6. Pengambilan Keputusan!

2.1K 342 170
                                    

Jangan lupa meninggalkan jejak berupa vote dan komentar. Terima kasih 💚.

Prista tidak suka meratapi nasib

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Prista tidak suka meratapi nasib.

Baginya, perempuan yang sejak remaja telah dipaksa dewasa, melakukan hal tersebut justru menghambat langkah seseorang untuk maju. Prista lebih suka menengadahkan kepala, menyambut masa depan, dan menyusun rencana perbaikan atas kesalahan di masa lalu. Memusingkan nasi yang sudah menjadi bubur merupakan opsi paling terakhir dalam kamusnya.

"I don't know what's your deal with Ce Maria, but I believe I got this one." Itulah dikatakan Prista pada Arsylla. Lantas, memberanikan diri bertukar kabar dengan Joanna melalui WhatsApp selama tiga hari berturut-turut. Prista menanyakan hal-hal apa saja yang diinginkan Joanna, seperti contoh make up dan model rambut.

Prinsip Prista sekarang adalah berusaha sekuat tenaga atau pulang saja. Untuk apa melewati garis start apabila tidak memberikan yang terbaik?

Andreas
Kamu ke mana? Kamarmu kosong padahal mau tak ajak sarapan sebelum aku berangkat kerja
Jangan bilang hari ini terima klien?
Instagram kamu bukannya masih rusuh? Hati" entar klienmu resek

Prista menegapkan bahu usai mengabaikan pesan masuk dari Andreas. Kakinya cukup gemetar selepas turun dari mobil driver online sembari membawa dua koper beauty case miliknya. Bagaimana tidak gemetar selepas mengetahui bahwa apartemen kediaman Joanna sungguh mewah? Gedung megah di hadapannya dikabarkan memiliki harga sewa yang sangat fantastis; ratusan juta dalam setahun. Sudah terlalu terlambat untuk mundur di saat dia sudah 'menantang' Maria—Prista enggan menjilat ludah sendiri dalam artian mengibarkan bendera kekalahan.

Baju gue sudah cukup pantas, kan? Prista berkecil hati. Merasa perempuan dari kalangan sederhana sepertinya terlihat norak di saat dia sudah cantik mengenakan polo shirt berwarna pink, celana kain berwarna biru dongker, serta flat shoes berwarna krem muda. Rambut Prista pun sudah ditata menjadi sedikit bergelombang, membuat parasnya kelihatan semakin ayu.

"Mbak Prista?" Di depan pintu lobby, ada seorang pria berusia empat puluhan berpakaian formal menghampiri Prista—Pak Yunus—orang kepercayaan ayah Joanna. Dia terlihat sudah menunggu kedatangan si perempuan. Kaki Prista melemas. Hendak basa-basi guna mengikis takut dan gugup, namun semuanya sirna usai pria tersebut mengucapkan, "Silakan ikut saya. Sudah ditunggu Non Joanna di atas. Mari, saya bantu bawakan barangnya."

Ketakutan dan kegugupan Prista tergantikan sejenak oleh kekaguman sesudah melihat elegan serta indahnya lobby apartemen. Lebih mengagumkan dibanding seluruh hotel yang pernah didatangi saat ada klien. Prista melongo, napasnya tercekat, dan langkahnya terhenti karena otaknya ingin mengabadikan keindahan, suasana, dan juga penampilan apartemen yang tidak akan pernah bisa dinikmati lebih dari sekali.

"Mbak?"

Kehidupan tak memperbolehkan Prista menikmati sesuatu yang tak bisa digapai; Pak Yunus menegurnya untuk segera berjalan. Prista meringis dan buru-buru mengekor. Mereka masuk lift, menggunakan kartu akses pribadi untuk naik ke lantai sepuluh.

Get Ready With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang