02

867 98 4
                                    

2. Berpisah Tidak Baik-baik

***

Aku usap jari kecil Genta yang diinfus sebelum keluar dari ruang rawat, (Namakamu) dan Bastian sedang berhadapan, Bastian tertunduk menyesal, (Namakamu) membuang wajah.

Kudekati mereka, hendak menjelaskan bahwa semua ini salahku, ketika disana, Bastian langsung berdiri dibelakangku—mencari perlindungan dari amarah (Namakamu) yang mungkin saja akan meledak,  padahal aku sebenarnya ingin meninjunya saat dia berkata Genta keracunan cokelat kadaluarsa yang ia berikan.

"(Nam...)" Ucapku ragu-ragu.

(Namakamu) balas menatapku datar, aku tahu dia marah dibalik ekspresi wajahnya.

"Puas kamu sekarang?" Tanyanya menohok, wajahnya masih datar. Aku menggeleng, siapa yang akan puas melihat anaknya menderita.

"Mau kamu apa sih Baal? Aku yang kerja, kamu ngurus anak, belum adil? Apa aku harus kerja sambil ngurus anak? Iya?!"

Nada bicaranya kian meninggi, kubiarkan dia melontarkan apapun, sampai selesai.

"Bas pergi Bas," ucapku pada Bastian.

(Namakamu) menghela napas panjang, pundaknya mulai naik turun, "Aku harus apa baal? Hah? Aku yang ngurus semuanya dan kamu enak-enakan sama cewek lain?"

Suara (Namakamu) tidak stabil, bibirnya bergetar menahan tangis, dia salah paham pada penumpang ku tadi, "(Nam... ) dengerin aku dulu."

"Baal, aku capek baal! Aku capek kerja, dan kamu?... Sekali aja kamu ngertiin aku baal! Sekali saja."

Air mata yang (Namakamu) tahan akhirnya luruh sudah, dia menangis, wajahnya memerah padam, suaranya juga bercampur isakan, aku tidak bisa melihatnya begini, aku juga tersiksa, kudekati dia, aku peluk saat itu juga, dan mengatakan maaf berkali-kali, dia memberontak, sambil memaki aku yang katanya tidak berguna.

***

Aku masuk kedalam rumah sakit membawa paper bag berisi kado ulang tahun (Namakamu), sudah jam 12 lewat, itu berarti aku telat memberikannya ucapan selamat ulang tahun dan kado ini dihari spesialnya.

Aku masuk keruangan Genta, (Namakamu) tidak ada disitu, aku keluar lagi mencari keberadaannya, tak jauh dari ruangan ini, (Namakamu) berbincang dengan pria paruh baya dan seorang wanita—orang tua (Namakamu).

Aku mendekat, tapi berhenti ketika sadar percakapan mereka seharusnya tidak aku dengar.

"Papa kan sudah bilang dulu, jangan nikah dulu, sekarang menyesel kamu?"

(Namakamu) menangis dipelukan ibunya, ikatan rambutnya sudah berantakan, dan wajahnya sembab.

Aku mundur, bersembunyi dibalik tembok, aku dengarkan semuanya.

"Papa sudah mengira Iqbaal bukan pria yang baik buat kamu, kamu harusnya pilih pria yang lebih bertanggung jawab!"

Sura pak Roni— guru matematika yang memang dari dulu selalu sensi padaku masih aku kenali, guru yang sekarang jadi mertuaku.

Jika memang tidak percaya denganku, mengapa dulu ia merestui hubunganku dengan (Namakamu)?

"Bercerai saja dengan Iqbaal."

Ucapan pak Roni seperti petir tengah malam, hatiku seketika mengkerut, aku memegangi dadaku yang terasa sesak, aku terus menghela napas panjang, (Namakamu) semakin terisak, aku memutar langkah, menjauh dari mereka, lagi-lagi aku harus berpura-pura tidak mendengar mereka yang bicara keburukanku.

Aku masuk kedalam ruangan Genta, kutaruh paperbagnya disamping ranjang, sudah kusisipkan kartu ucapan untuknya.

Aku menatap Genta yang wajahnya pucat pasi kuelus kepalanya pelan, sambil berharap semoga ia lekas sembuh, aku menyesal meninggalkannya, ini semua memang  salahku, aku pantas mendapat amarah dari (Namakamu), tapi semarah apapun (Namakamu) aku akan menenangkannya, pelan-pelan suara Genta manggilku papa terngiang dikepalaku.

"Lekas sembuh anak papa, nanti papa belikan mobil-mobilan." Ucapku setelah itu berlalu keluar, melihatnya selemah ini hanya akan memukul hatiku.

Tiba didepan pintu (Namakamu) hendak masuk, dia sudah membenarkan ikatan rambutnya lebih rapi.

"Aku mau ngomong," kataku, ingin menjelaskan apa yang terjadi padaku.

(Namakamu) mengikutiku dibelakang, kami berhenti di koridor yang sudah sepi. Aku berbalik melihat wajahnya yang masih kusut.

"Aku mau—"

"Aku mau cerai."

Deg

Aku rasa jantungku merosot keperut, mendengar kata itu dari ayahnya aja cukup membuatku bergolak kaget.

Dia memotong kalimatku, mengeluarkan kalimat yang seolah tidak akan menyakiti perasaanku, aku juga terluka, lebih dari itu, aku tersiksa. Harus menyesali keputusanku meninggalkan Genta pada Bastian, harus menyesali keputusanku menikahinya diusia muda, harus menyesali karena aku membuang waktuku dimasa muda, apakah aku harus menanggung semua penyesalan itu sendiri? Belum lagi semua orang yang seperti memojokkanku sebagai suami tak berguna yang berlindung dibalik istri.

Aku tatap mata (Namakamu) dalam-dalam, "Kenapa?" Kenapa tidak mau menjadi tempat berbagi? Aku menyimpan kalimat itu dalam hati, hanya kata 'kenapa' yang mampu aku keluarkan.

(Namakamu) menatapku nanar, mata bulatnya berkaca, hampir menjatuhkan bulir-bulir air mata, "Ceraikan aku!"

Lagi. Kata-kata itu meluncur dengan lancar dari bibir perempuan yang aku cintai, aku mengepalkan tanganku untuk menahan sesak didada, dia ingin mengakhiri segalanya, tapi tidak mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu, tidakkah dia terlalu egois?

"Kenapa?" 'Kenapa orang menyalahkanku atas semuanya? Dan kamu juga?'
Kalimat itu tenggelam di tenggorokan, seperti ada beban ribuan ton memukul didalam dadaku, sesak dan menyakitkan.

Bibir (Namakamu) bergetar hendak berucap, tapi ia berusaha menegarkan dirinya.

"Aku gak bahagia sama kamu."

Iya aku tahu, tapi jangan dikatakan.

"Aku nyesel nikah sama kamu."

Sudah. Cukup. Semakin lama dia berbicara, semakin menyakitkan kalimat-kalimatnya itu menghunus jantungku.

Aku memang salah, disatu sisi aku sala karena pengangguran, di sisi lain, aku salah karena tidak menjaga anakku baik-baik. Atas semua kesalahku itu, tidak bisakah dia mendengar penjelasanku? Sebentar saja, lima menit? Tidak, semenit saja sudah cukup.

Kutatap matanya yang sejak tadi berkaca-kaca, aku marah mungkin, hatiku juga terlalu lelah, beban disadari semakin bertambah rasanya, toh dia yang egois, toh dia yang ingin berpisah, "Oke, aku ceraikan kamu!"

Aku telah menjatuhkan talak.

***

Malam itu, tanda berakhir untuk dua orang itu. Ikrar janji yang Iqbaal ucapkan didepan penghulu tak berarti lagi, janji mereka untuk hidup bersama melewati suka-duka seolah berhamburan berantakan bersamaan dengan talak yang Iqbaal jatuhkan tadi, Iqbaal bersalah (Namakamu) tidak mau mendengar penjelasan. Mereka sama-sama memikirkan diri sendiri, tidak mau berdamai dengan hati, malah sibuk menyesali. Malam itu remuklah dua hati—tidak, bukan dua hati tapi tiga, hati kecil yang masih membutuhkan hati kedua orang tuanya bersatu. Ah, mungkin mereka melupakan pemilih hati kecil itu.

***

Kring...

Duh berisik! Itu suara alarm ponselku, aku mengusap layarnya kekiri, tanpa membuka mata, saat itu juga ponselku berhenti berbunyi.

Aku menyelami alam mimpi lagi, sebelum menerima kenyataan sebentar lagi, tapi suara cempreng mememekakan telingaku.

"Baal bangun!"

Astaga. (Namakamu) kenapa galak banget sih?

"Lima menit lagi ya," ucapku entah (Namakamu) mendengar atau tidak.

Tunggu... Aku kan bertengkar dengan (Namakamu) semalam. Tunggu? Kenapa aku tidur diranjang? Aku langsung membuka mata, langit kamar berwarna putih hitam menyapaku, ini kamarku?

"Baal."

Aku menoleh melihat perempuan berjilbab yang masuk ke kamarku. Aku membulatkan mata, kenapa dia disini?

"Huaaaaaaa."

***

Vote dan komen ya, biar cepet dilanjut❤

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang