Kini tinggal Chan, Taeyong, dan Taeyun menemani Nara disana. Mingyu dan Bora sudah pulang. Sedangkan Hyesung dan Jihoon memilih menunggu di kafetaria. Suasana yang awalnya ramai karena ada suara berisik Bora dan Mingyu, kini hanya ada bunyi peralatan medis yang mengisi ruangan itu.
"Sayang, aku datang bersama Taeyong dan Taeyun," ucap Chan. "Maaf aku memberi mereka nama tanpa meminta persetujuanmu terlebih dahulu. Untuk anak kita berikutnya, aku memberi kesempatan padamu untuk memberi nama. Makanya kau harus segera bangun ya."
"Aku tinggal punya waktu libur seminggu lagi," ucap Chan sembari menghela napas panjang. Ia memilin-milin ujung baju Taeyun. "Aku belum menemukan baby sitter yang tepat untuk mengurus anak kita. Kalau begini terus, bisa-bisa Taeyong dan Taeyun terpaksa harus tinggal di Iksan bersama kakek-neneknya. Sayang, aku membutuhkanmu disini."
Chan menyandarkan kepalanya pada pagar pembatas. Ia mengusap pelan tangan Nara penuh kasih sayang. "Ayah dan ibumu masih belum menerima kehadiran si kembar. Tapi aku akan berusaha agar Taeyong dan Taeyun dapat merasakan kasih sayang mereka. Bora juga ikut membantu. Beruntung sekali anak-anak kita mendapat banyak cinta dari paman dan bibinya. Kau juga harus semangat karena kami semua menunggumu disini."
Taeyong menggeliat tak nyaman dalam tidurnya. Bayi itu mulai terisak kecil. Chan buru-buru berjalan mengitari tempat tidur hingga tiba di sisi kanan Nara dan mengangkat Taeyong masuk dalam gendongannya. Ia menimangnya sembari bergumam pelan.
"Anak manis jangan menangis," kata Chan berusaha menenangkan. Keningnya berkerut karena mencium sesuatu dari arah popok Taeyong. "Ah, ternyata kau buang air besar. Kau harus ganti popok. Sebentar ya, Appa akan membersihkanmu," Chan berbicara sendiri pada Taeyong.
Pria itu meletakkan tubuh mungil Taeyong di atas sofa. Ia terlihat kebingungan mencari tas isi peralatan bayi yang telah disiapkannya dari rumah. Begitu menemukannya, ia segera bergegas kembali menghampiri Taeyong sebelum tangisannya makin menggelegar. Belum selesai mengganti popok milik Taeyong, terdengar suara tangisan bayi kedua.
"Taeyun-ah, tunggu sebentar ya. Appa sudah mau selesai," ucap Chan sambil mengintip kearah Taeyun yang menangis dengan menendang-nendangkan kakinya ke arah Nara.
Chan menarik napas panjang. Tangannya berusaha bergerak cepat membersihkan Taeyong. Tidak mudah menjadi single parent dari dua anak. Entah karena kembar atau bagaimana, jika salah satu menangis maka saudaranya yang lain akan ikut menangis. Awalnya Chan memaklumi, mungkin masih ada ikatan batin selama berbagi tempat tidur di dalam perut ibu. Namun Chan makin tidak mengerti ketika menyadari bahwa jadwal buang air Taeyong dan Taeyun pun berdekatan. Kesibukan bisa menjadi berkali-kali lipat jika sudah begitu.
Chan membuang popok kotor Taeyong ke tempat sampah. Bayi itu kini sudah tenang. Ia hanya mengamati wajah Chan dengan mata bulatnya yang besar sembari memainkan kedua tangannya. Melihat raut wajah polos Taeyong, rasa lelah Chan sedikit terangkat. Terlebih lagi mata besar Taeyong sangat mirip dengan milik Nara.
"Nah, kau sudah bersih," ucap Chan bangga. Ia mengangkat Taeyong dan kembali menidurkannya di sisi kanan Nara.
Chan memutar ke sisi kiri. Kini ia membawa Taeyun dalam gendongannya. Tangis bayi itu sedikit mereda begitu mendengar suara sang ayah yang menenangkannya.
"Benar kan. Kau juga buang air," ucap Chan setelah mengecek kondisi popok Taeyun.
Chan menarik napas panjang. Walaupun sudah tiga minggu, dirinya masih belum terbiasa mengurusi anak-anaknya. Entah mengapa staminanya menjadi sangat berkurang. Padahal dulu ia bisa latihan dance selama lima belas jam dalam sehari.
Pria itu memilih duduk bersandar di sofa dengan Taeyun di pelukannya. Ia memilih beristirahat sebentar sebelum harus menjalankan tugasnya kembali sebagai seorang ayah. Toh Taeyun sudah tidak menangis. Ia mulai tenang dengan timangan yang diberikan Chan.
Tiba-tiba monitor yang tersambung dengan tubuh Nara berbunyi nyaring. Chan melihat angka yang menunjukkan detak jantung wanita itu meningkat dan berwarna merah. Pria itu berdiri dengan menghampiri sisi tempat tidur Nara dengan panik. Ia menekan tombol panggil suster.
Taeyong yang awalnya bermain-main dengan tenang di sisi Nara kembali terisak begitu mendengar keributan di sekitarnya. Mau tak mau Chan menggendong kedua anaknya di masing-masing tangan. Ia berusaha menenangkan diri sendiri walaupun dalam pikirannya sudah banyak hal buruk yang menghantui.
Tak lama kemudian seorang dokter dan seorang perawat datang. Mereka melakukan pemeriksaan dengan cepat. Hyesung datang dengan napas terengah-engah, diikuti Jihoon di belakangnya.
"Aku melihat ada seorang dokter yang berlari ke arah sini saat baru kembali dari makan. Ternyata benar dugaanku. Ia lari ke arah kamar Nara," ucap Hyesung begitu masuk.
Hyesung tampak bercakap-cakap sebentar dengan dokter dan perawat yang memeriksa keadaan Nara. Ia mengangguk. Tak lama kemudian ia berbalik badan dan menatap Chan yang tampak bingung dengan kedua anak di dalam dekapannya.
Dengan tangkas, Hyesung mengambil Taeyun yang merengek keras dari gendongan Chan. Pria itu terlalu terpaku hingga tidak sadar bahwa bayi-bayinya tidak nyaman. Hyesung mengedikkan dagunya, memberi sinyal agar Jihoon mengambil Taeyong dari Chan. Awalnya Jihoon menolak. Namun akhirnya ia memberanikan diri mengambil bayi mungil itu dari Chan setelah mendapat pelototan mata Hyesung. Benar. Chan bahkan tidak sadar bahwa anak-anaknya sudah tidak berada di dalam dekapannya. Matanya tetap terpaku pada Nara.
"Ayo kita keluar dulu," titah Hyesung pada Jihoon dan Chan.
"Noona...," Chan tergeragap. "Istriku... dia bagaimana?"
"Biarkan dokter memeriksanya dulu. Kita tunggu di luar, okay?" bujuk Nara.
Chan melayangkan tatapan bingung ke arah Hyesung. Jihoon turun tangan. Ia merangkul bahu Chan dengan sebelah lengannya dan mengarahkan dongsaeng-nya itu untuk keluar ruangan. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Chan menurut. Sepertinya Chan memang terlalu terkejut hingga tidak bisa berpikir jernih.
---
"Anda suami nyonya Jang Nara?" tanya dokter begitu keluar dari ruangan Nara.
Chan mengangguk dan langsung berdiri. "Saya, dokter. Bagaimana keadaannya?"
"Nyonya Jang sudah sadar," ucap dokter wanita itu sembari tersenyum. Mendengar hal itu, baik Hyesung maupun Jihoon sama-sama berdiri. "Anda sudah bisa kembali menjenguknya, namun biarkan dia banyak beristirahat untuk memulihkan kondisinya. Sejauh ini keadaannya baik-baik saja. Namun kami akan merencanakan fisioterapi. Koma selama tiga minggu membuat otot-ototnya sedikit kaku."
Chan mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan airmata bahagianya. "Lakukan yang terbaik dokter. Saya mengandalkan bantuan dokter," ucap Chan lagi.
"Kalau begitu, saya permisi dulu," ucap dokter itu sambil undur diri.
Chan langsung menghambur masuk ke dalam ruangan. Ia melihat seorang perawat sudah melepaskan alat-alat kesehatan yang terpasang untuk monitoring keadaan Nara ketika koma. Pandangannya terarah pada Nara yang masih terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Bedanya, kali ini kedua kelopak mata itu terbuka.
"Chan...," panggil Nara dengan suara lirih. Senyuman tipis terlukis di wajah pucatnya.
Chan berjalan takut-takut mendekati Nara. Ia masih tidak mempercayai panca indranya. Betulkah barusan Nara memanggil namanya? Wanita itu tersenyum padanya? Apakah semua ini nyata?
"Sayang...," ucap Chan. Ia meraih sebelah tangan Nara dan menggenggamnya penuh hati-hati. Ia takut melukai Nara. "Kau sudah bangun?"
Nara mengangguk kecil. Chan akhirnya tersadar. Ini semua nyata. Wanitanya sudah kembali. Chan tidak dapat menahan kegembiraan yang membuncah di dadanya. Ia mengecup dahi Nara lama. Airmata bahagia mengalir deras di kedua pipinya.
Hyesung dan Jihoon berdiri mengamati dari jauh. Tanpa sadar Hyesung ikut meneteskan air matanya. Gadis itu segera memalingkan wajah ke arah lain, ia tidak ingin Jihoon tahu bahwa dirinya ikut menangis. Pemandangan di depannya saat ini menggambarkan rasa cinta yang belakangan ini membuatnya skeptis dengan kehidupan romance-nya.
"Aku mau mengganti popok Taeyun dulu," kilah Hyesung. Ia berjalan menuju sofa dan mulai mengganti popok Taeyun yang terasa berat.
Jihoon menghela napas panjang. Chan sudah kembali bergabung dengan belahan jiwanya. Namun ia menyadari jalannya dengan Hyesung masih panjang. Sangat panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SVT FF Series] Unpredictable Unconditional Love
عاطفية[COMPLETE][SVT FF Series] --- Melanjutkan karir atau membangun keluarga? Jika Chan diberikan pertanyaan itu, tanpa pikir panjang ia akan memilih jawaban pertama. Pikiran idealisnya memang begitu. Namun keadaan tidak bisa berkompromi. Di usianya yan...