17

588 78 4
                                    

17. Yang terpendam

***

Sial. Bukannya kembali ke masa depan, aku malah tetap stay disini, aku mengingat kejadian bodohku semalam, lupakan ngasih hadiah perpisahan pada (Namakamu), yang ada aku diberi kejutan bertubi-tubi, belum lagi wajah tampanku yang memar karena Aldi.

(Namakamu) memberiku kejutan dengan mengatakan Genta sudah tiada, dan ucapannya sukses membuatju tak tidur, ucapan Bastian lebih mengangguku, bisa saja (Namakamu) tidak mau kembali karena Genta sudah tidak ada dimasa depan, jadi dia ingin menjauh dariku dan bersama Aldi, dengan begitu Genta tak akan ada, penyesalannya tak akan ada.

Aku tahu sekarang, alasan aku dan Bastian kembali kemasa lalu, alasan aku dan dia terjebak di timeslip ini bukan karena penyesalan-penyesalan kami, tapi karena penyesalan (Namakamu).

Dan karena itulah aku ingin menemui (Namakamu), berkali-kali kutemui ia di fakultasnya, tapi ia tak ada, aku hubungi tapi dia selalu mengabaikan panggilanku, aku harap aku bisa menemuinya hari ini.

"Eh, sorry gue mau nanya," ucapku pada perempuan seusiaku.

"Iya kenapa?"

"Lo kenal (Namakamu) gak? Mahasiswi sastra Inggris?" Tanyaku.

"Oh dia temen sekelas gue, kenapa?"

Aku tersenyum senang, "Lo tahu dia dimana?"

Dia menggeleng, saat itu juga senyumku luntur, "Abis kelas tadi, dia langsung pergi, gak tahu deh kemana."

"Oh gitu, Yaudah, makasih ya," Ucapku lemah, lemas juga sudah tiga hari ini aku kesini tapi tidak bertemu dengan (Namakamu), kemana dia?

***

Karena usahaku untuk menemuinya tak membuahkan hasil, akhirnya aku memberanikan diri menemuinya dirumahnya.

Tapi semua tak semudah seharusnya, aku terus ragu-ragu untuk mengetuk pintu putih didepanku ini, pikiranku melayang membayangkan, bagaimana jika Pak Roni, atau Ibu (Namakamu)- Bu Hani mengenaliku, maksudnya bagaimana jika mereka juga kembali kemasa lalu seperti aku dan Bastian, apa yang akan aku lakukan jika itu terjadi.

Trek

Aku menoleh, tak jadi pergi, kulihat wanita paruh baya yang tak lain adalah Mama Hani, eh kok mama, maksudnya Tante Hani menatapku dengan dahi berkerut bingung.

"Iqbaal?"

Aku melotot ketika dia menyebutkan namaku, bagaimana dan tahu? Jangan-jangan dia juga kembali kemasa lalu, haruskah aku kabur, aku akan kabur setelah hitungan ketiga, Satu... Dua... Ti-

"Muridnya suami saya kan? Silahkan masuk nak!"

Aku menaikan sebelah alisku, Kok? Jadi maksudnya gimana? Dia tidak mengenaliku kan berarti? Dia tidak menganggap aku menantunya kan?

"Masuk nak, suami saya didalam," ucapnya, mungkin karena aku masih tetap dalam posisiku dengan wajah bingung.

Aku langsung tersenyum lalu membuntutinya dibelakang.

"Suami saya sering cerita kamu loh, saya inget wajah kamu karena suami saya sering ngasih tau fotonya."

Eh? Pak Roni stalkerku mungkin ya? Atau salah SoniQ, nama fansku? Aku menggeleng, mana mungkin, diakan sangat membenciku. Aku membalas ucapan Tante Hani dengan kekehan.

"Saya panggilkam suami saya ya nak, duduk dulu!"

"Eh Tante," cegahku ketika dia hendak pergi, dia menoleh, "Saya mau ketemu (Namakamu)," kataku.

"Oh (Namakamu), saya kira suami saya, sebentar ya saya panggilkan, duduk nak," ucapnya ramah, penilaianku pada Tante Hani tak pernah berubah, dia ramah sekali, sabar, aku tak pernah melihatnya marah, entah pada (Namakamu) atau bahkan padaku.

Tak lama, Tante Hani kembali, "Nak, (Namakamu) biakng dia tidur."

"Eh?"

Dua tersenyum kaku, "(Namakamu) gak mau ditemuin sepertinya, memangnya kalau boleh tahu, kamu siapanya (Namakamu) ya?"

"Temen kok,"

Bukan aku yang menjawab, tapi (Namakamu) dua muncul menuruni tangga, wajahnya tertekuk malas.

"Bagus deh kamu turun, gak baik mengabaikan tamu, Mama pergi ya," ucap Tante Hani, setelah itu meninggalkan kami berdua.

(Namakamu) memalingkan wajah, tak menatapku, padahal aku sedikit, lebih dari sedikit, heum banyak merindukannya.

Aku ragu-ragu berkata, aku mau meminta maaf, tapi karena apa? Karena menciumnya? Tapi kan aku suaminya, aku belum resmi menceraikanya, "(Nam...) Gue mau minta maaf soal-"

(Namakamu) menoleh, kurasa memeriksa keadaan, "Jangan ngomong disini, diluar aja," ucapnya kemudian berjalan keluar rumah, aku hanya mengikutinya.

***

"Lo mau apa lagi Baal?" Tanya (Namakamu), ketika kami sampai ditaman dekat kompleknya, taman ini adalah taman yang sering aku kunjungi dengan (Namakamu) ketika malam minggu, dan bayangan-bayanganitu menyerbu pikiranku berkali-kali, berputar seperti kaset rusak.

Aku menatapnya dari samping, anak rambutnya terayun diterpa angin, "Lo gak mau balik ke tempat dimana kita seharusnya?" Tanyaku.

"Enggak," jawab (Namakamu), tanpa melihatku, dia hanya melihat anak-anak yang bermain di ayunan, dan pelosotan.

Aku mengikuti arah pandangnya, "Gak kangen Genta?" Tanyaku.

Dia balas menatapku, tapi tatapannya tajam, "Dia udah pergi, dan itu semua gara-gara lo! Gue bahkan gak bisa nemenin Genta main," ucapnya lalu diakhiri kekehan sinis.

"Ya, itu salah lo!" Balasku tak kalah sinis, "Kenapa lo sibuk sama kerjaan lo!"

Dia tertawa sinis lagi, "Kenapa lo gak kerja? Kenapa gue yang harus kerja?kalau lo kerja, gue bakal nemenin Genta!"

Aku menghela napas, "Lo keberatan? Kenapa lo gak bilang dari dulu, kalau lo gak terima, Lo tinggal bilang, gue bisa cari kerja."

Dia berbalik kearahku, "Lo mau cari kerja apa? Ngojek? Lo kira penghasilannya cukup buat hidup kita? Buat popok Genta? Buat mainannya dia? Cukup?!"

Aku memalingkan wajah, kenapa dia jadi keterlaluan seperti ini, kenapa dia mengungkit materi, kenapa dia merendahkanku? Dia bukan seperti (Namakamu) yang aku kenal.

"Lo benar-benar ya," kutunjuk wajahnya, tapi dia langsung menepis tanganku.

"Gak usah nunjuk-nunjuk gitu, Lo gak berhak nunjuk gue!"

"Gue berhak! Gue suami lo!" Bentakku, dia menatapku tajam, wajahnya mengeras.

"Lo bukan suami gue! Gue gak pernah nikah sama lo!"

Dia benar-benar berani sekarang, ini pertama kalinya dia melawan dan membentak ku, sebelum-sebelumnya dimasa depan, dia selalu menurut padaku, tak pernah marah, dia menubruk bahuku dan melangkah pergi, aku mengejarnya, menahan tangannya, dia langsung menepis tanganku, lalu kembali menatapku tajam, aku tak tahan lagi, kutatap wajahnya yang memerah marah itu, "Ok, terserah lo,o mau disini disini selamanya terserah lo, tapi gue aku balik, seenggaknya gue ketemu Genta, sekali."

Dia diam sejenak, lalu memalingkan wajah untuk kesekian kali, tak menatapku lagi, "Lo gak akan bisa kembali kalau gue gak mau kembali."

***

Sore itu, dibawah pohon rindang, ditaman yang membuat Iqbaal jatuh cinta berkali-kali pada (Namakamu), ditaman yang selalu menjadi tempat mereka berdua merajut kenangannya, disana, semua pertanyaan yang selama ini (Namakamu) dan Iqbaal pendam sendiri dalam hati mereka keluarkan, mengapa Iqbaal begitu, mengapa (Namakamu) begitu? Tapi yang terpenting, mengapa mereka tidak saling terbuka? Tak saling bicara tentang pendapatnya? Mengapa baru sekarang mereka saling bertanya? Mengapa tidak saat mereka bersama? Agar saling memperbaiki diri? Mengapa menunggu tuhan memutar waktu untuk membuat mereka sadar?

***

Tauah bingung, makin kesini jadi pingin nulis dari sudut pandang penulis 😶

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang