11

491 70 1
                                    


11. Bahkan langkah kakimu aku tahu.

***

Aku menoleh ketika menyadari seseorang duduk di sampingku, ayah memandangi layar televisi dengan seksama, rasa canggung mendadak menyerangku.

"Gimana kuliahnya?"

"Ehm... Ya gitu yah."

Ayah menatapku, "Kalau ditanya yang tegas."

"Lancar yah, kuliah iqbaal lancar." Ucapku cepat, kemudian ayah tersenyum sambil manggut-manggut.

Sebenarnya hubungan kami sudah tidak terlalu baik ketika aku berkata mau menikah, ayah kurang setuju pada keputusaanku yang menikah muda, tapi aku meyakinkannya dan dia memberi syarat jika mau menikah, aku harus membiayai keluargaku sendiri, ayah tidak mau menanggung apapun. Aku setuju saja, karena dulu memang mabuk cinta, sehingga memutuskan berhenti kuliah, dan saat itu semakin lebarlah jarak antara hubunganku dengan ayah, mungkin ayah kira aku akan gentar ketika ayah bilang aku harus keluar dari rumah setelah menikah, tapi aku menyanggupinya, hanya bermodal uang tabunganku, aku mengontrak rumah kecil di Jakarta Selatan dan tinggal dengan (Namakamu).

Ayah sayang padaku, aku tahu. Dia melunturkan egonya ketika aku memang benar-benar akan hengkang dari rumah, dia malah memintaku melanjutkan kuliahku yang sudah semester tiga, aku awalnya tak mau, tapi bunda juga mendesak ku. Meskipun akhirnya aku berhenti kuliah juga, saat memutuskan benar-benar berhenti, ayah irit bicara padaku, juga jarang menghubungi.

Dulu, aku tidak berpikir matang-matang, apalagi sering dicekoki kalimat bahwa menikah itu ibadah ketika kajian di mushola dekat rumah, jadi aku dengan niat ibadah meminta (Namakamu), tanpa berpikir apa yang harus aku berikan pada (Namakamu) ketika menikah. Dan alhasil aku menyesal. Makanya buat kalian, nih dengerin kataku; boleh aja menikah muda, tapi resikonya juga harus terima ya. Karena nikah itu bukan cuma cuma cinta, tapi juga tanggung jawab besar, sebagai suami, sebagai istri dan sebagai orang tua. Pikir-pikir lagi deh kalau mau nikah muda.

"Baal!"
Aku menoleh, melihat bunda menghampiriku.

"Baal, bunda minta tolong anterin ini ke rumah tante Ayu ya," bunda menyerahkan undangan berwarna merah padaku.

Aku mengambilnya, "Siapa yang nikah Bun?"

"Oh itu anaknya temen bunda, masih kuliah tapi mau nikah, sayang kuliahnya."

"Berhenti kuliah?" Ayah menginterupsi.

Bunda mengangguk, kemudian duduk di sofa sampingku, "Iya, lagian ya, kalau udah nikah, gak akan mikir kuliah lagi, apalagi sudah punya anak, aduh, udah terbengkalai kuliahnya."

Aku hanya diam, ucapan bunda sedikit menyentilku, aku jadi teringat (Namakamu) yang menyerah akan masa depannya.

"Sana anterin baal."

"Sekarang bun?"

"Iyalah, masa tahun depan." Ucap bunda, aku hanya tersenyum kaku kemudian kembali kedalam kamar untuk ganti baju.

***

Aku langsung nyelonong masuk kedalam rumah tanteku, Tante Ayu, ibu Bella.

"Tante ayu?" Panggilku sudah kesekian kalinya tapi tak ada suara.

Aku semakin masuk kedalam, hingga sampai dapur tapi tak ada suara.

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang