16. Tawaran Tidak Terduga!

809 118 83
                                    

Jangan lupa vote dan komentarnya ya!
Happy reading <3!

Jangan lupa vote dan komentarnya ya! Happy reading <3!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Halo?"

"Gimana kabarmu?"

Clarissa tidak menyangka dirinya mendapat telepon dari sang ayah. Setelah selesai latihan, Clarissa meminta izin menggunakan ponsel, sebab federasi olahraga memang menetapkan aturan ketat mengenai penggunaan benda elektronik tersebut. Pelatihnya pun sudah mewanti-wanti untuk tidak membuka sosial media, karena ditakutkan akan mengganggu fokus dan konsentrasi.

"Aku baik." Clarissa menjawab datar usai berpikir keras—masih bingung mengenai alasan ayah menghubungi. Clarissa tak dekat dengan keluarga, karenanya dia memilih meredam kesepian dengan mengasah skill badminton yang dirasa berguna untuk masa depan.

Clarissa meminta izin menggunakan ponsel untuk menelepon Andreas, bukan ayah. Clarissa berharap sambungan telepon tersebut segera berakhir. Clarissa melangkah keluar dari dining hall, hendak menyimpan peralatan badminton yang akhir-akhir ini sering menghilang lalu kembali lagi setelah beberapa hari. Clarissa bahkan sempat panik saat seleksi tanding internal beberapa waktu lalu, sebab raket andalannya tak bisa ditemukan sehingga dia terpaksa menggunakan raket cadangan.

Clarissa memilih bungkam meski mengetahui itu merupakan perbuatan teman sekamarnya—yang kalah telak di seleksi awal. Clarissa yakin jika tak ada yang mau memihaknya dan enggan memperpanjang masalah. Toh, sejak awal tidak ada pihak yang mau menindaklanjuti atau memberantas permasalahan internal antar atlet.

"Gak mau pensiun jadi atlet?"

Langkah Clarissa otomatis terhenti usai mendengar pertanyaan random dari ayah. Kedua alis Clarissa bertaut samar. Selama ini, ayahnya tak pernah benar-benar berperan sebagai ayah yang melindungi apalagi membimbing Clarissa. Merasa risi, dia menyahut, "Enggak, aku nggak akan pernah berhenti sebelum waktu—"

"Kamu oke dengan lingkungan di sana? Sampai kapan mau diam?"

Clarissa sontak menutup lemari dan mengedarkan pandang ke seluruh sudut ruangan. Dia mendongak, mencari keberadaan kamera CCTV yang mungkin dipasang oleh ayah untuk mengawasi hidupnya selama berada di pelatnas. Gila, Clarissa tak pernah menceritakan apa yang dialaminya pada orang lain, selain Andreas.

Tapi, kenapa ayah bisa tahu?

"Papa apaan, sih?"

"Pulang. Berhenti aja jadi altet." Ayah mendadak mengusulkan, atau lebih tepatnya, menekankan ide gila itu kembali. Clarissa tak habis pikir pada ayah yang seenak jidat memintanya untuk berhenti di saat Clarissa sudah bersusah payah berjuang menjadi salah satu atlet di bawah naungan PBSI sejak berada di usia belia. Bagaimana bisa Clarissa melepaskan begitu saja?

"Harta Papa ini terlampau cukup untuk membiayai kamu beserta tujuh keturunan kamu nantinya," ayahnya menegur serta menyindir. "Papa kerja keras untuk kamu, tapi kamu malah jadi atlet yang bahkan nggak dihargai oleh tim sendiri."

Get Ready With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang