingin tidur lebih lama lagi. Setelah acara "menuruti ngidam Nara" selesai, Chan mau tak mau harus tidur di dalam kamar bersama wanita itu karena sofa di ruang tengah sudah disabotase Mingyu. Alhasil, bukannya tertidur, ia malah asyik memandangi wajah Nara yang entah mengapa terlihat semakin cantik seiring bertambahnya usia kehamilan.
"Sepertinya tidak begitu," timpal Nara sambil terkekeh. "Lihatlah wajahmu. Kantung matamu sangat besar."
"Ugh," keluh Chan ketika melihat bayangan dirinya di sebuah cermin gantung dekat sana. "Kalau begitu, kenapa Noona bisa bangun sepagi ini? Semalam kan baru tidur lagi pukul tiga."
"Jam biologis. Walaupun hari libur, aku tetap bangun pagi seperti ini, kan?" Chan mengangguk. Ia baru sadar bahwa sekarang pun hari Sabtu.
"Ada yang bisa kubantu, Noona?" tanya Chan lagi ketika melihat Nara kini sibuk menghancurkan tahu di dalam mangkuk besar.
"Ah, kau pasti bisa melakukan ini," ucap Nara sambil menyerahkan mangkuk itu pada Chan. "Hancurkan sampai halus ya, Chan."
Chan mengangguk patuh. Ia mengambil alih pekerjaan itu dari tangan Nara. Wanita itu sendiri kini sibuk mengolah berbagai macam bahan lainnya.
"Noona mau masak berapa banyak?" tanya Chan.
Nara tertawa kecil ketika menyadari bahwa dirinya memasak lebih banyak jenis makanan daripada hari biasanya. "Anggap saja ini sebagai ucapan rasa terima kasihku karena Mingyu mau repot-repot datang kemari tengah malam demi memasak untukku. Setelah kupikir-pikir, sepertinya semalam aku sangat merepotkan kalian berdua. Maaf ya."
"Tidak kok, Noona," bantah Chan cepat. "Sudah seharusnya aku memenuhi permintaan itu. Lagipula itu si kembar yang mau kan?"
Kedua pipi Nara sukses memerah mendengar ucapan Chan. Pria itu berusaha mengulum senyum, pura-pura tidak melihatnya. Chan bangga dapat membuat wanita itu berseri malu. Nara terlihat cantik dan imut di saat yang bersamaan.
Pintu kamar Bora mengayun terbuka. Gadis itu keluar dari kamar, diikuti dengan Mingyu dari balik punggungnya.
"Apa yang baru kalian lakukan?" Sergap Chan begitu melihat keduanya datang bersamaan. Berkat pertanyaan setengah menghakimi itu, Nara jadi ikut menoleh ke arah mana Chan melihat.
"Aku terbangun pukul lima karena mau ke kamar mandi dan terkejut melihat Mingyu tertidur di sofa. Kau ini keterlaluan Chan. Dia kan tinggi. Kakinya sampai menggantung begitu jika tidur di sofa, jadi aku biarkan dia memakai kasurku," balas Bora dengan berani.
"Aku tidak melakukan hal aneh kok. Lagipula selama aku tidur, Bora sibuk sendiri dengan laptopnya. Aku terlalu ngantuk bahkan untuk sekadar mengobrol dengannya," kali ini Mingyu menimpali.
Chan menatap Mingyu dan Bora bergantian dengan tatapan curiga. Nara menepuk pundak Chan pelan, hal itu berhasil menarik perhatian Chan.
"Biarkan saja, mereka berdua sudah dewasa," ucap Nara menenangkan. "Mingyu-ya cuci dulu wajahmu. Ayo kita siap-siap sarapan bersama."
---
"Kau kenapa?" tanya Bora khawatir ketika melihat saudara kembarnya sudah meletakkan sumpit di atas meja padahal belum ada setengah mangkuk makanannya habis.
"Aku kenyang," jawab Nara singkat.
Nafsu makan Nara yang akhir-akhir ini meningkat membuatnya tidak mungkin tidak menghabiskan satu porsi makannya sehari-hari. Namun entah mengapa perasaannya sedang tidak mood untuk makan. Hal itu ia rasakan setelah melihat sikap protektif Chan pada Bora hingga kini pun masih ia rasakan.
Chan memang dekat dengan Bora. Tinggal bersama di bawah satu atap membuat Nara sering melihat interaksi keduanya. Selama ini ia tidak terganggu karena toh mereka berdua memang sudah terkenal akrab sedari dulu. Namun, begitu melihat sikap Chan yang "seperti cemburu" dengan kehadiran Mingyu disana, entah mengapa membuat perasaan Nara sesak. Ia melupakan fakta bahwa pria yang berstatus sebagai suaminya itu menyukai saudara kembarnya sendiri.
"Chan, suapi istrimu. Pasti Nara akan mau," suruh Mingyu asal.
Tatapan mata Chan bertemu dengan milik Nara. "Mau kusuapi, Noona?"
Nara tersenyum kecil sembari menggeleng. Semakin hari Chan bertingkah semakin manis padanya. Pria itu juga ikut repot dalam mengurus kehamilannya. Mungkin karena itu jugalah Nara jadi lebih sering tersipu dan tanpa sadar mulai nyaman dengan perhatian yang diberikan Chan. Ia jadi egois ingin memiliki semua perhatian itu untuk dirinya sendiri, tidak ingin dibagi dengan orang lain.
"Kalian lanjutkan saja dulu sarapannya, ada beberapa hal yang harus aku urus," ucap Nara. Wanita itu berdiri dari duduknya dan berlalu ke kamar. Meninggalkan Chan, Mingyu, dan Bora yang hanya bisa saling pandang dengan tatapan tidak mengerti.
"Kalian harus tahu," ucap Bora membuka percakapan. "Saudaraku itu jarang sekali menunjukkan isi hatinya secara terang-terangan. Tapi semenjak Chan tinggal disini, ia lebih sering terlihat tertawa dan tersenyum. Kalaupun sedang kesal pun, ia akan menunjukkan kekesalannya dengan cemberut. Dulu dia hanya akan diam dan berpura-pura semuanya baik-baik saja. Sampai akhirnya malah menangis sendirian di kamar."
"Berarti Chan membawa perubahan yang baik," timpal Mingyu sambil memandangi si dongsaeng yang duduk di sebelahnya. "Kalau begitu, tadi itu apa? Nara kembali pada kebiasaan buruknya? Memendam semuanya sendiri?"
Bora mengangkat bahunya. "Sepertinya begitu. Chan cepat susul dia."
"Kenapa aku?" tanya Chan sambil menunjuk dirinya sendiri.
Mingyu menjitak kepala Chan, membuat pria itu mengaduh kesakitan. "Karena itu tugasmu. Sana cepat lakukan!"
Chan menggerutu. Namun pria itu tetap bangkit juga. Ia menyambar segelas susu milik Nara yang belum tersentuh sama sekali dan berjalan membawanya menuju kamar.
Kali ini Mingyu dan Bora saling berpandangan penuh arti. Keduanya tersenyum, merasa senang dan menang karena Chan tidak terlalu banyak protes dan langsung melakukan apa yang mereka suruh.
"Kalau di asrama Chan bahkan tidak akan mau menyentuh dapur sama sekali walaupun kupaksa untuk membantu memasak," ucap Mingyu. Ia mencomot satu potong dadar gulung dan meletakkan di atas nasinya. "Aku bahkan kaget ketika bangun tidur tadi melihat Chan sedang membantu Nara memasak. Kau lihat? Bahkan dia membawakan Nara susu tanpa perlu kita suruh."
"Kurasa dia sudah mulai belajar menjadi suami yang baik," timpal Bora sambil terkekeh. "Yah, walaupun aku belum seratus persen benar-benar mempercayainya untuk mengurus Nara seorang diri."
Mingyu mendapati Bora yang menghela napas panjang. "Bagaimana dengan kantor Nara dan orang tua kalian?"
"Yah, atasan Nara menerima kondisinya. Untunglah pernikahan mereka sudah didaftarkan. Jadi Nara bisa menunjukkan bukti pernikahan dan tetap diperbolehkan mengajar di tempatnya bekerja sekarang," jawab Bora. "Kalau urusan dengan Appa dan Eomma, aku masih belum yakin. Walaupun mereka sudah kenal Chan karena sama-sama berasal dari Iksan, tetap saja mereka pasti tidak bisa langsung menerima pernikahan dan kehamilan yang disembunyikan ini."
Kali ini Mingyu yang menghela napas panjang. "Aku juga tidak tahu sampai kapan semua ini bertahan tanpa ketahuan pihak agensi dan publik. Nara orang yang kuat, aku tahu dia bisa melaluinya. Namun andaikan berita ini bocor, pasti publik akan menyerang saudaramu itu tanpa ampun."
"Kuharap itu tidak terjadi," doa Bora. Mingyu mengaminkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SVT FF Series] Unpredictable Unconditional Love
Romantizm[COMPLETE][SVT FF Series] --- Melanjutkan karir atau membangun keluarga? Jika Chan diberikan pertanyaan itu, tanpa pikir panjang ia akan memilih jawaban pertama. Pikiran idealisnya memang begitu. Namun keadaan tidak bisa berkompromi. Di usianya yan...