23. Penembakan

3.4K 267 28
                                    

Kupikir saat tertembak aku bakal terpental dan terlontar mundur, dan merasakan kesakitan atau langsung tersungkur mati seperti di film-film, tapi yang terjadi aku terjatuh kebingungan tanpa merasakan apa-apa. Hanya rasa panas yang pertama aku ketahui, lalu basah.

Aku begitu kebingungan dengan apa yang terjadi. Baru setelah melihat darah yang membasahi dress yang kugunakan, aku mulai ketakutan, ketakutan aneh yang belum pernah kurasakan sebelum-sebelumnya.

Jay langsung merobek dress yang kugunakan dan menekan lukaku dengan handuk entah apalah itu, sedang kepala berada dipangkuan Yui hingga raungan ambulan datang.

"Tetap bernafas dengan benar, Ella" katanya.

Mendadak aku merasa tegang, apakah hidupku bakal berakhir dengan penuh ironi? Membiarkan Jay dan Yui akhirnya bersatu. Aku tidak bakal rela.

Jay menemaniku yang di bawa ke rumah sakit militer terdekat, saat diangkat menuju ambulan aku baru merasakan rasa sakit di pahaku, agak sedikit dekat dengan selangkanganku.

"Jay, sakit" rintihku. Rasa sakit itu tak tertahankan, berdenyut-denyut, sangat nyeri dan sangat membuatku menderita. Air mataku jatuh bersamaan dengan darah yang mengalir.

"Bertahanlah, sayang" bisik Jay mencoba menenangkan, tapi dirinya sendiri nampak tidak tenang "Sebentar lagi kita akan sampai"

Kugigit bibir bawahku dengan kuat, nyeri itu bertahan sangat lama dan tak tertahankan. Meski aku berteriak-teriak kesakitan dan Jay mencoba menenangkan, rasa sakit itu tidak mau pergi. Aku hanya ingin menyerah tapi disisi lain aku sangat ingin bertahan hidup.

Tubuhku mendadak dingin.

***

Aku bermimpi lagi, bukan mimpi yang membuatku takut tertidur atau mimpi buruk yang membawaku kembali pada kejadian buruk dan rasa sakit yang tak tertahankan itu. Dalam mimpi itu Jay datang ketempat aku tidur dan mencium keningku lembut dan mesra. Mimpi ini begitu nyata.

"Maafkan aku, aku tidak bisa menjagamu" katanya.

Sekarangpun suaranya yang berat terasa nyata. Hembusan nafasnya juga begitu. Juga sentuhannya di puncak kepalaku, tatapannya dan dirinya, semuanya terasa nyata.

"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja" kataku mencoba bangun dari mimpi yang terlalu nyata ini. Aku hanya takut, saat aku bangun nanti, semuanya hilang dan aku merasakan kesedihan yang tak kumengerti seperti sebelum-sebelumnya.

"Kau tak baik-baik saja. Jangan sok tegar!" bahkan didalam mimpipun ia masih suka berteriak dengan suaranya yang dominan.

Damn!

Tubuhku bergetar, air mataku mengalir deras. Aku baru menyadarinya. Ini nyata, bukan mimpi "Aku takut, sangat" rintihku "Takut mati. Takut tak bertemu denganmu lagi"

Tubuh Jay membungkus tubuhku, itu hangat dan menenangkan "Tenang, aku disini" katanya bagai mantra, bagai penyembuh kesedihan dan kegelisanku.

Dalam dekapannya aku merasa aman, nyaman dan tentram. Ya, ini nyata. Dan aku takut kenyataan itu tidak bertahan lama. Aku hanya ingin bertahan dalam dalam dekapannya dan mantra-mantra indahnya untuk selamanya. Tidak ada yang lain, Yui, Kristopher, perintah dan sindiran ibuku, atau apapun yang bakal membuat kami kembali menjadi begitu dingin.

Sejak kejadian tiga hari yang lalu, hanya perawatan fisik yang kuterima, sepertinya aku juga butuh perawatan secara emosional. Aku tidak bisa membedakan mana yang nyata dan yang tidak. Aku gelisah, dirundung kesedihan, takut tertidur dan saat tertidur aku malah bermimpi buruk.

Apakah itu PTSD (post traumatic stress disorder)? Aku menggeleng pada diriku sendiri. Tidak, tidak mungkin!

"Siapa mereka? Kenapa mereka menembakku?" tanyaku masih dalam dekapan Jay.

Ia melepaskanku, dan aku merasa kehilangan meski ia masih memegang bahuku. Mata abu-abunya nampak menimbang-nimbang. Dia bakal mengalihkan lagi, pikirku. Karena itulah yang terjadi hari-hari sebelumnya.

Jay menarik nafasnya dan menghembuskan dengan tenang "Tenang, Kristopher sudah ditangkap polisi dan ia tidak bakal pernah keluar dari penjara" katanya pada akhirnya.

Tubuhku bergetar lagi, diikuti isakku "Bukankah ia mendekam di penjara?" tanyanya. Namanya membuatku mengingat sejumlah kejadian buruk yang menghampiriku dan aku berakhir dalam dekapan suamiku lagi "Pacarnya Riley menjaminnya keluar, tapi ia berulah lagi. Sebelum menembakmu, dia membuat Riley babak belur karena tak mau memberinya uang. Sekarang kau aman"

Mendengar perkataan Jay aku ikut merasa kasian dengan Riley, ia pasti mendapat lebih banyak luka dariku, penganiayan yang lebih berat dariku mengingat Kristopher memang psikopat bajingan. Semoga ia membusuk dipenjara.

"Yang tertembak kaki, bukan tanganku Tuan Sykes" omelku. Dasar munafik! Jelas-jelas sebenarnya kau senang. Kata sisi lain diriku dan aku memutar bola mata pada diriku sendiri.

"Jangan banyak protes, buka saja mulutmu" kata Jay dengan sendok yang masih menggantung didepan mulutku.

Jika aku mendapatkan tes kejiwaan saat ini, tentu hasilnya aku positif gila. Ya, perlakuan jay, perhatiannya, kehadirannya, semuanya membuat aku tergila-gila. Aku tidak menyesal pernah tertembak. Jika memang tertembak membuat ia begitu baik padaku, aku mau sekali lagi.

Aku sudah gila. Seseorang tolong beri aku obat. O-oh. Obat itu ada didepan mataku, ikut mengomel sambil menyuapiku.

"Kau harusnya pergi bekerja Tuan Sykes. Aku bukan anak kecil, aku bisa mengurus diriku" kataku saat dia selesai menyuapiku. Sisi lain dari diriku melotot lagi, aku ingin dia berada disisiku selamanya. Tak ada kesibukan, tak ada telepon setiap saat, tak ada berkas-berkas yang harus ditanda-tangani, itulah yang kuinginkan.

Jay tersenyum amat manis. Dan membuat penyakit gilaku bertambah dengan diabetes "Biarkan saja. Aku mau merawat istriku" katanya cuek.

"Kau akan dipecat jika tidak pergi bekerja, dan kita tidak akan makan" balasku. Bodoh! Dengan kekayaannya sekarang aku bisa memberi makan satu distrit jika mau.

"Ayahku bilang merawatmu lebih penting dari pekerjaan. Paling-paling dia bakal menurunkan jabatanku"

Aku melongo. Kalau kau kenal Jay, bakal sulit menafsirkan apakah dia bercanda atau berbicara serius, tak ada bedanya, suaranya selalu datar dan tanpa ekspresi kecuali jika ia membentak atau berprilaku lembut pada Yui.

Astaga, otak sialan. Jangan ingatkan aku tentang Yui lagi. Aku sangat bersyukur wanita itu tidak ada saat aku bangun di rumah sakit setelah diobati, atau setelah aku dibawa pulang.

"Aku punya sesuatu untukmu" kata Jay dan menyodorkan sebuah berkas padaku.

Aku menerimanya dengan bingung "Apa ini?" tanyaku.

Aku melihatnya dan melongo "Bagaimana bisa?" tanyaku.

"Hadiah wisuda" kata jay dan aku refleks memeluknya.

"Terima kasih" kataku tulus.

"Yui ingin memberikannya secara langsung padamu" kata Jay.

Aku langsung melepaskan diri "Maksudmu?"

Yui memberikan toko kue itu padaku? Mengapa? Ia memutuskan hubungan denganku?

"Dia takut membuatmu tidak nyaman dengan kehadirannya karena...er.. Hubungan kami dimasa lalu. Jadi dia ingin hari wisudamu sebagai pertemuan terakhir kalian" jelas Jay.

Aku tidak mengerti lagi dengan perasaanku. Aku senang dengan hadiah wisudaku, aku senang toko kue itu menjadi milikku seutuhnya, dan aku senang Yui tidak bakal hadir lagi dalam hidup kami lagi.

Terjawab sudah ketidakhadiran Yui saat aku dalam masa pemulihan. Aku tersenyum berterima kasih.

"Sekarang giliranku sarapan" katanya.

Belum sempat otakku mencerna perkataannya, bibir Jay sudah menempel di bibirku.

FIRE OF DECEIT ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang