"Latihan sampai di sini. Jangan lupa melakukan pendinginan dan peregangan supaya otot kalian nggak sakit semua. Sampai bertemu besok pagi!"
Clarissa menyeka peluh yang bercucuran menggunakan handuk kering usai menjalani latihan intens di pelatnas atau pemusatan latihan nasional. Perjalanan dan perjuangan Clarissa cukup berat nan panjang, merelakan masa remaja demi badminton, sebelum mencapai titik di mana dia resmi bergabung dalam PBSI.
"Sampai ketemu besok pagi!"
Para atlet sibuk mengobrol serta membereskan peralatan berlatih sebelum akhirnya mereka berbondong-bondong melangkah keluar dari gedung pelatihan. Clarissa sendirian—tak ada yang mengajaknya bicara. Kebanyakan atlet lain hanya melirik kemudian membuang muka seolah akan tertimpa kejadian buruk apabila berinteraksi dengan si perempuan.
"Ris," Rere, atlet perempuan yang sekamar dengan Clarissa, menunjuk ke arah sudut gedung menggunakan dagunya. Sudut bibir kanannya terangkat sedikit, menunjukkan kesan meremehkan sekaligus mencibir. Dia menggenggam erat bahu kanan Clarissa lalu berbisik, "Itu raket, botol minum, dan tas gue ada di sana. Bawain ya. Pundak gue pegel-pegel. Gue duluan."
Rere mendorong pundak Clarissa hingga si perempuan terhuyung ke belakang lantas melangkah pergi tanpa merasa bersalah. Rahang Clarissa mengeras, kedua tangannya terkepal kuat, dan dia memandang punggung Rere penuh kemarahan. Sayang, Clarissa tak ingin menambah masalah mengingat nama baiknya di antara para atlet telah rusak akibat rumor tidak benar.
Clarissa membereskan peralatan tanding Rere yang berserakan tak keruan di lantai. Ada beberapa atlet perempuan lain baru selesai berbenah. Mereka para atlet baru—yang diundang datang berlatih ke pelatnas karena memiliki bakat mumpuni untuk mengikuti tanding seleksi internal bulan depan—memandang Clarissa penuh iba serta tak percaya. Clarissa menunduk, berpura-pura tidak peduli di saat dia mendengar jelas pembicaraan mereka.
"Dulu aku kagum ke Ce Clarissa, karena selalu maju mewakili Indonesia di turnamen-turnamen penting seperti Uber Cup atau BWF, tapi sekarang sudah nggak lagi setelah tahu sifat aslinya."
Clarissa menelan ludah susah payah kala mencoba meredam amarah serta sakit hati yang membuncah di dada. Clarissa menghela napas panjang, bangkit berdiri, dan melangkah keluar dari gedung menuju ke asrama putri membawa banyak perlengkapan hingga kedua tangannya penuh.
Clarissa terkenal dengan penampilan jutek—terlahir dengan resting bitch face atau RBF bukanlah sesuatu yang bisa Clarissa kontrol. Clarissa membuang napas lelah ketika masuk ke kamarnya dan menemukan Rere asik-asik tiduran di atas ranjang sambil bermain ponsel.
"Eh, si juara dunia sudah datang," Rere menyambut sarkastik. Rere mendudukkan diri di sisi ranjangnya selagi mengamati Clarissa yang tengah menata perlengkapan badminton ke dalam lemari penyimpanan. Rere berceletuk, "Ris, tolong lepasin kaus kaki gue, dong, tangan gue pegel."
Clarissa melirik judes—menatap Rere menggunakan sorot menusuk kemudian menyahut, "Nggak mau, gue bukan pembantu lo," Clarissa menutup kasar lemari penyimpanan dalam kamar dan melanjutkan, "Lagipula kaki lo bau kematian. Nggak sudi gue megang kaus kaki lo apalagi sampai ngelepasin itu dari kaki lo yang bau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Ready With Me
Любовные романы"Sekonyol dan semustahil apapun mimpimu, dunia nggak akan mengalahkan selama Tuhan berkehendak. Yang menuntun langkahmu itu Tuhan, bukan manusia. Kenapa kamu sangat insecure?" *** Prista, si make up artist amatir, memiliki segudang impian. Di tengah...