18

576 89 6
                                    

18. Dinding Kaca

Jakarta, 2022

Untuk kesekian kali aku menghela napas panjang, tapi helaan itu tak kunjung menetralkan hatiku yang keruan,  tapi aku tak menunjukkannya, suara ringisan (Namakamu) terdengar bersamaan dengan genggamannya ditanganku yang mengerat, kulihat (Namakamu) memandangku dengan mata sembab, karena menangis menahan sakit, aku usap tangannya dengan tanganku yang bebas, kubiarkan ditelinganya sesuatu, "Aku sayang kamu, kamu pasti kuat," dia semakin mengeratkan tangannya, rambutnya basah karena keringat dingin, aku usap rambutnya pelan, sambil merapalkan doa, agar dia dan bayi kami selamat.

Dia menangis lagi, ingin aku menangis bersamanya, menangisi perjuangannya yang seperti ini, ingin aku meminta kesakitannya, biar aku juga merasakan seperti apa. Jika bisa, tapi aku tidak ingin memperkeruh keadaan, napasnya memburu lagi, saat itu aku makin mengeratkan genggamanku, menyiratkan lewat bahasa tubuh bahwa ia bisa saja akan baik-baik saja.

"Ayo buk, sedikit lagi."

Suara teriakan (Namakamu) yang mengeras, kemudian melemah berganti dengan suara tangis bayi, saat itu, barulah airmatanya yang kutahan kubiarkan jatuh begitu saja.

*

Aku tersenyum lega berkali-kali, demi apapun, kebahagiaan seperti ini tidak pernah aku rasakan sebelumnya, tak akan ada tandingannya meski dibandingkan dengan aku mendapat mobil mewah dan rumah mewah, tak akan bisa. Aku menggendongnya untuk pertama kalinya setelah mengadzaninya, tubuhnya yang kecil mungil terlelap digendonganku yang kaku, tak apa, ini kali pertama, tak akan ada yang benar-benar bisa saat pertama kali. Semua berproses. Dan proses menjadi ayah dimulai. Kulihat (Namakamu) tersenyum lemah, aku taruh bayi kecil kami diranjang (Namakamu), (Namakamu) melihatnya sambil tersenyum bahagia, "Liat, hidungnya mirip kamu!"

Aku tersenyum melihatnya mulai meneliti wajah bayi kami, "Ih liat, matanya mirip kamu juga, terus yang mirip sama aku mananya."

Aku terkekeh melihatnya, "Bibirnya," ucapku, kemudian mengecup bibirnya yang pucat singkat. Bibirnya, senyumnya akan sama dengan (Namakamu), melemahkanku.

Aku kecup kening (Namakamu) agak lama, berharap (Namakamu) tahu bahasa tubuhku, bahwa aku sangat bersyukur, bahagia, hari, semuanya bercampur jadi satu.

"Baal woi!"

Aku terperanjat, sadar dari lamunanku, Bella menatapku dengan kening berkerut, "Ngapain disitu?"

Gara-gara ngelamun didepan ruang bayi, aku jadi memikirkan (Namakamu) dan Genta, dan itu semakin meracuni hatiku dengan rindu-rindu yang tak akan terbayar. Aku harus bagaimana agar (Namakamu) mau kembali?

"Baal! Ngelamun lagi."

Aku terperanat agi, akhir-akhir ini aku sering melamun, Bella sudah didepanku.

"Lo harus nemuin (Namakamu) sekarang!"

"Kenapa? Ada apa?" Tanyaku.

"Gue gak tahu masalahnya gimana, yang gue tahu (Namakamu) putus sama Aldi karena Aldi selingkuh."

Aku terkejut bukan karena Aldi selingkuh, tapi karena (Namakamu) yang memutuskan Aldi, ada apa dengannya?

"(Namakamu) ada taman deket rumahnya, dia nungguin gue, tapi gue gak bisa kesana, gue harus jagain mama, lo yang kesana ya, anggep aja kesempatan hehe."

***

Aku sudah sampai ditaman dekat rumah (Namakamu), taman kecil yang menjadi saksi kebersamaan aku dan (Namakamu) dulu. Sekali lagi, dulu.

(Namakamu) duduk di ayunan sambil menunduk, aku ingin mendekat tapi kakiku rasanya tercekat ketika melihat bahunya yang sedaritadi tenang perlahan terguncang. Dia menangis sesegukan, lalu tangannya membekap wajahnya sendiri. Saat itu aku sadar, ada dinding pembatas yang kokoh diantara kami, dinding kaca mungkin, karena aku masih merasa dekat dengannya, masih bisa melihatnya, tapi aku tidak akan bisa menggapainya.

Tangisan (Namakamu) terdengar semakin menyakitkan, mengapa ia menangis seperti itu? Sesakit itukah hatinya ditinggal Aldi? Ada apa dengannya? Apa ia benar-benar sudah melupakanku? Apa dia akan menangis seperti itu ketika kehilanganku?

Dia berhenti menangis, berdiri dari ayunan dan menghapus airmatanya, aku melihatnya dari sini, dia berjalan mendekatiku menunduk, tak sadar dengan kehadiranku, sampai dia melewatiku dia tetap menunduk, aku berbalik aku tahan tangan nya.

Dia menoleh, matanya sedikit terbelalak, cepat-cepat ia menghapus airmatanya. Lalu menatapku, tapi tak lama, karena bibirnya bergetar menahan tangis, dia menunduk lagi.

Akalku berperang dengan hatiku, aku ingin menarik dan memeluknya saat ini juga, menenangkannya seperti yang selalu aku lakukan ketika ia menangis, tapi akalku menolak, karena sebab ia menangis adalah laki-laki lain. Dan aku seharusnya tidak memeluknya.

Tapi kembali lagi, aku tak ingin begini, barangkali ia mau jika aku ajak kembali, aku memegangi lengannya, tapi dia malah terisak, tangannya bergetar hebat, aku membuang napas panjang, kulepas tanganku darinya, lalu memandang sembarang arah, ada sesuatu yang membuat hatiku terasa perih melihatnya menangis.

Aku mengepalkan tangan, menahan perintah hatiku untuk langsung saja mendekapnya, tak peduli bagaimana reaksinya. Dia menangis lagi, semakin ia terisak dalam tangisnya semakin aku mengerang frustasi karena tak bisa memeluknya.

"Liat gue, (Nam...)" Kutatap dia memohon saat tangisnya mulai mereda. Dalam hati aku berkata 'Aku harus apa supaya kamu tidak pergi?' tapi kalimat itu teredam oleh waktu, hancur bersamaan dengan benda tak kasat mata yang seperti berkali-kali menyadarkan, bahwa ia tidak menginginkanku.

Kuberanikan diri untuk memegang bahunya, aku akan melawan waktu, "Lo mau cerai kan? Gue bakal urus semuanya, setelah itu lo bisa cari laki-laki lain, lo bisa temuin Aldi," aku menggeleng, "Enggak, lo bisa cari laki-laki lain yang lebih baik dari gue, yang bisa ngasih lo materi yang banyak, yang bisa ngasih lo baju bagus, perhiasan mewah, sepatu bagus," aku teringat akan sepatu yang aku berikan padanya, apakah ia tahu? "Tapi gue mohon, kita pulang ya?" Pintaku, lirih, takut ia tak mengabulkan permintaanku, bahkan aku sudah tak sadar, airmata jatuh disudut mataku.

Aku menghapusnya, sebelum (Namakamu) kembali mendongak, tapi ia tak kunjung mendongak, "(Nam...)" Panggilku.

(Namakamu) tak menjawab, masih membeku diposisinya, aku menunggunya sampai ia mendongak melihatku, tapi sampai lebih dari 10 menit ia tidak mengubah posisinya, aku menyerah mungkin ia tak mau bicara denganku. Aku berbalik, memaksa melangkahkan kakiku yang rasanya berat, memaksa tanganku agar mengabaikan bahu (Namakamu) yang seharusnya aku peluk. Mengabaikan kakiku yang meronta ingin berbalik. Membiarkan hatiku yang sudah hancur berkeping. Aku pergi, dan itu juga menjadi petanda aku juga akan pergi dari hidupnya.

***

Bentar lagi ending nih :) Ayo tebak, sad ending atau happy ending 😏

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang